Part 4 - Pengorbanan

15.1K 772 21
                                    

Setelah berpikir panjang, Rian menyetujui. Entah apa yang mendasari niatnya, tetapi Alia tahu bahwa Rian melakukan ini dengan berat hati. Lelaki itu meminta tolong kepada beberapa orang untuk memanipulasi hasil tes lab.

Tanpa menunggu lama, hasil tes yang baru sudah berada dalam genggaman lelaki itu. Ia menyerahkan amplop putih itu kepada Alia. Namun, air mukanya menampilkan keraguan. Ya, Alia tahu betul bahwa Rian adalah seorang dokter yang jujur.

"Terima kasih, Mas." Alia mengulas senyum setelah menerima amplop putih itu.

"Sama-sama, Alia." Rian berkata sangat lirih, hampir tidak terdengar.

"Kau tenang saja, Mas. Jika ada apa-apa, aku tidak akan menyeret namamu. Aku yang akan bertanggung jawab untuk semua ini," tegas Alia, "Assalamualaikum."

"Walaikumsalam."

***

Malam makin pekat. Awan mendung menyelimuti luasnya langit. Suara petir tunggal memekakkan telinga, diiringi rinai hujan yang meluruh deras.

Alia melirik jam dinding yang mengarah tepat di angka tujuh. Perasaan cemas mulai tidak karuan. Menunggu kehadiran Arya yang tak kunjung pulang.

"Assalamualaikum," ujar lelaki yang berdiri di balik pintu.

"Walaikumsalam. Kamu dari mana, Mas? Aku cemas banget loh." Perempuan itu menghampiri lelaki yang mengelap muka karena kebasahan.

"Mobilku mogok, Alia. Jadi, aku membawanya ke bengkel dulu."

"Ya sudah, Mas. Mari masuk!"

Ekspresi letih memang terpampang di wajah Arya. Langkahnya gontai ketika menaiki satu per satu anak tangga. Sepertinya, beban berat telah menggelayuti pikirannya.

Gemercik air keran menghiasi suasana kamar yang sunyi. Sudah dua puluh menit Arya di kamar mandi. Biasanya, lelaki itu tidak pernah mandi lebih dari lima belas menit. Setelah menunggu beberapa lama, Arya eluar dengan mengenakan handuk di pinggang.

"Ada yang ingin aku tunjukkan kepadamu, Mas. Bacalah!" Alia menyodorkan amplop putih kepadanya.

"Ini apa, Sayang?" Lelaki itu tampak penasaran. Namun, kedua tangannya terus mengancingkan kemeja.

Jemarinya cekatan membuka perekat amplop hingga tampak selembar kertas putih di dalamnya. Air mukanya terlihat serius membaca isi amplop tersebut. Sedetik kemudian, ekspresi kekecewaan tampak di wajah Arya.

"Ja-jadi ... kau mandul, Alia?" lirihnya hampir tak terdengar. Lelaki itu terduduk di atas kasur, memperlihatkan kekecewaan yang mematahkan semangat. Namun, matanya tak berhenti menatap kertas yang berada di tangan kanannya.

"I-iya, Mas. Inilah penyebab kita belum dikaruniai malaikat kecil. Akan tetapi, mukjizat itu nyata, Mas. Aku yakin, suatu saat Dia akan memercayakan momongan untuk kita." Alia berusaha menenangkan suaminya.

Lelaki itu meremas kertas putih yang sedari tadi dipegang, lalu melemparnya sembarangan. Ia tampak frustrasi. Langkahnya makin menjauh, meninggalkan istrinya seorang diri. Tangan kekarnya membanting pintu kamar.

Luka itu kembali menganga ketika melihat Arya tidak bisa menerima kenyataan ini. Perih! Tanpa terasa, air mata bercucuran. Namun, Alia berusaha kuat. Inilah solusi yang ia pilih untuk menyelamatkan bahtera perkawinannya dengan Arya.

Perempuan itu berjalan ke arah cermin, menatap pantulan wajah yang terlihat memprihatinkan. Sekuat tenaga, Alia mengusap lelehan bulir bening yang tersisa. Mengulas senyum getir agar terlihat baik-baik saja.

"Kau harus kuat, Alia!" Alia bermonolog.

***

Mentari menyibakkan sinar melalui celah jendela kamar. Alia meraih gawai di atas nakas, melihat jam yang sudah menunjukkan pukul enam pagi. Tanpa membuang waktu, dirinya membangunkan Arya yang masih tertidur pulas.

Bergelut dengan pekerjaan rumah adalah rutinitas perempuan dua puluh tujuh tahun. Meski suaminya telah mempekerjakan Leni sebagai asisten rumah tangga, tetapi tidak membuat perempuan itu malas untuk mengurus rumah. Bagaimanapun, itu adalah kewajiban seorang istri.

Wanita memang pandai menyembunyikan perasaan. Sama halnya dengan Alia, pandai menyembunyikan rasa sakit yang telah dibuatnya sendiri. Bibirnya masih mampu mengukir senyum, meski potongan visualisasi kejadian itu masih menari-nari di dalam benaknya.

Lelaki itu berjongkok, menyemir sepatu yang sedikit kusam. Sedetik kemudian, membenahi kemeja kusut. Arya menghampiri istrinya yang menunggu di depan pintu. Meraih tas dan mendaratkan kecup di kening. Air mukanya terlihat tenang seolah-olah tiada sesuatu yang ditutupi.

"Aku berangkat dulu ya, Al. Assalamualaikum."

"Walaikumsalam, Mas." Perempuan itu memandangi tubuh gagah yang makin jauh hingga sosoknya hilang di balik pintu mobil.

Sejurus kemudian, Alia kembali ke ruang makan. Satu per satu peralatan bekas makan telah ia pindahkan. Netranya terpaku pada benda pipih di meja makan. Ternyata, gawai milik suaminya tertinggal.

Naluri perempuan dalam dirinya spontan tergerak. Jemarinya cekatan memencet kombinasi angka yang menjadi pin gawai Arya. Namun, usahanya tidak berbuah manis. Sudah lima kali memencet pin, tetapi gawai itu tidak kunjung terbuka.

‘Password yang Anda masukkan salah’. Begitu tulisan yang muncul di layar gawai. Ia makin cemas karena gagal mengutak-atik kombinasi angka yang biasa dipakai oleh Arya.

Rasa panik makin bergelayut ketika mendengar mobil berhenti di halaman. Sedetik kemudian, lelaki jangkung muncul dari balik pintu. Raut mukanya terlihat panik.

"Di mana HP-ku, Sayang? Apa kau melihatnya?" Lelaki itu menyusuri setiap sudut sofa dan ruang tamu. Keringat mengucur deras dari dahinya.

"Ini, Mas." Alia menyodorkan benda pipih itu dengan tenang.

"Terima kasih, ya." Lelaki itu tampak semringah, sesekali menyeka peluh yang menetes.

"Kenapa password-nya diganti? Apakah ada yang kamu sembunyikan dariku?"

"Em ... itu ... ah, tidak ada apa-apa kok, Sayang. Kenapa kamu jadi curiga begitu, sih? Aku tidak menyembunyikan apa pun darimu. Percayalah!" Arya berusaha meyakinkan istrinya.

"Baiklah, Mas."

"Aku pergi dulu, ya. Assalamualaikum," ujarnya seraya mengecup kening.

"Walaikumsalam."

Perlakuan manis yang diberikan oleh suaminya, makin membuat Alia terlena. Ia menolak lupa atas kesalahan yang dilakukan oleh Arya. Namun, tidak sekalipun terlontar kata maaf dari suaminya.

Bak sembilu menyayat hati. Begitulah yang Alia rasakan saat ini. Atas dasar cinta, ia rela berpura-pura tidak tahu tentang kelakuan lelaki itu dengan selingkuhannya. Bagaimanapun, saat ini Arya adalah imam dalam bahtera rumah tangganya.


💖💖💖

Yeay! Bab ini sudah direvisi, ya. 💖

Terbagi (Pengorbanan Seorang Istri)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang