Part 25 : Pelukan

9.1K 786 23
                                    

"Raffa kamu nggak papa?" ucap Aliqa panik sambil mengguncang-guncang tubuh Raffa yang terkulai lemas berlumuran darah.

Raffa terbatuk-batuk, mulutnya sampai mengeluarkan darah. Membuat Aliqa semakin khawatir.

"Aku telpon Pak Tomo biar dianter ke rumah sakit, ya?" Dengan tangan gemetar Aliqa merogoh ponselnya yang berada di dalam tas.

Namun, buru-buru Raffa langsung menepisnya. "Ja..., jangan!" sergah Raffa dengan suara yang memprihatinkan.

Aliqa menatap Raffa dengan mata berkaca-kaca. Lidahnya terasa kelu melihat kondisi Raffa sekarang.

"Nggak usah minta bantuan uhukk... uhukkk..." Raffa kembali terbatuk-batuk. Wajahnya dipenuhi dengan darah, beberapa sudut bagian seragam sekolah yang ia kenakan robek. Kaki, lengan, dan bahunya memar dan sedikit memerah-kebiruan.

Aliqa tersentak saat Raffa tiba-tiba menggenggam tangannya. Gadis itu langsung melirik ke arah tangannya yang digenggam oleh Raffa sambil meneguk ludahnya dengan susah payah.

"A..., aku se..., seneng kamu ada di sini." Raffa meringis memegangi dada. Dengan suara yang bergetar.

"Kamu harus segera mendapat pertolongan, Raff." Aliqa yang sedari tadi dibuat terperangah oleh Raffa akhirnya kembali berbicara.

"Boleh aku peluk kamu?" ringis Raffa mencoba bangkit dengan susah payah.

Aliqa hanya terdiam di tempatnya dengan raut wajah bingung.

"Untuk yang terakhir kalinya." Raffa kembali meringis menahan rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuhnya.

Tubuh Aliqa membeku seketika. Air matanya luruh membasahi wajah.

Raffa memejamkan mata untuk menetralkan rasa pusing di kepalanya. Kemudian merangkak memeluk Aliqa. Aliqa terperangah, membiarkan Raffa memeluknya.

"Aku masih sayang sama kamu, Al," lirih Raffa ke telinga Aliqa sambil meringis kesakitan. "Selalu."

Brugg...

Raffa sudah tak sadarkan diri dipelukan Aliqa.

"Raff! Raffa!!!" Aliqa begitu panik. Ia mengambil ponselnya untuk menelpon bantuan.

***

Karena mendapat kabar buruk lewat pesan yang dikirimkan Aliqa. Gavin yang saat itu sedang bersama Rijal dan Rifki langsung bergegas menuju ke rumah sakit. Mereka bertiga mempercepat langkah kakinya menyusuri lorong rumah sakit. Gavin mengedarkan pandangannya ke sekitar mencari keberadaan Aliqa yang menelpon mereka.

"Itu!" tunjuk Rijal saat melihat sosok Aliqa sedang duduk di depan ruang UGD.

"Gimana keadaan Raffa?" tanya Rifki panik setelah sampai dihadapan Aliqa.

"Itu lagi dirawat," jawab Aliqa dengan suara serak.

"Kenapa bisa sampai kayak gini, sih?" Rijal memijat-mijat keningnya, pening.

"Raffa dikeroyok preman di pinggir jalan," lirih Aliqa sambil menunduk.

Rijal mengepalkan tangannya geram. "Siapa mereka?" desisnya pelan menahan emosi. Sementara Rifki dan Gavin hanya terdiam dengan raut wajah khawatir.

Tampak Pak Tomo baru saja datang membawakan Aliqa sebotol minuman kemasan. Guru bertubuh kekar itu baru saja kembali dari warung. "Apa kalian punya nomor telepon orangtuanya Raffa?"

"Mereka sedang di New York, Pak," jawab Gavin cepat karena dia adalah sahabat yang paling dekat dengan Raffa selain Def.

"Iya saya tau. Tapi, ada baiknya jika kita memberitahu keluarganya."

Terpaksa Gavin memberikan nomor telepon mama Raffa kepada Pak Tomo. Setelah itu Pak Tomo berjalan menjauhi mereka untuk menelpon keluarga Raffa.

"Udah dilaporin ke polisi?" tanya Rijal kepada Aliqa yang duduk terdiam dengan wajah gusar.

