"Kalau ada perempuan lain yang duduk di jok motor ini, aku bisa tahu. Key, jangan coba-coba berbohong!"

Setidaknya begitu Sera selalu mengancam dan benar-benar tidak ingin ada perempuan lain yang kuboncengi di motor ini. Tentunya Sera sambil bercanda, tapi ancamannya itu, kupikir, manis.

Bahkan di motor ini, tidak sekali kita hujan-hujanan. Dari dulu aku cuma punya satu jas hujan. Bila tidak sengaja di tengah jalan tiba-tiba turun hujan, aku akan berlaga jadi jagoan dan memakaikan jas hujan kepada Sera. Aku biasanya melepas jaket, sepatu, dan memasukkannya ke bagasi. Kalau hujan, Sera dan aku tidak bisa berteduh lama-lama. Kita selalu sepakat untuk menerobos hujan agar bisa sampai ke tujuan lebih cepat.

Hujan itu membingungkan. Bila ditunggu reda, ia lama. Bila disuruh terus, ia berhenti.

Setidaknya begitulah kami percaya.

"Jadi siapa yang sudah kau boceng di motor ini, Key?" Tiba-tiba Sera bertanya.

"Emm, banyak," jawabku.

"Ooooooo.. aku tahu sih!"

"Menurutmu ada berapa?"

"Tujuh belas!"

"Bhahahaha, apa tidak kebanyakan?"

"Tidak, bahkan bisa lebih. Kau kan selalu melakukan hal diluar dugaan, Key, aku tahu itu."

"Dan kalau kujawab tidak ada perempuan lain yang duduk di motor ini, kau percaya?"

"Tidak dong, Key. Kan sudah kubilang aku bisa tahu, kalau ada perempuan lain yang duduk di motor ini. Aku bisa merasakannya. "

"Ahahahaha.. hebatnya Sera. Ya, kalau Mama termasuk perempuan yang patut dicurigai. Berarti perasaanmu benar. Aku kan sering bonceng Mama."

"Lalu yang enam belas orang lainnya?"

"Bhahaha, jadi Mama benar-benar dihitung? Tunggu, siapa lagi, ya? Aku lupa."

"Saking banyaknya sampai lupa. Luar bisa memang, Key yang kukenal."

"Bagaimana kalau karena tidak ada, aku jadi lupa?"

"Aasbkfdnjdfkff,....."

"Hah? Ngomong apa?"

"sajfdmbxnsfygrjwehk..."

"Apa?" Aku mengencangkan suaraku, bising truk pasir benar-benar bisa membuat sepasang kekasih yang sedang berboncengan bisa tiba-tiba marahan.

"Aku tidak percaya, Key, Tuli!" Suara Sera baru benar-benar terdengar setelah truk pasir sialan itu kita salip.

"Ohahha.. suara truknya lebih kencang dari suaramu, Sera, maaf. Dan telingaku masih berfungsi dengan baik, justru suaramu yang kekecilan."

"Suaraku kan memang lucu"

"Yang lucu memang harus kecil?"

"Tidak juga, tapi kebanyakan begitu."

"Emmm.. berarti banyak yang suaranya lucu."

"Banyak, tapi kau perlu ingat, ya, yang paling lucu pasti suaraku."

"Hah?"

"Key, tidak ada truk! Jangan-jangan kau benar-benar tuli. Sini biar kuperiksa."

"Memang tidak ada. Tapi yang barusan benar-benar tidak terdengar. Coba ulangi,"

"Banyak yang suaranya lucu, tapi yang paling lucu pasti suaraku, kau tahu kan, Key?" Sera benar-benar mengulanginya.

"Apa, Sera, kau bilang apa?"

"Keeeeeeeeeeeey!" Sera berteriak sembari mencubit punggungku. Ah, cubitan yang masih sama seperti dulu. Aku tidak bisa lupa rasanya. Cubitan ini.

Membuat Sera sedikit kesal selalu menjadi hobby-ku sejak mengenalnya. Kupikir marah-marahnya dia itu lucu. Dia tahu aku bercanda tapi dia selalu berhasil kubuat kesal. Bahkan tidak sekali kita jadi bertengkar kecil gara-gara hal semacam itu. Tidak lama. Hanya seperti marah manja yang biasanya sepasang kekasih sering lakukan. Setidaknya dulu begitu.

Aku ini memang suka ada-ada saja. Walau mungkin saat ini di hidup Sera aku banyak tidak adanya. Di jarak yang sedekat ini aku masih tidak bisa menebak apa yang sedang Sera pikirkan. Tetapi bila pun aku punya kekuatan membaca pikiran, mungkin mengetahui pikirannya yang sekarang aku tidak mau. Kupikir biar saja ini berjalan seperti seharusnya. Aku tidak boleh kembali menarik harapan yang sudah jauh kulepaskan. Aku sudah bukan seseorang yang sama di hidup Sera. Kita hanya sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan sebutan apa-apa. Walau Sera dan aku dekat, tetapi ada pembatas di tengah-tengah kita. Pembatas yang tidak ingin kulewati meski pun aku bisa melakukannya. Mungkin.


_____

Alhamdulillah

Maafkan baru update lagi hehe

Tetap bacalah, berkenanlah

Langit Yang Jauh Untuk Kecoa Yang TerbalikWhere stories live. Discover now