Part 3 - Kenyataan Pahit

16.9K 807 8
                                    

Jarum jam menunjukkan pukul satu dini hari. Hawa dingin menyeruak, menjalari seluruh tubuh. Refleks, tangan Alia bersedekap untuk menahan udara yang menerobos pertahanannya.

"Kamu kedinginan?" Lelaki jangkung bermasker itu menatap tajam ke arahnya. Sesekali, ia membenahi posisi kacamatanya.

"I-iya, Mas. Aku belum makan tadi malam."

Lelaki itu terperangah. Netranya menyelisik, mengarah ke kanan dan kiri. Sedetik kemudian, memberi isyarat kepada Alia untuk mengikutinya.

"Kita makan di sini saja, ya?" ujar lelaki itu setelah berhenti di sebuah rumah makan sederhana.

"Boleh, Mas."

Netra cokelat Alia menyelisik, mengamati bangunan yang tidak seberapa lebar. Daftar menu yang terpampang di depan rumah makan ini mengingatkannya pada suaminya. Ah, entah di mana lelaki itu sekarang.

"Ayo masuk, Al!"

"Silakan!" Seorang perempuan menyodorkan buku menu ke hadapan kami.

"Nasi goreng satu, Mbak," ujar Rian kepada pelayan itu. "Kamu pesan apa, Al?"

"Capcay dan koloke saja."

"Mohon ditunggu!" ujar pelayan itu sambil berlalu pergi.

Interior di dalam rumah makan ini tergolong biasa saja. Namun, kebersihan dan kerapiannya patut diacungi jempol. Alunan musik yang disetel semakin menambah kenyamanan suasana di sini.

"Suapin dong, Sayang." Suara perempuan mengalun lembut di telinga.

"Buka mulutnya. Aaaa ...." Suara bariton itu terdengar tak asing di telinga.

Alia menoleh ke arah sumber suara. Manik cokelatnya terpaku pada pria yang memegang sendok di tangan kanannya. Seorang perempuan berpenampilan modis sedang bermanja-manja dengan lelaki itu.

Perih! Bagai disayat-sayat pisau tajam. Bulir bening menetes deras. Luka di hatinya kembali menganga. Alia bergeming melihat suaminya bermesraan dengan perempuan lain.

"Astaghfirullah. Mas Arya ...," lirihnya.

"A-arya?" ujar Rian terbata-bata. "Kamu harus sabar, Al. Aku yakin suatu saat ia akan menyadari kesalahannya."

"Aku sudah tidak kuat, Mas. Ini menyakitkan!" Suara perempuan itu meninggi beberapa oktaf, membuat beberapa pasang mata menoleh ke arahnya. Refleks, kedua tangannya menutupi wajah dan mengusap sisa lelehan air mata.

Tak berapa lama, Arya dan perempuan itu keluar dari rumah makan. Tanpa membuang waktu, Alia meminta pelayan membungkus semua makanan yang telah dipesan. Sedetik kemudian, ia menuju kasir untuk membayar.

Setelah menyodorkan beberapa lembar uang kepada kasir, Alia berlari kecil agar tidak kehilangan jejak Arya. Kini, jarak antara dirinya dengan Arya terpaut beberapa meter saja. Mereka terus berjalan ke arah barat hingga berhenti di depan sebuah hotel yang tak jauh dari lokasi.

Sejurus kemudian, mereka masuk ke dalam hotel yang bertulis "Sunset Hotel". Tangan perempuan itu melingkar erat di lengan Arya. Sesekali, tawa perempuan itu terdengar ketika Arya melontar beberapa guyonan kecil, lalu tangan kanannya mengusap rambut cokelat wanita di sampingnya.

***

"Selamat malam, Bu. Ada yang bisa kami bantu?" tanya perempuan yang duduk di meja resepsionis.

"Saya pesan dua kamar di sebelah orang itu!" Alia menunjuk ke arah suaminya yang baru saja memasuki lift.

"Hah, Bapak Arya? Maaf, Anda siapa?"

"Jangan bertele-tele, Mbak! Kami buru-buru!" Rian membentak perempuan yang duduk di belakang meja resepsionis.

Terbagi (Pengorbanan Seorang Istri)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang