Part 1 - Dia

36.1K 1K 18
                                    

Lelaki itu melempar tas di atas ranjang. Tangannya terkepal, menyiratkan amarah yang memuncak hingga ubun-ubun. Sedetik kemudian, ia menatap nyalang ke arah istrinya.

"Aku butuh penjelasan, Mas. Penjelasan!" Suara perempuan itu meninggi, sedikit menarik kerah baju lelaki berjambang itu.

"Penjelasan apalagi, hah? Bukankah sudah kubilang bahwa aku tak memiliki hubungan dengannya. Anita hanya sekretarisku di kantor, Alia!" Suara bariton itu terdengar menggelegar. Baru kali ini, lelaki jangkung itu membentak perempuan lembut seperti Alia.

"Ah, sudahlah!" Alia melenggang pergi.

Usia pernikahan mereka sudah memasuki tahun ketiga, tetapi masih belum dikaruniai momongan. Arya adalah seorang manajer marketing. Ia sangat sibuk, bahkan seringkali tugas luar kota. Baru kemarin dia pulang, lusa sudah pergi lagi.

"Aku akan ke luar kota dua hari lagi." Lelaki itu duduk mengambil posisi di sebelah Alia. "Ke Jogja," sambungnya.

Jantung berdegup kencang. Keringat dingin mengucur deras. Raut marah terpancar dari wajah perempuan berjilbab navy itu.

"Jangan marah, Sayang. Aku janji tidak akan lama," ujarnya meyakinkan. Lengkung indah terukir dari sudut bibirnya.

"Kenapa harus kamu lagi, sih? Apa gunanya wanita itu?" Alia menatapnya nyalang.

"Justru aku akan pergi bersamanya, Alia. Namun, kau jangan khawatir. Ini sekadar tugas kantor, tidak lebih," tegasnya, "I love you!" Kecup hangat mendarat di dahi Alia. Sedetik kemudian, lelaki jangkung itu menghilang dari pandangan.

***

Bintang-bintang bersembunyi membuat malam menjadi kelam. Embusan angin menyeruak, menguliti seluruh tubuh. Rinai hujan turun beriringan membasahi pelataran rumah.

Alia terus menatap lelaki itu, rupanya ia tertidur pulas. Manik cokelat itu menyelisik, mencari keberadaan benda pipih milik Arya. Jemarinya berselancar memainkan angka-angka untuk membuka gawai itu. Detik kemudian, berhasil membuka aplikasi hijau—whatsapp—di dalamnya.

Jemarinya sibuk menjelajah daftar pesan di whatsapp. Ada sebuah nama yang menarik perhatian, ‘Anita’. Sebaris kata-kata tampak bercentang biru, membuat rasa penasaran makin mencuat.

[Sayang, lusa jadi liburan ke Jogja, kan?]

[Jadi dong, Sayang. Aku sudah pesan tiket kereta untuk kita—mengirim foto tiket kereta.]

[Baiklah, kau akan menjemputku pukul berapa, Sayang?]

[Nanti kupikirkan, deh. Kamu siap-siap saja. Aku akan meyakinkan Alia agar tidak curiga dengan kepergian kita.]

[Kenapa harus dia, sih? Aku lelah menjadi yang kedua, Mas!]

[Meskipun kau yang kedua, tetapi aku selalu mengutamakanmu, Sayang. I love you!]
(Hanya centang biru).

Bulir bening menetes tanpa jeda. Bagai dihunjam ribuan jarum. Tangan kanan Alia membungkam mulut agar isak tangisnya tidak terdengar.

"Aku tidak menyangka bahwa kau selingkuh di belakangku, Mas," lirih Alia.

Dengkuran halus terdengar dari bibir suamiku. Lelaki bercambang itu masih terlelap, meski ranjang yang kami tempati sedikit bergetar akibat isak tangis perempuan itu. Rasa kecewa begitu kentara. Kesetiaan yang selama ini dipegang teguh, ternodai begitu saja.

Tiga tahun usia bahtera perkawinan yang mereka jalani. Asam garam telah dilalui bersama. Pahitnya penantian tentang kehadiran buah hati menjadi ujian kesabaran tersendiri untuk mereka.

Arya merupakan suami yang bertanggung jawab. Perhatian dan kasih sayang selalu tercurahkan untuk istrinya. Ia sering menelepon Alia untuk menanyakan kabar di sela-sela jam sibuk. Namun, itu dulu.

Akhir-akhir ini perangainya berbeda. Meski masih bersikap manis di depan Alia, tetapi ada sesuatu yang mengganjal. Ia bukan Arya yang dulu. Canda tawa via telepon, tidak pernah dilakukan lagi olehnya.

Jemari Alia sibuk menjelajah galeri foto. Membiarkan visualisasi kenangan berpendar dalam benak. Lengkung bulan sabit terukir dari sudut bibir paras ayunya. Namun, tidak menghentikan bulir bening yang menganak sungai.

Beberapa tangkapan layar begitu mengaduk-aduk perasaan hatinya. Percakapan sedih, senang dan marah tercurah di sana. Netra cokelatnya mengamati satu per satu momen indah bersama Arya.

[Hari ini masak apa, Sayang?] tulis Arya via whatsapp pada tanggal 21 Desember 2019.

[Capcay dan koloke kesukaanmu, Mas.]

[Hm ... yummy! Aku tak sabar untuk cepat pulang.]

[Pulanglah tepat waktu! Jangan biarkan istrimu menunggu. Hehehe ....]

[Insyaallah ya, Sayang. Jaga dirimu baik-baik. I love you!]

Begitu romantisnya lelaki salih itu. Ia pikir, kata-kata romantis dari bibir Arya hanya terucap untuknya. Bagai berkelahi dalam mimpi. Kata ‘I love you’ juga diucapkan kepada perempuan lain.

Duri ini menancap tajam hingga ke ulu hati. Jantung berdegup cepat, gagal menahan gemuruh yang bergejolak. Napas perempuan itu menderu, mengiringi isak tangis yang tak mampu ditahan.

‘Aku bukan wanita salihah dan belum memenuhi kewajiban sebagai istri. Tidak memiliki keturunan membuatku belum menjadi perempuan sempurna. Namun, mengapa kau setega itu, Mas? Apakah selingkuh merupakan solusi dari masalah kita?’

"Aku kecewa, Mas!"

Alia menangis dalam sepertiga malam. Mengambil air wudu dan melaksanakan salat tahajud serta istiharah. Meski tiada bahu untuk bersandar, masih ada sajadah untuk bersujud.

🍁🍁🍁

Bab ini sudah direvisi. Mohon kritik dan sarannya.

Terbagi (Pengorbanan Seorang Istri)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang