16. Tidak Ada Sentuhan

Start from the beginning
                                    

"Ya capek ketawalah," tukas Rania dengan suara nyaring.

Malam semakin larut, keheningan mulai tercipta antara keduanya. Namun, tak pernah ada sepi yang sesungguhnya di sini. Sesekali deru motor terdengar, bersahutan dengan hewan malam yang tidak berhenti bernyanyi. Keduanya saling mengeratkan genggaman saat angin berembus pelan, meninggalkan hawa sejuk pada kulit. Dan dalam remang-remang itu, Rania tiba-tiba bertanya satu hal. "Kamu udah minta maaf belum sama Raka?"

Saat ini Elang ingin mengumpat habis-habisan. Kenapa dari sekian banyak topik, pembahasan tentang Raka yang dibahasnya? "Belum. Dan mungkin gue gak pernah mau minta maaf sama dia."

"Elang," panggil Rania dengan suara rendah, "tapi di sini kamu yang salah. Kamu yang udah tonjok Raka duluan. Seharusnya kamu berterima kasih sama dia karena udah mau nolongin aku."

"Cih, kaya dia gak pernah buat salah aja sama gue." Elang bersikukuh mempertahankan sikapnya. Bahwa apa yang telah terjadi tadi siang masih bisa dimaklumi. Seolah itu adalah hal yang biasa. Seolah 'maaf' takkan berarti apa-apa.

"Elang, dengerin aku," cetus Rania dengan penuh penekanan, "mau seberapa benci kamu ke Raka, kalau kamu yang salah, ya, tetap harus kamu yang minta maaf. Harusnya prinsip ini yang kamu pegang. Terbuat dari apa, sih, hati kamu itu? Kok, keras begitu? Heran."

Elang tertawa tiga detik lamanya. Ekspresi wajahnya tak lagi sekeras tadi. Kalimat yang Rania katakan terdengar cukup lucu baginya. Menggeletik beberapa bagian tubuh, menyuruhnya untuk tertawa sinis. "Kalau aja dia juga bisa pegang prinsip itu, mungkin hati gue gak akan sekeras ini, Ran."

Rania tercengang saat menemukan keseriusan dari kata-kata yang baru saja Elang lemparkan. Tubuhnya menegang bersama dengan Elang yang semakin erat menggenggam tangannya. Seakan Elang tengah berusaha menyalurkan semua sakit yang ia punya.

"Raka bahkan pernah nyakitin hati gue. Ngerampas dia yang selama ini gue jaga. Raka yang udah jadiin hati gue sekeras batu, Ran. Dan kenapa gue harus minta maaf ke Raka, kalau dia aja gak pernah mau minta maaf ke gue untuk kesalahan besar yang udah dia lakuin?"

Pertanyaan itu Rania biarkan mengambang di awang-awang, membuat pikirannya kosong untuk mencerna apa yang barusan laki-laki itu katakan. Untuk sementara waktu, keheningan tak lagi ia pedulikan. Terkait atas apa yang barusan Elang katakan, timbul banyak tanda tanya dalam pikirannya.

Apa yang selama ini ia lewatkan? Kesalahan besar apa yang telah Raka lakukan kepadanya? Dan siapa yang Raka rampas dari Elang? Siapa dia yang selama ini Elang jaga? Apakah sebelum dengannya Elang pernah bersama dengan yang lain? Jika iya, siapa dia?

Ah.

Haruskah nyeri di kepala timbul hanya karena Rania memikirkan kata-kata Elang? Ia lelah. Bukan lagi karena tertawa atau pun berjalan jauh. Ini lebih dari itu. Hati dan pikirannya butuh istirahat setelah memikirkan tentang masa lalu Elang yang sangat sulit untuk ia telusuri.

Menyampingkan semua rasa penasaran saat keduanya tiba di depan gerbang rumahnya. Rania mendongak, mendapati Elang yang menunduk dengan kupluk hoodie-nya telah membalut kepala. "Makanya, jangan coba ngomong macem-macem kalau gak mau pusing."

Laki-laki itu seperti bisa membaca isi pikirannya. Entah karena dia yang mendadak bungkam, atau karena sorot matanya yang menuntut banyak penjelasan. Keadaan kini berbalik. Bukan lagi Elang, tapi Rania yang mempertahankan diamnya. Bahkan saat dia menyuruhnya untuk segera masuk, Rania tetap memilih diam.

Itu terus berlanjut hingga akhirnya Elang sendiri yang lebih dulu memilih untuk pergi. Namun, Rania tidak membiarkan lelakinya menjauh dengan semudah itu. Lengan Elang ia gapai, digenggam dengan kuat, membuat tubuh itu otomatis berputar. Seakan mulutnya bekerja di bawah alam sadar, ia bahkan tak paham saat benda itu berbicara dengan sendiri. "Gak ada yang kelupaan, Lang?"

Ah, apa itu? Apakah saat ini Rania berharap Elang memberinya sebuah pelukan atau kecupan? Apakah Rania berharap kepada sebuah sentuhan--seperti tepukan kecil pada kepalanya? Apakah harus, jantung yang telah berdetak ini dibuat berhenti hanya karena Elang yang dengan teganya melepaskan tautan di antara mereka? Lagi-lagi Rania tidak mengerti akan apa yang telah terjadi. Sakit di kepalanya kembali muncul. Bahkan mual yang pagi tadi menghilang, saat ini mendadak kembali datang.

Untuk pertama kalinya, Rania melihat Elang memberikan tatapan penuh kecewa kepadanya. Rania takkan pernah bisa melupakan cara Elang menjauhkan tangannya. Atau bahkan saat laki-laki itu mundur selangkah. Untuk kesekian kali ia menolak lupa akan sakit yang perlahan muncul, lalu memeluk hatinya dengan erat. Entah sakitnya di mana, tapi yang jelas ia tidak bisa percaya saat Elang berkata, "Lo udah buat gue marah, Ran. Dan untuk sebuah sentuhan, kayanya malam ini enggak bisa gue berikan."

Sebentar ... apakah Elang baru saja mematahkan sesuatu yang tidak bertulang?

* * *

Hai, kamu! Katanya lagi lelah, tapi kok masih belum istirahat? Tidur dulu, ya. Jangan begadang, jangan drakoran dulu. Nanti, kalo kamu udah kembali baik, silakan nikmati lagi apa yang ada.

Salam,

dari penulis yang masih butuh banyak belajar

EPIPHANYWhere stories live. Discover now