Part 28 : Solidaritas Tanpa Batas

7.5K 709 23
                                    

Amel dan Axel berlari menyusuri lorong klinik menuju ke tempat Raffa dirawat. Di sepanjang perjalanan dari Bandung ke Lampung Amel tak henti-hentinya berdoa agar adik bungsunya tidak mengalami masalah yang serius. Amel benar-benar khawatir, terlebih Chelsea dan Ibunya sedang berada New York. Sehingga adik kesayangannya itu tidak ada yang mengurusi.

"Raffa udah enakan?" tanya Amel sambil membungkuk dengan napas terengah-engah setelah sampai di ambang pintu. Membuat beberapa teman Raffa dan beberapa guru sekolah yang menjenguk Raffa menoleh ke arah Amel dan Axel.

"Kakak kira nggak ada yang nungguin kamu." Amel mendengus melihat suasana di ruangan itu begitu ramai. Raffa yang berbaring di atas ranjang hanya tersenyum tipis.

"Kamu udah makan?" Amel melangkah mendekati Raffa, mengeluarkan sekotak nasi goreng spesial favorit Raffa. Tadi, setelah turun dari pesawat yang Amel pikirkan hanyalah nasi goreng untuk adiknya. Itulah kakak, walau terkadang suka bertengkar dengan adiknya, tapi ia selalu punya cara tersendiri untuk peduli.

"Udah." Raffa nyengir kuda. "Tapi, laper lagi ngeliat nasi goreng."

Dengan wajah masamnya Amel menyuapi Raffa dengan nasi goreng yang ia bawa. Wajah Amel memperlihatkan ketidak pedulian, namun, hatinya menyiratkan kelegaan karena adiknya tidak apa-apa walaupun wajahnya dibalut dengan perban. "Raffa berantem lagi, Pak?" tanya Amel kepada Pak Tomo yang kebetulan berada di situ bersama Bu Sugi, dan Bu Nani.

"Raffa dihajar preman," jawab Pak Tomo tersenyum ramah.

Rifki, Gavin, Rijal, anak-Alister lain dan beberapa teman-teman sekelas Raffa seperti Ririn, Selly dan juga Agung tersenyum miris. Mereka merasa dianak tirikan oleh Pak Tomo. Lihatlah Pak Tomo yang terlihat begitu ramah dan bersahabat ketika ngobrol dengan Amel. Tidak seperti saat berhadapan dengan murid-muridnya. Wajah Pak Tomo selalu berubah menjadi singa yang sedang kelaparan.

"Jangan-jangan Pak Tomo naksir sama kakaknya Raffa," bisik Rijal pelan ke telinga Rifki.

"Bego! Ada suaminya tuh." Rifki mengarahkan bola matanya ke Axel, suami Amel.

"Aemm..., yang banyak." Amel menyuapi Raffa dengan telaten. Seperti dulu, ia sering menggantikan peran ibunya mengurusi Raffa kecil yang bandelnya minta ampun saat ibunya sibuk bekerja. Kala itu keluarganya adalah keluarga yang serba kekurangan. Ayah dan Ibu Raffa hanya pedagang roti di pinggir jalan. Sampai pada akhirnya roda dunia berputar, keluarga Raffa menjadi kaya raya berkat usaha sang ayah. Hingga ayahnya menjalankan bisnis di New York dan tidak pernah pulang selama 5 tahun lamanya. "Kamu punya masalah sama siapa sampai-sampai digebukin sama preman?" ucap Amel memarahi Raffa setelah mendengar cerita dari Pak Tomo bahwa Raffa digebukin oleh preman.

"Aku nggak tau. Tiba-tiba digebukin gitu aja," jawab Raffa sambil mengunyah nasi gorengnya. Ia berbohong, karena tidak ingin siapapun tau masalahnya. Kecuali sahabat-sahabatnya.

"Kenapa tidak dilaporin ke polisi aja, Pak?" Axel yang berdiri di belakang Amel mulai membuka suara.

Pak Tomo menoleh ke arah Axel. "Kita belum punya bukti untuk melaporkannya."

"Tuh, kan, kalau ngomong sama suaminya Kak Amel wajah Pak Tomo berubah jadi kecut," bisik Rijal lagi ke telinga Rifki.

"Apakah kamu ingat ciri-ciri orang yang gebukkin kamu, Raffa?" tanya Pak Tomo.

"Ada empat orang pakai helm, yang dua pakai seragam SMA Mandiri," jelas Raffa yang berat sekali mengatakan kalau kedua murid SMA Mandiri yang ikut menghajarnya adalah Irul dan Apin si ketua OSIS.

"Siapa dia? Kamu punya masalah sama siapa?"

"Hmm, nggak tau, Pak."

Gavin menyayangkan jawaban Raffa yang tidak mau jujur. Padahal ia mengira kalau Pak Tomo bisa membantu mereka. Guru itu tidak mungkin berkhianat demi uang. Tidak seperti Pak Yudi.

RAFFALIQA Where stories live. Discover now