"Atas dasar apa kita lapor polisi? Pengeroyokan? Nggak ada bukti dari pelaku juga, nggak ada yang tau mereka siapa."

Gavin memundurkan langkahnya sampai bersender pada tembok kemudian termenung. Sementara Rifki duduk di sebelah Aliqa.

Cklekk...

Pintu terbuka, seorang Dokter keluar dari ruangan tersebut bersama dua suster di belakangnya.

"Bagaimana keadaan teman saya, Dok?"

"Ada beberapa bagian wajahnya yang robek, sehingga harus dijahit. Ada sekitar lima jahitan di wajahnya."

Rijal menghela napas lega. "Apakah kami boleh masuk, Pak?"

Dokter itu tersenyum. "Tentu, tapi jangan berisik, ya, pasien masih perlu beristirahat," ucapnya kemudian berlalu dari hadapan mereka.

Mereka berempat hanya bisa geleng-geleng kepala melihat keadaan Raffa yang memprihatinkan. Kepalanya dibalut dengan perban, seragamnya terkoyak dan robek-robek, serta luka memar yang berada di sekujur tubuhnya tak terhitung lagi berapa jumlahnya.

"Siapa yang melakukan ini?" Rijal menggertakkan giginya sambil menyentuh noda bekas sepatu di seragam sekolah yang dikenakan Raffa.

"Apa mungkin anak-anak Evos dari SMA Tunas Bangsa?" tebak Rifki di belakang Rijal.

"Nggak." Rijal menggeleng. "Mereka tidak mungkin setega ini."

"Punya masalah dengan siapa Raffa selain masalahnya dengan Aliqa?" celetuk Gavin yang bersedekap santai sambil menyenderkan tubuhnya pada tembok. Aliqa menoleh kikuk ke arah Gavin kemudian kembali menunduk menatap Raffa.

"Geng Alister harus bertindak," ucap Rijal geram. Cowok yang sering menggantikan kepemimpinan Raffa saat sedang sibuk itu menelpon seluruh anggota Alister untuk mencari preman-preman yang sudah mengeroyok Raffa.

***

"Brengsek lo!" Apin menjorokkan tubuh Irul hingga menatap tembok.

Bugh!

Satu pukulan telak mendarat di wajah Irul. Arsen dan salah seorang temannya hanya terdiam sambil menghisap rokoknya santai. Tidak ingin ikut campur urusan mereka.

"Kenapa, sih, lo gagalin rencana gue buat bunuh itu anak?!" Apin terlihat begitu kesal. Sementara Irul hanya terdiam, menyusut darah segar disudut bibirnya kasar.

"Owh, gue tau. Karena pacar lo dateng. Jadi, lo nggak pengen bunuh orang, iya?" tebak Apin dengan napas terengah-engah menahan emosi.

Bugh!

Dengan amarah yang meletup-letup Apin kembali menghajar Irul. "Reputasi gue sebagai ketua OSIS di SMA Mandiri bakalan terancam kalau Raffa mengadu kepada pihak sekolah kalau gue adalah pengedar narkoba. Bukan cuma itu. Gue bakalan di penjara, gue bakalan dikeluarin dari sekolah, bego!" Apin geregetan ingin membunuh Irul.

"Lo nggak tau Raffa itu siapa?" ucap Irul tenang.

"Siapa? Ketua geng Alister? Cowok most wanted di SMA Mandiri? Cowok famous yang dikagumi cewek-cewek? Mantannya pacar lo dulu?" Apin menatap tajam ke arah Irul.

"Lo bakalan nyesel udah berniat bunuh Raffa kalau lo tau siapa dia," ucap Irul penuh penekanan kemudian menjorokkan tubuh Apin dari hadapannya. Cowok itu melangkah pergi meninggalkan teman-temannya begitu saja.

Apin hanya terdiam. Merenungi ucapan Irul. Sementara Arsen tampak terkesiap. "Udah bertengkarnya?" tanyanya kepada siapapun. "Kenapa nggak bunuh-bunuhan?" lanjutnya lagi sambil tersenyum remeh.

"Diem lo!" Apin menggebrak meja yang ada di depannya. Kemudian ikut melangkah pergi meninggalkan ruangan itu.

"Masalah gitu aja diperumit. Gue yang udah jadi buronan aja santai, kok," cibir Arsen.

TBC

Comment dong, gimana perasaan kalian setelah baca part ini?

Apa yang bikin kalian penasaran wkwk

RAFFALIQA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang