Part 13 - Menggapai Ridho-Nya

12.8K 610 38
                                    

Klung!

Gawai Alia berbunyi setelah sepersekian detik netranya terpejam. Ia membuka mata, lalu meraih gawai yang diletakkan di sisi kanan ranjang. Jemarinya mengusap layar untuk membuka kunci. Sebuah pesan dari Arya mengambang di atas layar.

[Assalamualaikum, Cantik. Sudah tidur?] tulis Arya melalui Whatsapp.

Tanpa terasa, bibir wanita itu mengulum senyum setelah membaca isi pesan dari suaminya. Tak berpikir panjang, jemarinya lihai menari-nari di atas keyboard bergambar spongebob.

"Send!" ujar Alia setengah tersenyum.

[Cepat tidur, Sayang. Gak baik kalau perempuan begadang sampai larut malam.] Sebuah pesan balasan yang dikirim oleh Arya.

[Iya, Mas. Aku belum ngantuk, kok. Di kamar ini, aku mengenang semua masa lalu bersamamu. Masa di mana aku masih memilikimu seutuhnya.] Begitu balasan yang ditulis oleh Alia. Tak lupa, wanita itu membubuhkan emotikon senyum di akhir pesan.

Perasaan Alia campur aduk. Ia senang karena Arya masih menghubunginya, tetapi sedih ketika mengingat harus berbagi suami dengan Anita. Mungkin, sang suami tengah melakukan ritual malam bersama madunya. Ritual yang pernah mereka lakukan secara suka sama suka kala itu. Ah, itu sangat menyakitkan baginya. Tanpa disadari, ingatan itu membuat luka di hatinya menganga.

[Jangan su'udzon kepadaku, Sayang. Malam ini, aku tidak melakukan ritual bersama Anita. Aku tidak mau membuatmu terluka lebih dalam lagi.]

Alia bingung, entah harus merasa senang atau sedih. Di satu sisi, ia tidak rela berbagi suami dengan wanita lain. Namun, di sisi lain Alia juga tak mau suaminya berdosa lantaran tidak mampu berlaku adil.

[Kenapa? Sungguh ... aku baik-baik saja, Mas. Insyaallah, aku rela karena ini sudah takdirnya. Bukankah dirimu sendiri yang membawamu ke dalam situasi ini? Bukankah ini yang kau inginkan, Mas? Sekarang, lakukanlah! Jika tidak, kau akan berdosa karena tidak mampu bersikap adil kepada dua istrimu.]

Rasa nyeri semakin dalam terasa setelah Alia mengirim pesan balasan kepada sang suami. Tidak ada hal lain yang bisa dilakukan selain berdamai dengan keadaan. Bagaimanapun, Anita juga istri sah secara agama. Lagi pula, lelaki itu berjanji akan menceraikan Anita setelah bayinya lahir.

"Kau tidak boleh egois, Alia. Jika kau berada di posisi Anita, kau pasti melakukan hal yang sama untuk memperjuangkan hakmu." Alia bermonolog.

Sudah sekitar sepuluh menit pesan itu bercentang biru. Namun, tak kunjung mendapat balasan dari empunya. Mungkin, lelaki itu sedang mempertimbangkan ucapan Alia. Ah, itu semakin membuat hati Alia sakit.

[Baiklah, jika itu maumu. Aku akan melakukan ritual itu untukmu, Sayang. Ingat, ya. Aku melakukan ini demi kamu, bukan karena nafsu.]

Lagi, sebuah pesan balasan muncul dari kontak Arya. Isinya benar-benar di luar dugaan. Arya menyetujui permintaan Alia untuk melakukan ritual malam bersama madunya. Hal itu membuat rasa nyeri menggelenyar di hati Alia.

[Baiklah, Mas. Assalamualaikum.]

Alia mengakhiri pesan dengan gemetar. Tanpa terasa, bulir bening yang sedari tadi menggumpal di sudut matanya mulai mendesak keluar. Cairan itu saling kejar-mengejar membasahi pipi Alia yang semula kering.

‘Jika memang ini takdir yang Engkau gariskan untukku, tolong tanamkan keikhlasan dalam hati ini, Ya Allah ...,’ ucap Alia dalam hati.

Malam terasa panjang. Netra Alia tak kunjung terpejam. Hatinya gundah gulana memikirkan sang suami yang akan melaksanakan ritual. Antara ikhlas atau tidak, itu beda tipis. Alia tidak menyadari itu. Ia hanya berusaha agar sang suami tetap memperoleh rida-Nya.

Alia memutuskan mengambil air wudu dan melaksanakan salat tahajud agar hatinya kembali pulih. Tak lupa, ia juga mendoakan sang ayah agar keadaannya lekas membaik. Selain itu, Alia juga memohon kepada Sang Pencipta agar rumah tangganya selalu bahagia.

Benar, setelah Alia melakukan salat tahajud, hatinya sedikit lebih tenang. Rasa cemas mulai menghilang. Perlahan, rasa kantuk mulai melanda. Tak berapa lama, wanita itu mulai terlelap.

***

Mentari mulai tampak di ufuk timur. Kala itu, Alia hendak pulang dari pasar. Tangan kanannya menenteng dua kantung kresek besar berisi sayur dan bahan makanan, sedangkan tangan kirinya membawa dompet. Senyum, salam dan sapa selalu dilontarkan kepada orang-orang yang berpapasan dengannya.

"Assalamualaikum, Bu." Alia melontar senyum kepada dua wanita paruh baya yang ada di hadapannya.

"Walaikumsalam, Alia. Kok sendirian saja? Suamimu mana?" tanya seorang wanita yang mengenakan daster oranye.

"Dia ada di Surabaya, Bu. Sudah pulang semalam," jawab Alia sambil melontar senyum.

"Ohh ... nemenin si daun muda itu, ya?" celetuk ibu-ibu bertubuh tambun.

"Em ... iya, Bu. Lagian, memang jatah dia malam itu." Meski ragu, Alia tetap menjawab pertanyaan itu. Ia tidak ingin orang lain mengetahui isi hatinya yang sebenarnya.

"Kok kamu mau dimadu, sih? Kenapa gak minta cerai aja, sih? Memangnya, apa alasan Arya menikah lagi? Kan, kamu itu cantik, Al," tanya wanita itu lagi, penasaran.

"Benar, Al. Lagi pula, mencari ridho Allah itu banyak jalannya, bukan dengan poligami seperti ini," timpal wanita berdaster oranye.

"Maaf, Bu. Sepertinya, saya tidak bisa memublikasikan terkait alasan Mas Arya menikah lagi. Biarlah itu menjadi rahasia kami saja. Saya pamit dulu, ya, Bu. Assalamualaikum." Buru-buru Alia pamit undur diri. Jika tidak, pertanyaan mereka akan semakin ngawur.

Alia mempercepat langkah kaki. Namun, ia tetap menebar senyum, salam dan sapa kepada orang-orang sekitar. Namun, jika ada yang bertanya perihal rumah tangganya, Alia menghindar dan segera mengakhiri obrolan.

Tidak mengherankan, setelah kejadian malam itu permasalahan rumah tangga Alia memang santer dibicarakan. Tentang dirinya yang menjadi korban poligami, mendadak viral di kampung orang tuanya. Bukan tanpa alasan, kejadian Anita mengamuk di rumahnya sempat menjadi konsumsi publik. Terkait hal itu, Alia tidak terlalu ambil pusing. Ia tengah berikhtiar menata hatinya dan berusaha ikhlas menerima kehadiran sang madu.

"Kok lama banget, to, Nduk? Apa ada masalah?" tanya Bu Sarah ketika melihat Alia memasuki halaman rumah.

"Tidak ada kok, Bu. Tadi keasyikan ngobrol sama tetangga," jawab Alia sambil memamerkan senyum agar sang ibu tidak curiga. "Kalau gitu, Alia masuk dulu, ya, Bu."

Alia meninggalkan Bu Sarah yang masih melanjutkan kegiatan menyapu halaman. Ia bergegas menuju dapur, lalu mencuci sayur dan bahan makanan yang akan dimasak. Dalam hal mengolah makanan, keterampilan Alia tidak diragukan lagi. Sejak masih gadis, ia memang hobi memasak. Tak mengherankan kalau keluarga dan suaminya menyukai masakan Alia.

Tak terasa, sudah dua jam Alia berkutat di dapur. Olahan capcay, sayur asem, bandeng presto dan ayam goreng sudah tersaji di meja makan. Tanpa pikir panjang, ia mengambil piring yang sebelumnya telah diisi nasi, kemudian mengambilkan lauk secukupnya dan membawanya ke kamar sang ayah.

"Makan dulu, ya, Pak. Alia suapin." Alia membuka pintu kamar, lalu mendekat ke ranjang sang ayah.

Alia menaruh nampan berisi makanan itu di atas meja. Sedetik kemudian, ia membantu sang ayah dalam posisi duduk. Ia menyuapi Beliau dengan telaten. Hal itu membuat raut muka sang ayah terlihat bahagia.

"Makan yang banyak, ya, Pak. Pokoknya, Bapak harus cepat sembuh. Harus!" Alia memberi semangat setelah menyuapkan sesendok nasi ke mulut ayahnya.

"Kamu sudah makan, Nduk?" tanya sang ayah pelan.

"Belum, Pak."

"Ya sudah, panggil ibumu untuk menyuapi bapak. Kamu makan, sana." Lagi, suara itu terdengar lemah.

"Tidak apa-apa, Pak. Alia makannya nanti saja." Wanita itu terus menyuapi sang ayah. Ketika suapan terakhir, Alia meninggalkan kecup hangat di dahi ayahnya. Lelaki itu tampak tersenyum.

"Terima kasih, Nduk. Tetaplah tersenyum, kamu pantas bahagia." Tangan kekar sang ayah mengusap puncak kepala Alia.

Terbagi (Pengorbanan Seorang Istri)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang