• Firasat Buruk •

4.9K 547 16
                                    

Bismillah

"Menjawab celotehan itu adalah kunci pembuka pintu kejelekan. Mendiamkan orang yang bodoh dan dungu adalah kemuliaan, sebagaimana padanya menjaga kehormatan dan perdamaian."

{ Al-Imam Syafi'i rahimahullah ta'ala. }

"Tidak kah engkau melihat singa-singa itu ditakuti padahal ia diam seribu bahasa, sedangkan anjing itu dilempari batu walaupun ia mengonggongg sepanjang waktu?"

{ Diwan al-Imam Syafi'i, hlm 51 }

"Ra, catatan ekonomi lo udah selesai?" tanya Gito yang tahu-tahu sudah berada di depan meja Kenara.

Kenara yang tadi sibuk menulis mendongak. "Udah," jawab Kenara dan langsung mengalihkan pandangannya.

"Bab pertama lo udah selesai?"

"Udah," jawab Kenara lagi, masih menulis.

"Emang dari mana sampai, Ra?"

"Dari awal sampai akhir," jawab Kenara seadanya, membuat Gito berdecak.

"Jelasin gitu, Ra. Gue nggak ngerti ini."

Tampa menatap Gito, Kenara mulai membuka catatannya dan menjelaskannya dengan baik ke Gito. Sebenarnya Kenara sangat menghindari ini. Takut nanti Kenara tidak bisa mengontrol matanya. Biasanya kalau berbicara, Kenara menatap balik lawan bicara agar apa yang disampaikan jelas. Namun, Kenara tidak mau karena itu zina mata.

"Udah ngerti kan, To?" tanya Kenara melirik sekilas lalu kembali mengalihkan pandangannya.

Gito menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Kurang. Lo lagian orang guenya disini lo liatin ke mana."

Mana mau gue dosa. Gumam Kenara dalam hati, ia kembali ingat akan materi kajian yang didapatinya kemaren dari umi.

"Sesungguhnya Allah telah menetapkan atas diri anak keturunan Adam bagiannya dari zina. Dia mengetahui yang demikian tanpa dipungkiri. Mata bisa berzina, dan zinanya adalah pandangan (yang diharamkan). Zina kedua telinga adalah mendengar (yang diharamkan). Lidah (lisan) bisa berzina, dan zinanya adalah perkataan (yang diharamkan). Tangan bisa berzina, dan zinanya adalah memegang (yang diharamkan). Kaki bisa berzina, dan zinanya adalah ayunan langkah (ke tempat yang haram). Hati itu bisa berkeinginan dan berangan-angan. Sedangkan kemaluan membenarkan yang demikian itu ataumendustakannya." (HR. Bukhari no. 6243 dan Muslim no. 2657. Lafadz hadits di atas milik Muslim).

"Ibnu Katsir Rahimahullah berkata, 'Ini adalah perintah dari Allah Ta'ala kepada hamba-hambanya yang beriman untuk menjaga (menahan) pandangan mereka dari hal-hal yang diharamkan atas mereka. Maka janganlah memandang kecuali memandang kepada hal-hal yang diperbolehkan untuk dipandang. Dan tahanlah pandanganmu dari hal-hal yang diharamkan.' (Tafsir Ibnu Katsir, 6/41)

Karena itu lah, mulai hari ini Kenara sudah bertekad untuk menjaga pandangan. Kenara hanya tidak ingin mendapatkan dosa lebih banyak.

"Lo tanya aja sama yang lain ya, To. Gue mau nulis," suruh Kenara, ia sedikit jengah dan takut tidak bisa mengontrol pandangan.

"Yah, Ra, lo aja deh! Yang lain belum selesai. Lo aja yang udah. Secara kan lo anak juara juga."

Kenara menghela nafas. Rasanya dia tadi sudah menjelaskan dengan pelan dan baik ke Gito. Tapi kenapa Gito tidak mengerti juga?

"Kan udah gue jelasin tadi, To. Dari sini sampai sini." Kenara mendongakkan kepalanya menatap Gito, ia jadi gemas sendiri. "Tanya aja sama buk Desy ya biar lo ngerti," tambahnya.

"Eh iya iya, gue udah ngerti. Tapi gue minjam catatan lo boleh, nggak? Gue mau salin." Kenara mengangguk.

"Balikin besok."

"Beres mah. Thanks ya, Ra." Kenara hanya mengangguk sebagai balasan.

Astaghfirullah. Kenara langsung menundukan kepalanya. Ia beristighfar. Baru saja Kenara menyadari ia telah lepas kontrol. Kenara menatap lawan bicara yang tidak halal baginya.

***

Kenara menghela nafas begitu matanya menangkap geng Ardi yang duduk di bangku depan kelas Ips sembilan. Murid-murid kelas Ips delapan dan Ips sembilan terlihat ramai berkeliaran. Sepertinya guru mereka tidak masuk.

Melihat mereka lagi membuat Kenara ingin memutar langkah saja saat ini, namun begitu ingat amanah buk Yuni untuk mengambil kotak pensil yang tertinggal di kelas itu, membuat Kenara menghela nafas kecil, mau tidak mau Kenara harus melanjutkan langkah.

Kenara menarik nafas dalam. Bismillah.

Begitu dua meter dari kelas lps sembilan, Kenara memilih menunduk, berjalan cuek seolah-olah tidak tahu mereka di sana. Dalam hati Kenara bersyukur, di luar murid ramai berkeliaran, semoga saja Kenara tidak kelihatan. Ya, semoga.

"Ehm."

Deheman itu membuat Kenara menghela nafas. Bagaimana mungkin ia tidak terlihat, ia satu-satunya yang menggunakan jilbab lebar di sini. Tampa merespon, Kenara memilih tetap menunduk seraya berniat menjaga pandangan yang sudah ditekadnya kemaren.

"Sombong amat woy!!"

Bodo amat. Gue nggak peduli.

Kenara tetap berjalan dan bernafas lega begitu sampai di pintu kelas. Gina yang juga ditakdirkan sekelas dengan Ardi dan Gian, kini berada di mulut pintu terlihat sedang berbicara dengan teman kelasnya.

"Gin." Panggilan pelan itu membuat Gina yang sedang asyik berbicara dengan temannya menoleh.

"Eh lo, Ra. Ada apa?" tanya Gina. Bingung, tumben sekali Kenara ke kelasnya.

"Itu, kotak pensil buk Yuni ketinggal di dalam, lo bisa tolong ambilin nggak, Gin? Buk Yuni nyuruh gue soalnya."

Gina melirik ke arah meja guru sekilas, begitu melihat ada kotak pensil di sana ia mengangguk.

"Oh ya udah, bentar." Kenara mengangguk dan tidak butuh lama Gina kembali dihadapannya. Selesai, ia pun pamit dan berterimakasih. Namun begitu kembali berjalan ke luar, Kenara terpaksa menahan emosi yang baru saja dipancing.

"Hai mantan."

Ingin rasanya Kenara menabok kepala Ardi dengan kontak pensil saat ini. Kenara jengah, tiba-tiba Ardi menyapanya dengan sebutan mantan? Padahal tiga hari lalu ia mengatakan ogah menganggapnya mantan.

Hhhh ...

"Dia mantan lo, Ar?" Radit berkedut menahan tawa. "Bukannya nggak lo anggap, ya?"

Terdengar tawa cekikikan keras yang membuat Kenara mengepal tangan kuat. Kenara mendesis. Ingin rasanya Kenara marah-marah dan juga mengatakan tegas bahwa ia juga ogah dibilang mantan dari cowok gila itu. Siapa juga yang sudi?

Arghh ... Astaghfirullah ... sabar, Ra.

Kenara menghirup nafas dalam. Mencoba menenangkan emosinya yang kian meluap. Hatinya meminta diam untuk tidak meneladani mereka yang tidak ada gunanya juga. Akhirnya Kenara memilih kembali berjalan, Kenara juga jadi risih dengan tatapan orang-orang yang mulai menatapnya.

Nanda tersenyum miring, menatap Ardi yang mengangguk. Ia bangkit dari bangku dan berjalan di depan Kenara, hingga membuat langkah gadis itu terhenti. Kenara yang menyadari itu menggeram kesal, walaupun ia menunduk ia sudah tahu itu siapa. Kenara mendongak, menatap tajam. "Gue mau ke kelas. Lo, bisa mingir?"

Ardi tertawa, sinis. "Bisa." Namun Ardi tidak juga minggir. Membuat Kenara ekstra sabar dan hendak melanjutkan langkah ke sisi kanan, namun Ardi kembali menghadangnya.

"Mau lo apa si, Ar?" geram Kenara benar-benar kesal. Ia masih mencoba menahan emosi yang sudah di ubun-ubun.

Ardi tersenyum picik. "Gue punya sesuatu yang seru buat lo."

Kenara memutar mata jengah. "Lo pikir gue takut?"

Ardi tersenyum dan kini terlihat tenang. Dengan suara datar namun pelan ia berkata, "Kita tunggu apa yang terjadi, Kenara." Kemudian berlalu meninggalkan Kenara yang kini terdiam di tempatnya. Firasat Kenara tiba-tiba buruk.

****

Cinta Dalam Hijrah || SELESAIWhere stories live. Discover now