• Sebenarnya Ada Apa? •

4.5K 514 28
                                    

"Saat aku memaafkan dan tidak mendendam pada seseorang, berarti aku telah meng-istirahatkan jiwaku dari kegalauan yang disebabkan oleh permusuhan."

(Imam as-Syafi'i)

Seminggu terlepas dari ledekan dan cemoohan, sempat membuat Kenara bernafas lega. Hidupnya terasa tenang seakan perlahan beban berat hilang di pundaknya. Namun ternyata kebahagiaan beberapa hari itu berpihak sementara. Karena nyatanya, baru saja Kenara berjalan di lorong kelas sebelas, semua mata kini malah menatapnya aneh dan risih, seperti biasa.

Kenara mengangkat bahu, bersikap cuek. Kenara sudah terbiasa dengan ledekan dan kini itu tidak menganggu pikirannya sama sekali. Toh, mengapa ia pusing memikirkan penilaian ataupun ucapan manusia, sementara yang menilai semuanya adalah Allah.

Kenara memasuki kelas. Sama seperti tadi di lorong, tatapan sulit tidak terbaca tertuju kepadanya. Walaupun dalam hati Kenara sedikit bingung tapi ia mencoba tidak peduli.

Bel istirahat menggema. Putri, Rizka dan Vita berlalu keluarga kelas begitu saja. Meninggalkankan Kenara tanpa ada basa-basi untuk mengajak ke kantin ataupun sekedar mengatakan 'gue duluan, Ra' seperti dua hari terakhir.

Sebenarnya ada apa dengan hari ini. Bahkan beberapa hari lalu semuanya baik-baik saja. Kenara tersadar dari lamunan begitu ponselnya bergetar, sebuah pesan masuk dari Fika yang kini menyuruhnya menyusul ke kantin.

Kenara bangkit dari bangkunya, berjalan menuju kantin, ia sudah Dhuha ketika izin untuk ke Mushalla di waktu pembelajaran. Dan tibalah kini Kenara di kantin, baru menduduki bangku yang ditempati Velin dan Fika, telinga Kenara kini mendengar kata-kata yang menyesakkan dadanya.

"Nah tuh orangnya." Tunjuk mereka dengan dagu. Mereka menatap Kenara sinis.

"Sok alim."

Kenara menghembus nafas panjang. Tidak di lorong tidak di kantin sama saja. Di lorong semua orang yang dilaluinya sangat menghindarinya, seakan merasa ogah didekatnya. Dan kini seisi kantin terang-terangan menghujatnya.

"Nggak ikhlas banget berubah," cibir cewek yang duduk di belakang Kenara.

"CEWEK MUNAFIK."

"Hanya topeng. Belagu banget."

"Dasar busuk!"

"Kalau berubah yang benar dong!"

Walaupun sudah kebal dengan kata-kata menyakitkan yang didengarnya, tatap saja kata-kata itu terasa menusuk hatinya.

"Jangan dengerin, Ra. Anggap aja angin lalu yang nggak perlu diledenin," ucap Velin yang membuat Kenara kini beralih menatap kedua sahabatnya.

"Sebenarnya ada apa, Vel? Gue nggak ngerti kenapa dengan hari ini. Hari ini benar-benar aneh," keluh Kenara yang memang tidak mengerti sama sekali. Ledekan itu sudah berakhir beberapa hari lalu dan hari ini mereka tiba-tiba kembali menghujatnya entah apa alasannya.

Fika dan Velin menatap iba Kenara sekaligus kaget mendengar penuturan Kenara yang ternyata belum tahu.

"Lo belum tahu, Ra?" tanya Velin dan Kenara menggeleng. Ia memang tidak tahu apa-apa.

"Lo belum buka grup, Awh-"

Velin meringis begitu kakinya diinjak oleh Fika. Ingin protes namun tidak jadi karena Fika yang memberi isyarat agar Velin tidak memberi tahu Kenara soal ini.

"Grup apa?" Kenara menatap kedua sahabatnya intens, memicingkan mata.

"Nggak, nggak kok, Ra. Nggak ada apa-apa," cengir Velin. "Lupain."

Kenara menghela nafas, ia merasakan gelagat aneh dari Fika dan Velin. Menatap kedua sahabatnya yang tersenyum meyakinkan membuat Kenara kini memilih mengambil ponsel di sakunya.

"Jangan Ra!" Larang keduanya. Namun diabaikan Kenara. Data seluler yang tidak dihidupkan dari semalam membuat ponsel Kenara kini dibanjiri notifikasi beribu-ribuan. Dan yang paling banyak diisi grup angkatan kelas sebelas.

1055 pesan belum terbaca.

***

Cinta Dalam Hijrah || SELESAIWhere stories live. Discover now