Part 7 - Tak Sudi Berbagi Rasa

15.8K 765 23
                                    

Langit masih membiru, suasana komplek masih sepi. Namun, Alia tampak sibuk. Ia beranjak ke luar mengambil selang untuk menyiram tanaman. Setelah itu, Alia membersihkan dedaunan gugur yang berserakan. Tak terasa, waktu berlalu begitu cepat. Mentari mulai menapaki peraduan, beriringan dengan cakrawala semakin terang.

"Sayur, Bu. Sayur!" teriak tukang sayur langganan di sekitar komplek.

Alia menghampiri tukang sayur itu. Di sana, ada beberapa wanita sedang memilih-milih sayuran. Alia mendadak gugup, sebab ia jarang berbelanja sendiri.

"Lho, kok tumben Mbak Alia belanja. Apa si Leni libur?" tanya ibu-ibu berdaster kuning.

"Iya, Bu. Kemarin Mbak Leni lupa tidak belanja untuk persediaan hari ini," jawabku sambil memilih wortel.

"Oh, gitu," ucapnya sambil manggut-manggut, sedangkan Alia hanya tersenyum.

"Berapa totalnya, Bang?"

"25 ribu, Mbak Al." Abang sayur itu menjawab sambil memasukkan belanjaan Alia ke dalam kantung kresek. "Ndak ada kembaliannya, Mbak," sambungnya setelah menerima uang pecahan lima puluh ribu.

"Ambil saja, Bang. Terima kasih, ya." Alia tersenyum seraya berpamitan kepada semua orang.

Alia masuk, lalu bergegas memasak sayuran yang tadi dibeli. Rencananya, ia akan memasak capcay kesukaan Arya. Hal itu dilakukan sebagai permintaan maaf atas sikapnya semalam. Ia sadar, tidak seharusnya bersikap kasar tadi malam. Bagaimanapun, Alia adalah istri penurut dan sabar.

Waktu berlalu begitu cepat. Jarum jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Capcay yang dimasak oleh Alia sudah matang.

Tuk! Tuk! Tuk!

Terdengar langkah kaki tergesa-gesa menuruni anak tangga. Hal itu membuat Alia menoleh ke arah sumber suara. Tampak sosok lelaki jangkung berpakaian rapi.

"Lho, mau ke mana, Mas?" tanya Alia sambil membalik posisi ayam yang digoreng.

"Ada meeting mendadak, Sayang."

Lelaki itu mendekat, lalu mengecup kening Alia pelan. Napasnya terdengar menderu karena tergesa-gesa. Sedetik kemudian, ia berbalik badan dan hendak pergi.

"Makan dulu, Mas! Aku sudah masak capcay kesukaanmu. Please!" pinta Alia memelas setelah mematikan kompor. Ia mengikuti suaminya ke ruang tamu.

"Aduh ... tidak bisa, Sayang. Nanti aku telat. Please, ini urgent!"

"Mas, ini kan hari Minggu. Sebelumnya, kamu tidak pernah meeting hari Minggu, Mas. Kalaupun ada, kamu pasti menolak," ujar Alia dengan ekspresi kecewa. "Ya sudah, aku akan menyiapkan bekal untukmu."

"Eh ... tidak usah, Sayang! Aku berangkat dulu, ya. Assalamualaikum," ujarnya sambil mengecup kening Alia lagi.

"Walaikumsalam."

Rasa kecewa menyelimuti hati Alia. Meski begitu, ia mencoba berlapang dada dan mengukir lengkung bulan sabit di sudut bibir. Entah, mengapa perasaannya tidak enak seolah harus melarang suaminya pergi.

Alia menatap sendu kepergian lelaki itu. Punggung lelaki itu makin menjauh, tidak ada niatan untuk menoleh ke arah Alia, meski hanya memberi seulas senyum manis.

"Mas ...," lirihnya, tetapi tidak dihiraukan oleh sang suami.

Sedetik kemudian, Alia pergi ke kamar dan mengambil gawainya. Ia teringat dengan Deni, teman kantor Arya. Mungkin, menelepon Deni adalah jawabannya.

Tuutt ... tuutt ... tuutt ....

“Nomor yang Anda tuju, tidak menjawab.” Begitu jawaban dari seberang telepon. Namun, Alia tidak menyerah begitu saja. Ia mencoba menelepon Deni beberapa kali.

Terbagi (Pengorbanan Seorang Istri)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang