Dua puluh sembilan

1.4K 73 2
                                    

"Ramai banget, Tih

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ramai banget, Tih. Kayaknya baru buka deh tempatnya."

Fatih mengamati beberapa orang yang berlalu-lalang keluar masuk dari bangunan yang terlihat sebagai satu-satunya tempat yang masih dibuka malam itu saat bangunan-bangunan di sisi lainnya sudah terlihat sepi dari dalam mobil Rolf. Bangunan bertingkat dua yang bertuliskan nama Lanza di lantai satunya terlihat ramai. Sangat berbeda dengan lantai dua yang seperti tidak berpenghuni.

"Lo tunggu di sini," ujar Fatih pada Rolf sambil meletakkan senjata api yang ia pinjam pada Rolf di bagian belakang pinggang celananya. Senjata yang berwarna hitam itu lantas menjadi tidak begitu terlihat karena menyatu dengan celana dan kemeja Fatih yang juga berwarna hitam.

"Yakin lo? Enggak mau gue temenin masuk kayak waktu itu?" Rolf terlihat masih tidak yakin dengan ucapan Fatih.

Fatih memberikan anggukan singkat. Ia lalu menjawab, "jaga-jaga kalau Aluna keluar duluan dari gue. Lo nanti langsung anterin pulang. Jagain dia sampai gue balik."

"Lah, terus lo naik apa nanti kalau gue tinggal?" Kening Rolf mengerut yang mengartikan bahwa dirinya masih tidak memahami cara berpikir Fatih.

"Gampang." Fatih meremehkan. Ia kemudian berpesan, "senjata lo gue pinta dan bakal gue akuin sebagai punya gue. Setelah ini, stop beli-beli barang macam ini. Perusahaan lo juga harus bergerak di bidang yang bener. Kemaren yang hilang itu orang-orang lo yang kerjanya ngapain?"

"Lo ngomong gini kayak mau ucapan perpisahan. Mau ngapain sih emang? Yang penting Aluna selamat kayak kemarin terus pulang, kan? Jangan macem-macem lo di dalem." Rolf menyatakan prasangka buruknya.

Helaan napas panjang terdengar dari Fatih. Ia menyandarkan punggungnya sebentar karena kepalanya kembali terasa pening. "Jawab gue dulu."

"Iya, iya. Gue emang mau berhenti kok. Orang-orang yang hilang itu ternyata ulah Alan Zaverd ini. Mereka harusnya nyari tahu soal Alan tapi malah hilang setelah kasih informasi. Makanya gue pengen ikut lo ke dalam buat interogasi si Alan. Di kemanain tuh anak buah gue," jawab Rolf.

"Berarti ini salah gue juga, ya?" cetus Fatih. Suasana di depan sana yang semakin malam semakin ramai tidak luput dari perhatian Fatih untuk memastikan bahwa tidak ada Aluna di tengah-tengah mereka.

"Ya, enggak gi—"

"Jujur aja." Fatih menyela.

"Iya, iya! Lo sih. Udah gue bilang, Alan itu bukan orang yang gampang dicari tahu informasi pribadinya. Batu sih lo," aku Rolf yang mengumpamakan sifat keras kepala Fatih dengan benda mati.

"Maaf."

Mungkin menurut beberapa orang, ungkapan maaf setelah melakukan kesalahan adalah kewajiban. Namun bagi Rolf, itu tidak berlaku bila antara dirinya dengan Fatih. Setiap Fatih melakukan itu, timbul perasaan tidak nyaman dalam dirinya seolah ada jarak antara hubungan persahabatan antara dirinya dengan Fatih yang telah terjalin sejak lama. Untuk itu, Rolfie hanya menyibak rambutnya dan enggan menanggapi Fatih.

I'M ALONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang