Part 21 : Pura-pura Benci

8.4K 778 31
                                    

Raffa mendengus saat membuka lemari makanannya, kosong melompong tak berpenghuni. Pun, juga dengan kulkasnya yang hanya berisi sebotol sirup satu tegukan. Rupanya Chelsea benar-benar serius membuatnya mati kelaparan di rumah.

Ia merutuki dirinya sendiri yang keras kepala dan merasa benar dengan penilaiannya. Yang merasa semua orang terlalu pasrah untuk menerima prinsipnya yang kolot itu. Raffa akui bahwa Chelsea sudah berhasil membuatnya sadar, jika Raffa tidak bisa hidup sendiri tanpa adanya keluarga.

Nyatanya, ia sekarang tidak bisa apa-apa tanpa adanya Mama dan para pembantu yang bekerja di rumahnya, ia yang dengan lancangnya membenci Ayahnya yang terlalu mementingkan bisnisnya di luar negeri, mengklaim bahwa Ayahnya sudah punya keluarga sendiri sehingga tidak pernah pulang ke Indonesia. Padahal Ayahnya selalu memanjakannya dengan fasilitas hidup yang super duper mewah. Raffa menghela napas, dirinya adalah anak tidak tau diri. Pantas sekali jika Chelsea dan Amel membenci adik seperti dirinya.

Raffa memutuskan untuk kembali ke kamar. Memesan makanan delevery untuk mengatasi perutnya yang kelaparan. Tuh, kan, lagi. Ia selalu menggunakan uang yang ditransfer oleh Ayahnya. Kurang apa? Ayahnya selalu memudahkan kehidupannya. Tapi, kenapa ia tidak pernah bersyukur dan merasa beruntung dengan apa yang sudah diberikan oleh sang ayah kepadanya. Rasa bersalah mulai menggerogoti hati Raffa. Terlintas dibenaknya untuk mengirim pesan kepada sang Mama, apakah mereka sudah sampai di Amerika dengan selamat. Namun, gengsi Raffa kepada Chelsea terlalu besar untuk dilawan.

Alhasil, Raffa mencoba menelpon Def untuk menemani dirinya yang kesepian di rumah. Sayangnya Def tak kunjung mengangkat telepon, membuat Raffa meremas-remas ponselnya kesal. Ia kembali sadar bahwa Def yang sekarang sudah berbeda.

"Aku benar-benar sendirian di bumi," gumamnya.

***

Caramel duduk di sebuah bangku yang berada di perpustakaan, membaca buku. Sebenarnya Caramel diam-diam mengamati Irul yang juga terlihat sibuk membaca buku. Sedari tadi Caramel tidak melihat gelagat aneh dari Irul.

Caramel mendengus karena bell masuk sudah berbunyi. Sementara dirinya sama sekali belum menemukan bukti dari hasil memata-matai Irul di perpustakaan. Cowok itu benar-benar mengulur-ulur waktu Caramel untuk menyelesaikan misinya.

Caramel mengembalikan bukunya ke rak paling atas, kemudian mengekori anak-anak lain yang berbondong-bondong keluar dari perpus. Gadis berpenampilan cupu itu terhenti saat ada seseorang yang menyenggol lengannya.

"Apakah Nathan akhirnya jadian sama Salma?" tanya Irul tiba-tiba.

Caramel mengernyit kemudian menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, bingung dengan pertanyaan Irul.

Irul tersenyum sinis. "Sudah kuduga kalau lo nggak baca novel yang lo pegang tadi."

Caramel tersenyum kikuk. Ia sadar jika tadi ia memegang novel Dear Nathan. Irul benar-benar cowok yang jenius.

Caramel membelalak saat Irul menariknya kembali ke dalam perpustakaan, berada di sudut yang dikelilingi rak-rak buku yang sepi.

"Lo mematai-matai gue, kan?" Irul menatap tajam ke arah Caramel.

"Gue harap lo berhenti melakukan kegiatan itu!"

Caramel meneguk ludahnya dengan susah payah. "Ma... ksudnya?"

Irul mencekik leher Caramel hingga punggung gadis itu menabrak rak buku di belakangnya. "Nggak usah pura-pura bego!"

"Gue... nggak...."

"Apa tujuan lo mematai-matai gue?" Irul semakin kencang mencekik leher Caramel hingga tidak bisa bernapas. Suasana di ruang perpustakaan sudah sepi, karena semua anak sudah keluar dari ruangan itu. "Gue udah sering ngeliatin lo ngikutin gue!"

RAFFALIQA जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें