Dark Chocolate: Dista

2.2K 87 15
                                    

Dark Chocolate; Dista

Suasana hari itu gak terlalu cerah, tapi dibilang mendung gak juga. Cuma udara lumayan berhembus kencang, menyejukan Dista yang sedang panas kepala dan duduk di bawah pohon rambutan yang banyak semutnya itu. Udara terus ikut berhembus dari Dista.

Ada kalanya sebuah kepercayaan ternodai. Memang sudah hal yang tidak aneh lagi. Namun Dista tetap malas berpikir, mencari celah dimana kekurangannya hingga diselingkuhi begini lamanya. Masih mending diselingkuhin sama orang yang gak dikenal, tapi ini sama temennya sendiri. Nasib... nasib....

Mau marah, terkesan kekanak-kanakan. Mau diem, tapi ini hati, bukan baja. Hati ini sakit. Mereka pacaran hampir satu tahun, diselingkuhi hampir satu semester. Ini Dista yang bodoh apa emang Halina yang pintar menyembunyikannya? Dista gak tahu, intinya Dista pusing.

Mata bengkaknya sedang asik-asiknya merem melek, sebuah bayangan menutupi cahaya matahari ke wajahnya. Dista membuka mata dan menemukan sesosok orang asing. Orang asing sejak kejadian nista itu diketahui olehnya. Ingin rasanya Dista menonjok sosok itu, namun sebagai penganut paham kekerasan gak akan menyelesaikan masalah, dia diam.

"Maaf, Dis," ucap sosok itu. Dista malas berdebat, jadi hanya menganggukinya. Namun gak menolak ketika sebuah coklat disodorkan padanya. "Thanks," katanya tak acuh. Sosok itu mengangguk, lalu ikut duduk. Seketika Dista menggeser bokongnya karena gak mau dekat-dekat sosok itu. Sosok itu mengangguk, lagi-lagi paham.

"Maaf kalo gue rebut Lina dari lo, tapi cinta itu gak bisa dipaksakan."

"Iya gue tahu." Dista mulai membuka bungkus coklat dan memakannya. "Lagian gue udah lupa siapa itu Lina alias Halina." Bohongnya. Bohong banget. Halina itu sosok cewek adik kelas yang dari dulu udah ditaksirnya. Dan baru-baru satu tahun yang lalu aja bisa dipacarinya. Eh, malah ditikung. Gak heran si, sosok Reta memang ganteng, kalem juga, siapa yang gak bakal baper deket dia?

Reta ketawa. Dia suka sosok Dista yang easy going, humble, dan gak bawa repot.

"Btw, sama-sama," bilang Dista tiba-tiba.

Reta menyernyit bingung, "Terima kasih? Buat?"

"Gue udah jagain jodoh lo enam bulan sebelumnya."

Reta ketawa lagi, "Dia bukan jodoh gue kok, gue yakin."

"Lho?" Dista seketika melotot. Ia berhenti nyemilin coklat dan noleh sangsi ke Reta. "Maksud lo apa? Lo niat mempermainin Halina, hah?!"

"Enggak Dis, tapi emang gue gak cinta Lina."

Dista seketika meradang, "Kalo lo gak cinta Lina, kenapa lo rebut dia dari gue Ret!"

"Karena gue gak suka liat dia deket-deket lo!"

"Maksud lo?"

"Gue cinta sama lo Dis!-sial gue kelepasan!" Sosok itu tiba-tiba bangkit dan melengos. Tapi Dista terlanjur ingin tahu apa maksud orang yang selama ini menjadi karibnya itu. Dicekalnya lengan Dista, tapi dari segi manapun Dista cuma sosok malas yang jarang berolahraga. Pegangan itu terlepas hanya dengan satu sentakan.

Tidak menyerah dengan ini, Dista mulai menyalakan ponsel dan memberondongi Reta dengan panggilan yang terus ditolak sosok itu. Pesan pun diketiknya dengan tujuan agar Reta menjelaskan kata-katanya tadi. Namun setelah belasan pesan dan puluhan panggilan, balasannya hanya satu kata.

Lupakan.

Bagaimana mungkin Dista melupakan kata-kata yang dengan jelasnya didengarkan telinganya. Dan kata-kata seaneh itu diucapkan untuk sesama pria, terutama dari karibnya? Sejak kapan? Sejak kapan Reta gay dan menyukainya?

About Us! (BxB)Where stories live. Discover now