Part 2 - Sembilu

16.9K 869 22
                                    

Pintu jati itu dibuka perlahan. Beberapa setel kemeja, jas dan celana milik Arya tertata rapi di dalam koper hitam. Bulir bening mulai menganak sungai. Menahan luka yang tak mampu Alia sembunyikan.

Malam semakin pekat. Jarum jam menunjukkan pukul tujuh malam. Deru mesin mobil yang menyala, mengiringi kepergian lelaki bercambang itu.

"Mas pergi dulu ya, Sayang. Assalamualaikum." Lelaki beralis tebal itu mendaratkan kecup hangat.

"Walaikumsalam," jawabnya singkat.

Lelaki itu mengukir senyum bulan sabit. Tangan kanannya melambai dari balik kemudi. Sedetik kemudian, mobil avanza veloz mulai menghilang dari pandangan.

"Jangan membuang-buang waktu, Alia!" Alia bermonolog.

Perempuan itu berlari kecil ke kamar. Mengemas beberapa setel gamis ke dalam koper merah muda. Setelah itu, beralih ke benda pipih yang ada di kantung baju. Jemarinya lihai memesan taksi online melalui gawai.

Alia bergegas menuruni puluhan anak tangga. Manik cokelatnya menyelisik, mencari sosok perempuan muda di setiap penjuru rumah. Aroma masakan menyeruak ke seluruh ruangan. Sepertinya, perempuan itu sedang memasak untuk makan malam.

"Mbak, tolong jaga rumah, ya. Jangan lupa mengunci pintu dan jendela. Saya akan kembali beberapa hari lagi," ujarnya seraya menyerahkan segerombol kunci rumah kepada Mbak Leni, asisten rumah tangga.

"Memangnya Mbak Alia mau ke mana? Kok mendadak banget perginya." Dahi perempuan itu mengernyit, membuat alisnya saling bertautan.

"Memperjuangkan bahtera perkawinan saya, Mbak. Doakan Mas Arya baik-baik saja di sana."

"Baik, Mbak Alia. Tanpa diminta, saya selalu mendoakan keutuhan rumah tangga kalian." Perempuan itu mengulas senyum.

🎧 'Ku menangis membayangkan betapa kejamnya dirimu atas diriku
Kau duakan cinta ini
Kau pergi bersamanya ....

Gawai milik Alia berdering. Terpampang sebuah nomor tak dikenal. Jemarinya cekatan mengusap ke arah kanan, tanda menjawab panggilan telepon.

"Assalamualaikum," ujar Alia pelan.

"...."

"Baiklah, Pak. Saya segera ke sana. Assalamualaikum." Menutup sambungan telepon.

Mobil xenia hitam terparkir rapi di halaman rumah. Lelaki paruh baya berdiri di samping mobil. Tampak dari kejauhan, ia melontar senyum ramah ke arah Alia.

"Silakan, Mbak!" Lelaki itu membuka pintu mobil. Sedetik kemudian, memasukkan koper ke dalam bagasi.

"Terima kasih, Pak," ujarnya mengulas senyum.

Malam makin pekat. Orion enggan berpendar menghiasi cakrawala. Kendaraan bermotor saling berhimpitan. Melewati jalanan padat merayap.

"Lebih kencang, Pak!" pinta Alia pada sopir itu.

Lelaki itu hanya membalas dengan anggukan. Sedetik kemudian, menancap gas perlahan. Ia melirik jam tangan yang masih menunjukkan pukul 20.45 WIB.

Plang bertuliskan ‘Stasiun Gubeng 200 m’ terpampang di perempatan jalan raya. Lampu lalu lintas masih berwarna kuning. Kendaraan lain saling menyerobot dan mengklakson agar cepat sampai ke tujuan.

Mobil berhenti tepat di pintu masuk stasiun. Lelaki paruh baya menurunkan koper yang ada di bagasi. Sedetik kemudian, mengangkatnya ke lobi.

"Terima kasih, Pak." Wanita berkerudung peach itu menyodorkan selembar uang lima puluh ribuan.

