PART 2 ~Mawar Putih~

Start from the beginning
                                    

"Tapi saya butuh waktu untuk membuatnya."

"Saya akan menunggu."

Setelahnya Fadlan berjalan melewatiku. Laki-laki itu memasuki toko dan melihat-lihat jejeran buket bunga yang sebelumnya telah kubuat. Aku mengeratkan tangan dan mengucap istighfar berulang kali. Setelah merasa bisa mengontrol diri, akupun masuk ke dalam toko. Kulihat dia masih dalam aktifitas yang sama, menatap setiap bunga yang tertata rapi diatas rak. Sesekali dia mencium aroma bunga dan tersenyum setelahnya. Aku ikut tersenyum melihat hal itu. Rasanya seperti melihat kembali senyum Alan 10 tahun lalu. Bedanya sekarang senyuman Alan versi dewasa.

"Bunga apa yang Jihan sukai?"

Aku yang tengah sibuk memadupadankan bunga langsung memusatkan perhatian pada seseorang yang mengajukan pertanyaan.

"Menurut mas?" Aku bertanya balik.

"Emm sepertinya dia suka mawar putih."

Deg aku menatap sosok laki-laki yang tengah mencium buket bunga mawar putih sambil tersenyum. Untuk sesaat aku memiliki harapan dia mengingatku. Bunga mawar putih adalah bunga favoritku. Alan dulu sering memberikanku mawar putih saat di sekolah. Setiap pagi dia selalu wajib meletakkan bunga mawar putih di mejaku. Aku selalu tersenyum ketika mengingat hal manis yang ia lakukan dulu.

"Apa saya benar?" Fadlan menatap ke arahku. Pandangan kami saling bertemu beberapa saat sebelum akhirnya aku memutuskannya secara sepihak.

Astaghfirullahaladzim

Aku mengucap istighfar dalam hati. Nafsuku sudah mencapai batas zona aman. Jika kubiarkan saja maka dosa zina akan terus kutumpuk hingga setinggi gunung.

"Bukankah seharusnya mas sudah tahu?" Aku balik bertanya lagi padanya. Fadlan menatapku dengan tangan bersidekap.

"Apa kau sering memberikan pertanyaan balik ketika seseorang bertanya?"

"Tidak sering."

Setelah itu tidak ada percakapan lagi. Aku sibuk dengan buket bunga yang sebentar lagi akan siap sedangkan Fadlan sibuk dengan panggilan telepon yang kupikir dari rekan kerjanya. Setelah aku selesai mengikat buket dengan pita berwarna gold maka buket bunga pun sudah jadi.

Aku mengucap Alhamdulillah karena bisa menyelesaikan buket bunga ini lebih cepat dari biasanya. Yani yang beberapa kali melihat ke arahku mungkin berpikir kenapa aku begitu terburu-buru dalam membuat buket bunga. Biasanya aku akan membuat buket dengan tenang dan hati-hati agar buket yang dihasilkan pas dan sempurna. Alasannya sudah jelas karena aku tak bisa tahan berlama-lama bersama laki-laki itu di ruangan yang sama.

"Buketnya sudah selesai mas."

Fadlan langsung mematikan panggilan dan memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Ia mengambil salah satu buket bunga di atas rak sebelum menghampiriku yang sekarang tengah berada di kasir.

"Saya ambil buket bunga ini juga." Fadlan meletakkan buket bunga mawar putih yang tadi ia ambil di meja kasir.

"Mas tidak usah bayar."

"Buket yang kamu buat sangat cantik. Jihan pasti menyukainya, saya tentu harus membayar mahal untuk sesuatu yang spesial bukan? Lagipula senyuman Jihan setelah melihat buket ini tak terkira harganya."

Aku merasa seperti tertohok dengan kalimat yang Fadlan katakan. Seperti ada desiran aneh ketika ia mengatakan senyuman Jihan tak terkira harganya. Seolah level antara aku dengan wanita itu ibarat bumi dengan langit. Dia jauh diatas sedangkan aku masih berada dibawah.

"Totalnya 550.000."

Fadlan memberikanku enam lembar uang seratus ribu. Ketika kuberikan kembalian, laki-laki itu menolak. "Ambil saja sekalian dengan bunga ini."

Fadlan memberikanku buket bunga mawar putih. Aku menatapnya penuh tanya, jangan sampai perlakuan manis yang ia berikan ini membuatku menjatuhkan harapan yang sia-sia.

"Kenapa mas memberi saya buket bunga ini?"

Fadlan tersenyum, "Anggap saja sebagai tanda terima kasih karena kau sudah mau membantuku."

Aku mendorong buket bunga itu menjauh. "Lebih baik mas berikan kepada Jihan saja."

Fadlan menggeleng, ia kembali mendekatkan buket bunga itu padaku.

"Ambil saja. Jihan pasti akan senang karena saya juga memberikan sahabatnya bunga."

Tapi aku yang tidak senang dengan perlakuanmu mas, rasanya seperti kamu memberikan aku harapan yang semu

"Saya harus pergi sekarang. Terima kasih untuk buket bunganya Najwa."

Aku terbangun dari lamunan, ku lihat ia tersenyum ke arahku. Ku balas dengan tersenyum simpul. "Iya sama-sama mas."

"kalau begitu saya pergi dulu, Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Setelahnya Fadlan pun keluar toko dan memasuki mobilnya. Aku terus melihat ke arah laki-laki itu hingga mobilnya menghilang dibalik dinding toko. Masyaallah aku benar-benar sudah jatuh dengan pesona Fadlan. Caranya berbicara, berjalan dan memperlakukan wanita membuatku kembali menjatuhkan hati pada pria yang sama setelah 10 tahun lamanya. Astaghfirullah Aku tak boleh terus seperti ini, bagaimanapun juga Fadlan adalah calon suami dari sahabatku sendiri.

Sadar Najwa, kamu tidak seharusnya menyimpan rasa untuk dia

"Mbak Najwa kok liatnya gitu sih sama mas tadi?" Yani bertanya padaku. Aku juga tak tahu harus menjawab apa. Tubuhku dengan sendirinya melakukan sesuatu yang berbeda untuk sosok dia. Termasuk caraku menatapnya.

"Apaan sih Yan. Aku biasa kok liatnya."

"Mbak jangan bohong deh. Mata mbak nggak bisa menipu aku. Pas mas Faiz datang mbak Najwa nggak pernah tuh liat yang sampe matanya mau keluar kayak tadi." Yani terkekeh, aku menatap gadis itu horor. Ketika Yani memabahas tentang mas Faiz, aku kembali mengingat kejadian tiga hari yang lalu. Saat dia mengatakan ingin melamarku.

Bersambung

Mahram Untuk Najwa (END)Where stories live. Discover now