12. Lagi-lagi Dia

Start from the beginning
                                    

"Baik, Bunda," jawab Elang sopan.

"Em ... Elang sudah makan belum? Mau makan malam di sini?"

"Eh--gak usah, Bunda. Tadi sebelum ke sini Elang udah makan, kok."

"Oh, yaudah kalau gitu." Menyampingkan Elang, Luna malah menoleh ke arah Rania yang masih berdiri cantik di depan kulkas. "Rania, kenapa masih di situ?"

"Iya, Bunda, iya," sahutnya acuh tak acuh. Tapi tetap saja ia membawakan langkahnya mengarah ke sana.

"Bunda tinggal dulu kalau gitu. Baik-baik, ya, kalian."

"Iya, Bunda," balas Elang dan Rania bersamaan. Keduanya terdiam, memandangi Luna yang pelan-pelan mulai menjauh lalu menghilang di balik kamarnya.

"Ngapain ke sini?" Rania mengambil tempat di sebelah Elang. Kedua lututnya juga dihadapkan sepenuhnya ke arah laki-laki yang mengenakan hoodie berwarna abu-abu itu.

Sebelum mengeluarkan sepatah kata, Elang memutuskan untuk lebih dulu menepuk puncak kepala Rania. Ya ... Rania tahu bahwa itu adalah sebuah kebiasaan Elang yang sama sekali tak bisa dihilangkan ketika sudah bertemu dengannya. Dan perlahan-lahan, Rania akhirnya juga terbiasa sendiri akan setiap sentuhan yang laki-laki itu berikan kepadanya. "Kangen," jawab Elang sembari memperlihatkan sebuah senyum kecil pada sudut bibirnya.

"Ck, terus kenapa gak ngabarin dulu?"

Seketika senyum manis di bibir Elang menghilang. Laki-laki itu terlihat menggantikannya dengan mimik datar dan kesal. "Udah ditelpon, di-chat, tapi gak satu pun lo bales."

Menyadari satu hal yang baru saja dilewatkan olehnya, Rania pun refleks menepuk dahi. "Lupa. Tadi sehabis makan hp-nya aku cas."

"Hm ... pantesan," cetus Elang sebal.

Melihatnya Rania hanya bisa tertawa ringan. "Mau minum?" tawarnya untuk menghilangkan jeda yang sempat tercipta di antara mereka.

Elang menggeleng. "Enggak. Mau tidur aja."

Namun, belum sempat Rania menyuarakan kebingungannya, Elang tiba-tiba saja merebahkan diri, lalu meletakkan kepala ke atas pahanya. "Kamu ngantuk, Lang?" tanya Rania setelah menormalkan jantung yang sempat memberontak tak karuan di dalam sana. Napasnya pun sempat terputus, saat dirasa bahwa Elang memutar tubuh lalu memeluk pinggangnya detik itu juga.

"Heem," gumam Elang yang terlihat menutup matanya rapat-rapat. "Gue lelah, Ran. Sore tadi gue gak sempat istirahat karena harus latihan voli. Selepas maghrib gue harus jemput papa di bandara. Ini juga belum sempat makan." Dengan suara lemah, Elang mengadukan semuanya pada Rania. Saat ini Elang tak lebih bagai seorang anak kecil yang meminta untuk diperhatikan. Dan dari wajah yang tertutup di bawah sana, Rania benar-benar menemukan semua kelelahan yang baru saja diucapnya.

Lantas jemarinya bergerak sendiri untuk mengusap-ngusap kepala Elang secara perlahan. Ia pun harus sedikit menunduk untuk mencari wajah Elang yang tenggelam di sana. "Terus ini mau makan gak? Biar aku siapin," tanya Rania yang ikut-ikutan mengecilkan suaranya.

"Enggak mau. Maunya tidur aja dulu."

Rania terdiam, karena tangannya saat ini memutuskan untuk menepuk-nepuk pelan kepala Elang agar lelahnya cepat berkurang. Beberapa detik berlalu begitu saja. Suara televisi masih terdengar nyaring. Tatapan Rania juga terfokus ke arah sana. Hingga selanjutnya, deringan ponsel Elang yang tergeletak di atas meja kaca di depannya, terdengar memecahkan setiap detail keheningan yang baru saja ia rasa.

Pandangannya berlalu silih berganti. Sekejap ia memandangi ponsel pintar yang setia bergetar, tapi detik kemudian ia juga menatap Elang yang telah terbuai dalam lelapnya. Sejenak ia dihadapkan oleh rasa dilema. Antara ingin membangunkan Elang, tapi ada rasa tak tega di hatinya. Namun, tetap saja pilihan Rania jatuh pada opsi yang baru saja dipikirnya. "Elang, ada telpon," ucap Rania dengan mengusap pipi Elang menggunakan jari tangannya.

Beruntung Elang bukanlah tipe laki-laki yang sulit untuk dibangunkan. Matanya mengerjap beberapa detik, lalu menatap sayu ke arah gadis yang dengan rela bersedia meminjamkan pangkuan untuk menghilangkan rasa lelahnya. "Siapa?" tanya Elang dengan menekuri wajah Rania dari arah bawah.

Untuk menjawab pertanyaan yang baru saja Elang lontarkan, maka ia perlu mencondongkan tubuh dan menjulurkan tangan agar bisa mengambil ponsel pintar di atas meja. Sejenak Rania menahan napas. Bersama rasa nyeri yang perlahan muncul pada hatinya, ia pun berkata, "Viola."

* * *

Kira-kira si Vio mau ngapain lagi, ya?

Salam,

jangan lupa vote dan komennya, yaa

EPIPHANYWhere stories live. Discover now