"Ini kelebihan, Mbak. Tagihannya hanya tiga puluh ribu rupiah." Lelaki itu mengambil selembar uang dua puluh ribu dari sakunya.

"Buat Bapak saja kembaliannya. Terima kasih," ujarnya seraya mengulas senyum.

Alia menuju antrean tiket yang mengular. Suasana tampak ramai dan berdesak-desakan. Sesekali, melirik jam tangan, masih tersisa sepuluh menit sebelum keberangkatan.

"Perhatian! Kereta api jurusan Surabaya-Yogyakarta akan berangkat sepuluh menit lagi." Bunyi pengumuman yang terdengar dari ruang informasi.

Alia mulai panik. Manik cokelatnya menyelisik menatap sekitar, mencari-cari kesempatan untuk menyerobot antrean. Tak ada cara lain!

"Aduh!" teriak seorang laki-laki yang tak sengaja tersenggol.

"Ma-maaf, saya tidak sengaja." Alia tertunduk, tak berani menatap lelaki itu. Lagipula, di dalam agama tidak diperbolehkan saling berpandangan jika bukan mahram.

"Kamu Alia, kan? Sedang apa kau di sini?"

Alia menatap lelaki bertubuh jangkung itu. "Mas Rian? Saya akan menyusul Mas Arya ke Yogyakarta."

"Apa? Jadi, kau akan menyusulnya sendirian, Al? Ini tidak boleh terjadi!" Lelaki itu mengernyitkan dahi. Suaranya sedikit meninggi. Sedetik kemudian, ia menghampiri ibu-ibu yang berada di loket pengembalian tiket.

Netra cokelat Alia mengikuti pergerakan lelaki itu. Berhenti di depan loket pengembalian tiket. Tampak dari kejauhan, ia mengambil beberapa lembar uang dan menyodorkan pada perempuan paruh baya di hadapannya.

"Mari masuk, Al!" Ia tampak semringah dengan memegang dua buah tiket di tangan.

***

Deretan kursi di dalam gerbong tampak penuh. Hanya tersisa sederet saja, D16 dan E16. Alia duduk di kursi dekat jendela, E16 sedangkan Rian duduk di kursi D16.

Sembilu menancap tajam di ulu hati. Membuat bulir bening meluruh deras. Rasa kecewa begitu kentara tatkala ia melihat Arya bermesraan di balik pantulan jendela.

Tangan kekar Arya menggenggam jemari perempuan itu. Samar-samar, terdengar suara lelaki itu membisikkan kata mesra. Kata yang seharusnya hanya untuk Alia.

Tanpa sengaja, bulir bening yang meluruh dari pelupuk netranya membasahi lengan kekar Rian. Rian mengerjap, mengusap netra yang sedari tadi terbingkai oleh kacamata. Sedetik kemudian, ia membenahi kacamatanya lagi.

"Kamu kenapa?" lirihnya hampir tak terdengar.

"Aku baik-baik saja, Mas." Alia mengusap sisa lelehan air mata dari balik cadar.

Alia melirik jam tangan. Jarumnya mengarah di angka dua belas. Tepat tengah malam, semua penumpang terlelap. Namun, tidak dengan dua insan yang memadu kasih di depannya. Meski canda tawa mereka terdengar lirih, tetapi Alia masih mampu mendengarnya.

Jemari perempuan itu tak henti memutar tasbih. Berzikir menyebut nama-Nya. Pasrah dengan takdir yang tidak diketahui akhirnya.

Sekuat tenaga mencoba meredam isak tangis. Membungkam bibir yang terbalut cadar. Namun, getaran tubuh perempuan itu tanpa sengaja membangunkan Rian yang duduk di sampingnya.

Lelaki itu melepas kacamatanya. Memperlihatkan iris cokelat yang membulat. Sorot matanya menyiratkan sebuah motivasi tersendiri bagi Alia.

"Kau harus memperjuangkan rumah tanggamu. Kau harus kuat, Alia!"

🍁🍁🍁

Yeay! Bab ini sudah direvisi, ya.
Silakan tinggalkan komentar. 💖

Terbagi (Pengorbanan Seorang Istri)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang