• Masih Menunggu •

4.6K 506 11
                                    

"Cinta tidak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Yang pertama keberanian, yang kedua adalah pengorbanan"

(Salim A. Fillah)

Pagi yang cerah dengan langit biru menggantung indah, ikut menambah keceriaan gadis yang kini berumur dua puluh empat tahun kian meningkat. Bibirnya terus saja melantunkan sholawat sejak keluar kamar hingga sampai meja makan. Hingga sampai disana ia juga tidak lupa mengecup pipi sang mama sebelum benar-benar duduk di bangkunya.

Zira terkekeh kecil, tanpa ditanya pun ia sudah bisa menebak bahwa putrinya sedang bahagia. Ditawari seminggu lalu bekerja di perusahaan besar adalah hal yang sangat tidak terduga bagi putrinya. Betapa bahagianya Zira begitu doanya dikabulkan oleh Rabb, seminggu lulus wisuda tiga hari selanjutnya Kenara sudah berkerja. Ucapan syukur tidak pernah lepas dari bibirnya hingga kapan pun.

"Bahagia banget ya putri, Papa."

Senyum Kenara merekah melihat papanya yang baru datang. Sebelum benar-benar duduk, Papa tidak lupa mengelus hangat kepalanya putrinya yang tertutup jilbab. Hal itu membuat kebahagian Kenara kian bertambah setiap harinya.

"Ada Papa, buat aku begitu bahagia...," ucapnya semangat, membuat sang papa terkekeh. Sementara mama yang meletakkan secangkir kopi hangat di atas meja menyipitkan mata ke arah putrinya.

"Jadi sama Mama nggak bahagia?" Zira cemberut, hal itu membuat sang putri dan papa tertawa.

"Tanpa terkecuali," bisik Kenara pada malaikat tak bersayapnya. Hal itu membuat Zira terkekeh kecil.

"Bisa aja kamu, ya udah di makan sarapannya, nanti kamu sama Papa telat lagi." ingat Zira yang membuat Kenara mengangguk semangat.

***

"Ya ampun, ini udah jam istirahat kali, Ra. Masih aja semangat kerja, ayo kantin dulu!" ajak Lina yang notabenenya sahabat Kenara sejak bekerja di sini. Kedua tangan Lina sudah bertengger di samping pinggang, wajahnya sudah mulai kesal dengan sahabatnya yang selalu saja mengabaikan waktu istirahat.

"Semangat kerja boleh, tapi lo nggak boleh lupa, tubuh juga perlu dijaga kali, Ra."

Itulah Lina, gadis yang begitu cerewet, tapi baik dan cantik, tidak lupa ia juga mudah bergaul hingga mereka bisa sedekat ini. Tapi sayang, Lina belum berpakaian muslimah yang seharusnya digunakan oleh perempuan muslimah sebenarnya. Tapi Kenara yakin, suatu saat nanti sahabatnya itu pasti bisa berubah.

Kenara hanya bisa pasrah jika Lina sudah mulai mengomel. Jika ia tetap memilih berkutat dengan perkerjaannya dipastikan sahabatnya itu akan ngambek, lalu ujungnya Kenara sendiri yang jadi pusing membujuk Lina. Lebih baik Kenara mencegahnya dari awal.

"Iya, Lin, ini udah aku matiin," ujar Kenara yang sudah bangkit dari duduknya. Sejurus kemudian Kenara sudah berdiri di samping sahabatnya.

"Nah gitu dong! Kamu yang traktir, kan?"

"Iyaa Lina," gemes Kenara, ia tidak mungkin lupa dengan janjinya.

"Yeaiii!"

Kenara terkekeh kecil melihat kelakuan Lina. Lihatlah sahabatnya itu kini berloncat ria, persis seperti anak kecil baru dikasih es krim.

"Dasar anak kecil," cibir Kenara tertawa.

"Wajarlah orangnya juga sangat imut, wajah baby fash gini."

Kenara memutar bola mata malas. Satu lagi, sahabatnya ini juga memiliki kepedean yang sangat tinggi.

"Dasar ya kamu, semakin dipuji semakin menjadi," Cebik Kenara meninggalkan Lina yang kini tertawa.

Sadar telah tertinggal jauh, Lina kian berteriak heboh. Kenara yang mendengarnya tertawa kecil, bukannya berhenti dan menunggu Lina, Kenara malah mempercepat langkahnya.

"Ih awas lo ya!"

Untung saja karyawan banyak yang tidak ada di kantor karena sekarang jam makan siang, jika tidak mereka sudah dipastikan kena tagur.

Menuju parkiran mereka malah terlihat seperti berkejaran walaupun sejatinya mereka sedang berjalan cepat. Kenara semakin terkekeh menyaksikan Lina yang kesal karena tidak bisa berlari dengan heels nya. Kenara kembali menghadap ke depan, namun baru kembali melangkah, Kenara kaget dengan adanya orang yang tiba-tiba muncul dihadapannya.

"Astaghfirullah." Kenara mengusap dada sembari beristighfar.

Seperti hantu saja!

"Aduh Pak, maafin teman saya, dia benar-benar nggak sengaja." Kenara melirik Lina yang entah sejak kapan sudah di sampingnya, sahabatnya itu terlihat cemas sendiri.

"Pak?" tanyanya.

"Ra, itu direktur perusahaan di sini, lo bisa mampus kalau sampai kena marah!!" bisik Lina ditelinganya.

Kenara membulatkan mata lebar, buru-buru ia langsung minta maaf. Kenara tentu saja tidak mau dimarahi atau sampai dipecat karena hal ini. Kenara bergidik ngeri. Bahkan ia baru saja bekerja disini seminggu lalu.

"Maaf, Pak, saya nggak-" Kenara mendongak, namun belum selesai dengan ucapannya, mata Kenara kembali membulat sempurna. "Alvin?"

"Hush! Panggil yang sopan, lo mau dipecat?" bisiknya menyenggol tangan Kenara.

"Kenara?"

Kini Lina mendongak menatap bingung Direktur yang ternyata mengenali sahabatnya.

"Kamu kerja di sini, Ra?" Alvin tersenyum lebar. Membuat Lina melongo.

Kenara mengangguk. "Sekali lagi saya minta maaf."

Alvin mengangguk, tersenyum. "Tidak apa-apa."

Kenara memutar matanya ke sana ke sini dengan kepala tertunduk. Canggung, itu yang dirasakan Kenara saat ini. Terlebih ketika ingatan ucapan Alvin terakhir kali mulai menguasai pikirannya. Rasanya Kenara ingin pergi saja dari sini.

"Mmm... kalau gitu saya permisi, Pak," ucapnya, lalu menarik Lina dari sana. "Assalamu'alaikum." Kenara tidak tau apa Alvin mengangguk atau tidak, yang jelas Kenara sungguh ingin menghilang dari Alvin sekarang.

Sudah ditarik hanya membuat Lina pasrah, ia menatap tidak enak sekaligus tidak sopan pada Direkturnya. "Maaf, Pak," ucapnya dan Alvin hanya mengangguk.

Seiring mobil merah yang perlahan menjauh dari lingkungan perusahan Alvin tersenyum kecil, ternyata sosok yang selalu ia sebut dalam doanya dan selalu ia pikirkan tidak jauh darinya.

***

Follow ig : @ftlsr_
@srftlhi

Cinta Dalam Hijrah || SELESAIWhere stories live. Discover now