PART 11 ~Pernikahan~

Start from the beginning
                                    

"Saya terima nikah dan kawinnya Raida Jiha—"

Aku melirik ke arah mas Fadlan dengan was-was. Dia baru saja salah menyebut nama. Penghulu mengisyaratkan untuk mengulang Ijab qabul. Aku melihat tatapan mas Iqbal yang berubah. Dia pasti merasa aneh ketika mendengar nama wanita lain diucap oleh calon suamiku sendiri.

"Saudara Muhammad Fadlan Al Ghifari Bin Muhammad Salman Al Qadir saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Malaika Farida Najwa Binti Muhammad Al lais Firdaus dengan mahar emas lima puluh gram dan seperangkat alat shalat dibayar tunai."

"Saya terima nikah dan kawinnya Malaika Farida Najwa Binti Malik Ib—"

Mas Fadlan salah lagi. Kali ini bukan salah menyebut namaku, melainkan salah menyebut nama abi. Aku dapat mendengar para tamu berkomentar. Aku berdoa dalam hati. Semoga kelanjutan ijab qabul ini berjalan dengan lancar.

"Saudara Muhammad Fadlan Al Ghifari Bin Muhammad Salman Al Qadir saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Malaika Farida Najwa Binti Muhammad Al lais Firdaus dengan maskawin berupa emas lima puluh gram dan seperangkat alat shalat dibayar tunai."

"Saya terima nikah dan kawinnya Malaika Farida Najwa Binti Muhammad Al lais Firdaus dengan maskawin tersebut, tunai."

Alhamdulillah

"Bagaimana, saksi? Sah?"

"Sah!"

"Sah!"

"Barakallah..."

Setelahnya penghulu menggemakan doa-doa yang merasuk ke dalam jiwaku. Semua tamu di dalam aula mengucap amin ketika penghulu menuntaskan doanya.

"Sekarang mempelai pria memasangkan cincin kepada mempelai wanita." Penghulu memberikan arahan. Aku melihat mas Fadlan mengambil kotak persegi kecil berwarna merah. Dua buah cincin putih yang salah satunya berhiaskan berlian terlihat sangat indah. Mas Fadlan memasangkan cincin berlian itu di sela jari manisku. Aku turut memasangkan cincin yang satunya di sela jari manis mas fadlan. Masyaallah, aku merasakan bahagia tak terkira.

Setelahnya aku mencium punggung tangan mas Fadlan. Dia membalas dengan mencium keningku. Sungguh momen yang tak akan pernah kulupakan hingga ajal menjemput. Aku akan selalu mengingat saat-saat ini. Selalu.

***

"Malam ini kita pulang ke rumah umi dan abi, besok kita pindah ke rumah mas."

Aku mengangguk ketika mendengar mas Fadlan mengatakan hal itu. Lagipula tubuhku sudah terlalu lelah untuk persiapan pindah ke rumah mas Fadlan. Malam ini aku hanya ingin istirahat.

"Ini kamar mas, kamu bisa tidur disini."

Mas Fadlan membuka pintu kamarnya. Aku terhenyak ketika mas Fadlan memanggilku "kamu". Perubahan status kami ternyata juga berpengaruh pada cara mas Fadlan memanggilku. Aku tersenyum kecil. Walaupun menurut mas Fadlan panggilannya bukan seberapa, tapi bagiku ini sangat luar biasa.

"Mas tidur dimana?" Pertanyaan itu meluncur tanpa bisa kutahan. Aku merutuki diri.

"Mas tidur di ruang kerja. Ada pekerjaan yang harus mas selesaikan."

Di sebelah kamar mas Fadlan memang ada ruang kerja. Aku melihat tulisan "Jangan diganggu" di pintu.

"Mas mau ke bawah. Kamu istirahat saja."

Mas Fadlan berjalan pergi. Aku lantas memasuki kamar. Kamar mas Fadlan terlihat rapi, Alan yang dulu kukenal memang selalu rapi dalam urusan kamar. Ternyata kebiasaan itu dibawa hingga sekarang. Aku tersenyum sekaligus senang. Mas Fadlan ternyata masih sama. Hanya saja sikapnya tak seramah dulu padaku. Aku berharap suatu saat nanti dia bisa seperti dulu. Saat kami saling mencintai.

Kalau kupikir-pikir, malam ini seharusnya menjadi malam yang paling kunantikan. Malam ini adalah saat dimana dua orang yang sudah halal berbagi kasih satu sama lain. Tidak ada lagi jarak yang memisahkan mereka. Mereka benar-benar sudah menjadi satu. Tapi dalam kisahku justru malam ini menjadi malam yang sama dengan malam-malam biasanya. Bedanya malam ini statusku sudah sah menjadi seorang istri. Hanya itu saja.

Aku membuka gaun pernikahan. Tubuhku lengket dan tidak enak. Langkah pertama yang aku ambil adalah mandi, setelahnya aku bersiap-siap menunaikan shalat maghrib. Untung saja tadi pagi aku sudah membawa pakaian dan perlengkapan shalat dari rumah sehingga tidak harus meminjam pakaian dan mukena umi.

Aku menggelar sajadah di lantai. Kusisakan bagian kosong di depan. Aku berharap bagian kosong itu bisa diisi oleh seseorang yang sekarang sudah halal menjadi imamku. Aku menunggu kedatangan mas Fadlan cukup lama. Kulihat jam di dinding sambil menghela nafas. Aku berinisiatif untuk mencari mas Fadlan diruang kerjanya. Dia mungkin sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan.

Setelah keluar kamar, aku mendapati pintu ruang kerja mas Fadlan tak ditutup. Samar-samar aku melihat seseorang tengah bersujud. Mas Fadlan tengah shalat. Aku merasakan sesuatu di hati. Sakit.

Seharusnya aku tak berharap banyak

Aku melangkahkan kaki kembali ke kamar. Seharusnya aku tak perlu berharap. Mas Fadlan masih belum menerima pernikahan ini. Lagipula kenapa aku bisa lupa tentang bagaimana pernikahan ini terjadi.

Aku menghela nafas. Kulihat lantai kosong di depanku. Aku mungkin tak akan melihat seseorang menggelar sajadah di sana. Mungkin tidak akan pernah.

Bersambung



Mahram Untuk Najwa (END)Where stories live. Discover now