Part 24 - Rencana Kedua

7.7K 429 4
                                    

Dalam gelap, Alia terlelap dalam dekapan sang suami. Lelaki itu mengecup dahinya pelan sambil mengusap-usap puncak kepala sang istri. 'Selain cantik, hatimu pun selembut bidadari, Alia. Sayangnya, dulu aku tidak menyadari itu. Maafkan aku ....,' gumamnya dalam hati.

***

Waktu berlalu begitu cepat. Tidak terasa, dua puluh hari telah berlalu. Pagi-pagi sekali, Arya mendapat telepon dari pihak rumah sakit yang menginformasikan bahwa hasil tes DNA sudah keluar. Spontan, hal itu bagai angin surga yang menyejukkan jiwa.

Ia pun langsung meneruskan pesan tersebut ke Whatsapp Alia. Berharap mendapat respons baik dari sang empunya. Sayangnya, ekspresi Alia pagi itu terlihat berbeda seolah tidak antusias mendengar kabar bahagia tersebut.

"Kamu kenapa? Kok, kayaknya nggak senang gitu. Apa ada masalah?" tanya Arya membuka pembicaraan.

"Heran aja sama kamu, Mas. Kenapa sekarang kamu kayak gini? Bukannya dulu kamu sangat terobsesi mendapat seorang anak sampai-sampai harus berselingkuh dengan Anita? Lalu, kenapa sekarang kamu seolah menolak calon bayi itu?"

"Dulu aku khilaf, Sayang. Maaf, ya. Sek--"

"Enak sekali, ya, jadi laki-laki. Ketika terobsesi dengan sesuatu, bilangnya khilaf. Giliran benar-benar dikabulkan sama Allah, nggak mau nerima. Di mana tanggung jawabmu, Mas? Kalau dia beneran darah dagingmu, gimana? Lagi pula, hasil tesnya kan belum keluar."

Lelaki itu mengembuskan napas pelan, lalu mengusap puncak kepala istrinya yang terbalut jilbab instan. "Bukan gitu, Sayang. Aku yakin, kok, kalau bayi itu bukan darah dagingku. Deni adalah ayah biologisnya. Percaya, deh!"

"Hm … entahlah, Mas. Sepertinya hatiku mati rasa untuk saat ini. Aku sudah menyerahkan semuanya kepada Allah, nggak mau terlalu berharap suatu hal yang belum pasti, nanti sakit!" Setelah mengucapkan itu, Alia beranjak dari tempat tidur, lalu meninggalkan sang suami seorang diri.

Berbeda dengan sang istri, Arya justru antusias menyambut kabar bahagia tersebut. Ia bergegas mandi, lalu menuju rumah sakit untuk menemui Dokter Teguh. Namun, ia bimbang hendak mengajak Alia ke sana atau tidak. Setelah menimbang-nimbang, ia pun memutuskan untuk berangkat seorang diri.

"Aku berangkat dulu, ya, Sayang. Assalamualaikum," ucapnya sembari mengecup hangat dahi Alia.

"Loh, kamu nggak sarapan dulu, Mas?"

"Maaf, Mas nggak sempat. Nanti saja Mas pulang untuk makan siang."

Punggung lelaki itu menjauh hingga menghilang di balik pintu. Perlahan, deru mesin mobilnya mulai meninggalkan halaman rumah. Arya tersenyum tipis, begitu semangat menginjak pedal gas lebih cepat daripada biasanya. Berharap agar lebih cepat sampai tujuan.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua puluh menit, lelaki itu mulai memasuki area parkir mobil di halaman rumah sakit. Setelah mengambil karcis parkir, ia langsung memilih memarkirkan mobilnya paling pojok, tidak jauh dari lobi rumah sakit.

Tanpa membuang waktu, ia langsung menuju ruangan Dokter Teguh yang sebelumnya pernah dikunjungi. Di sana tampak seorang lelaki berjas putih sedang duduk di meja. Sekilas, ia menoleh ke arah Arya, lalu menyungging senyum sembari mengangguk pelan, tanda mempersilakan duduk.

"Silakan duduk!"

"Terima kasih," jawab Arya seraya duduk setelah dipersilakan.

Tanpa membuang waktu, lelaki berjas putih itu mengambil amplop cokelat yang berisi berkas penting. Ia tahu bahwa momen itulah yang ditunggu oleh Arya. Ia segera membukanya, lalu mengamati hasilnya sejenak. Sekilas, dahi Dokter Teguh tampak mengernyit seolah keheranan.

Terbagi (Pengorbanan Seorang Istri)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang