Empat puluh lima

284 23 0
                                    

"Apa yang lebih jahat dibandingkan jiwa yang tidak mampu mengontrol emosi dan akal pikirannya? Karena berbuat semaunya juga dianggap sebagai kesalahan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Apa yang lebih jahat dibandingkan jiwa yang tidak mampu mengontrol emosi dan akal pikirannya? Karena berbuat semaunya juga dianggap sebagai kesalahan." — Aksa Fatih Adhitama

***

Kala mentari telah sampai ke kaki langit, Aluna menginjakkan kakinya di rumah. Kantung matanya mengendur menahan kantuk yang menyerangnya selama perjalanan menuju ke rumah.

"Sudah sampai?"

Niatnya Aluna ingin langsung menuju kamarnya, membaringkan tubuhnya di atas kasur. Namun tertunda ketika ia mendengar suara Fatih menyambutnya. Diiringi kedua matanya yang menangkap sosok suaminya di ruang keluarga sambil memegang remote televisi.

"Sudah. Kafa belum tidur?" tanyanya dengan suara yang terdengar sedikit serak. Ia mendekati Fatih kemudian duduk di sebelahnya. Menyandarkan kepalanya pada bahu Fatih hingga mendapatkan usapan lembut di kepalanya dari Fatih.

"Kamu lelah?" tanyanya yang kemudian mematikan televisi lebih dulu. "Apa boleh kita bicara sebentar?" Fatih tidak menjawab pertanyaan Aluna. Ia justru balik bertanya kepada Aluna membuat istrinya itu terheran-heran karena pertanyaan Fatih yang seolah mendesak untuk ditanyakan saat ini juga.

"Tentu saja boleh. Ada apa?" Aluna mengangkat kepalanya. Juga menegakkan tubuhnya untuk melihat wajah Fatih dengan jelas.

Fatih mengusap wajahnya dengan gusar. Hal itu jelas mengundang tanda tanya yang besar di kepala Aluna.

"Ada apa?" Aluna bertanya sekali lagi.

"Kamu benar, Aluna. Saya telah salah paham," ujar Fatih sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia seakan enggan untuk bertatapan langsung dengan Aluna. "Saya akan menyerahkan diri."

Menyerahkan diri.

Seperti disambar petir malam-malam padahal cuaca terlihat cerah sewaktu Aluna masih berada di luar tadi. Tubuh Aluna lantas terasa mendingin, begitu gugup dan terkejut karena ucapan Fatih. Ia mencengkram lengan Fatih dengan erat untuk bertanya lagi, "apa maksud Kafa?"

"Aluna," panggil Fatih setelah diam cukup lama. Ia akhirnya memberanikan diri untuk menatap mata Aluna. "Apa yang Alan lakukan pada kamu malam itu? Apa dia ... benar-benar menculikmu?"

Kedua alis Aluna tersentak bersamaan. Ia terus mencoba untuk mengingat kejadian yang Fatih maksud. "Kapan?"

Fatih tidak menjawab pertanyaan Aluna. Ia membiarkan Aluna terus memutar ingatannya perihal kejadian beberapa tahun yang lalu.

"Hanya dua kali aku datang ke bar Lanza selepas kita menjalin hubungan." Aluna mengatakan apa yang ia ingat. "Yang pertama, saat kita masih bertunangan, untuk menanyakan perihal kematian Kak Alana. Lalu yang kedua itu saat kita telah menikah. Aku datang untuk mencari Kafa."

"Bukannya Kafa yang diculik waktu itu? Lalu kenapa Kafa tiba-tiba muncul dan membuat kekacauan? Aku masih tidak mengerti." Akhirnya pertanyaan itu lolos juga dari mulut Aluna setelah tiga bulan kepulangan Fatih ia terus mencoba menahan diri.

I'M ALONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang