Part 18 - Tegar

10.9K 563 19
                                    

Alia hanya mematung sambil menatap punggung suaminya yang semakin menjauh. Ia benar-benar tidak mengetahui apa yang ada di dalam pikiran sang suami. Namun, wanita itu tak mau terlalu ambil pusing. Ia memilih membuntuti langkah Arya ke dalam rumah.

Di depan sang suami, Alia tergolong pandai menyembunyikan perasaan. Bagaimana tidak, ia selalu berusaha mengulas senyum meski terpaksa. Padahal, hatinya sedang remuk redam. Wanita mana yang rela dimadu dan berbagi jatah suami dengan wanita lain? Tidak ada!

Lain Alia, lain pula dengan Arya. Meski lelaki itu menyembunyikan bangkai serapi mungkin, sang istri tetap dapat mencium aroma busuknya. Seperti hari ini, perasaan Alia begitu peka ketika sang suami tampak gelisah. Bahkan, ia bisa melontar jawaban sekakmat kepada Arya.

"Ditaruh mana ini, Sayang?" Suara bariton dari area dapur itu mengejutkan Alia.

"Langsung di dapur aja, Mas. Makasih, ya!" sahut Alia dari ruang tamu. Ia mempercepat langkah menuju dapur.

***

Satu jam sudah Alia berkutat mengurus masalah perdapuran. Kini, beberapa olahan masakan empat sehat telah tersaji rapi di meja makan. Wanita itu berjalan ke ruang tamu, memanggil orang tua dan suaminya yang sedang mengobrol santai. Sayangnya, tidak ada satu pun yang menggubris ajakannya untuk sarapan secepatnya. Mereka justru melanjutkan pembahasan yang sempat terputus karena kehadiran Alia.

"Pak, Bu ... setelah ini, Alia dan Mas Arya mau pamit pulang. Kasihan Mbak Leni, dia di rumah sendirian." Terpaksa wanita itu berucap demikian. Mumpung seluruh keluarga sedang berkumpul di ruang tamu.

"Iya, Nduk. Bapak dan Ibu juga berterima kasih sama kalian terutama kamu, Nduk. Kamu itu penyemangat bapak. Dengan melihatmu tersenyum, bapak sudah seneng, Nduk," jawab ayah Alia sambil menitikkan air mata.

Mengetahui bahwa sang ayah menangis, Alia langsung merengkuh tubuh lelaki itu. Tanpa sadar, gumpalan bening yang sedari tadi ditahan, akhirnya luruh juga. Ya, Alia sangat menyayangi kedua orang tuanya terutama sang ayah.

"Bapak harus janji sama Alia, ya. Bapak harus kuat. Bapak gak boleh sakit-sakitan lagi. Alia juga janji akan menyelesaikan masalah rumah tangga kami," tutur Alia sambil memeluk ayahnya.

"Iya, Nduk. Kamu harus janji sama bapak, kamu tidak boleh cerai sama Nak Arya. Bapak yakin, Nak Arya tidak sepenuhnya bersalah dalam hal ini."

Ah ... mendengar penuturan sang ayah, hati Alia mulai nyeri. Ia bingung, kenapa ayahnya selalu berkata seperti itu. Padahal, sudah jelas kalau Arya dan madunya saling mencintai. Namun, Alia tidak dapat melakukan apa pun. Ia hanya bisa mengangguk kecil seraya melontar senyum agar sang ayah percaya bahwa dirinya kuat.

Berpura-pura menjadi wanita kuat juga butuh proses, sama seperti batu karang di tengah laut. Sekuat apa pun batu itu berdiri kokoh, jika ombak besar berulang kali menghantam, lama-lama batu itu akan hancur secara perlahan. Sama seperti hati Alia saat ini. Sekuat apa pun Alia berusaha tegar, jika orang-orang jahat terus menyakiti hatinya, lama-lama akan luruh pertahanannya.

Alia sadar kalau selama ini dirinya lemah sehingga lebih banyak mengeluarkan air mata. Semua itu ia lakukan demi menyelamatkan rumah tangganya dari badai yang menerjang.

"Makan, yuk! Nanti keburu dingin makanannya. Gak enak!" ucap Alia.

Semua orang mengangguk setuju, lalu mengikuti Alia melangkah ke dapur. Di sana, wanita itu mengambil empat piring dan menatanya di meja makan. Sesaat kemudian, Alia cekatan mengisi nasi di piring-piring tersebut sesuai porsinya.

"Bapak mau lauk apa? Ayam, ikan, daging atau telur?" Telunjuk Alia menunjuk satu per satu piring yang berisi lauk-pauk di hadapan.

"Sudah, Nduk. Bapak bisa sendiri. Kamu duduk aja, lalu makan bareng-bareng," ucap  sang ayah.

Terbagi (Pengorbanan Seorang Istri)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang