5. Spesies Langka

56.4K 7.6K 764
                                    

Bagian Lima

Tidak semua lelaki menilaimu cantik. Terkadang, hanya perlu menemukan lelaki yang tepat yang bisa melihat kecantikanmu.

—Pull String—

Bali. Sebuah provinsi di Indonesia yang terkenal dengan istilah "Pulau Dewata."

Aku pernah mengunjungi Bali sebanyak empat kali. Kali pertama adalahwaktu aku masih berumur lima tahun, saat bunda dan ayah masih bersama. Ingatanku mengenai Bali di usia itu sangat sedikit, tapi satu hal yang kuingat, kami pulang lebih awal dari rencana sebelumnya karena pekerjaan ayah.

Lantas, kesempatan kedua ke Bali adalah solo travelling nekatku di jaman kuliah. Masa-masa awal, aku bisa menghasilkan uang sendiri berkat menulis. Yah, jaman kuliah dulu, aku berhasil membagi waktu antara menjadi mahasiswa dan penulis. Hasilnya, ya itu... sebagian kutabung, sebagian lagi aku jadikan modal untukku menikmati hidup.

Waktu itu, Bali adalah kota keenam yang berhasil kukunjungi tanpa menyentuh uang bunda dan ayah tiriku. Serius, rasanya lebih menyenangkan ketika bisa mencapai sesuatu tanpa menyusahkan orang tua. Aku juga ingat, waktu itu aku seperti anak hilang di Bali, berkeliling Seminyak, Legian, dan Kuta sendirian, menikmati sunset sendirian, dan demi Tuhan! Aku bahagia.

Untuk kali ketiga dan keempat, semuanya aku lewati bersama sahabat kampretku. Alia dan Riza, meskipun harus bersusah payah naik bus dari Jakarta, karena Alia trauma naik pesawat.

Dan berarti, ini adalah kelima kalinya aku ke Bali. Tidak bersama orang tua, sahabat, apalagi sendirian, melainkan si anak Gajah Mada, Wira.

Aku berjalan lebih dahulu dari Wira ketika memasuki waiting room. Koperku dan Wira sama-sama masuk bagasi, jadi kami terlihat santai. Aku hanya membawa sling bag sedangkan Wira tidak membawa apa-apa selain dirinya.

Sengaja, aku memilih tempat duduk di depan gate keberangkatan kami. Ngomong-ngomong, aku tidak terlalu suka mengantri di belakang saat harus check in. Biasanya, sebelum operator mengumumkan open check in dilaksanakan, petugas yang berdiri di depan pintu sudah berteriak duluan, makanya aku lebih memilih stay depan pintu.

Masih ada sekitar tiga puluh menit lebih sebelumcheck in dilaksanakan, aku langsung mengeluarkan handphone untuk melanjutkan ebook-ku yang sebelumnya sudah setengah aku baca.

Mungkin baru dua lembar aku membaca, tiba-tiba saja Wira yang tadi hanya duduk sembari menatap ke arah pesawat-pesawat parkirmendadakberdiri dan bicara kepada seseorang yang baru saja menegurnya.

Aku mendongak dan melihat seorang laki-laki berbadan sedikit gembul sedang tersenyum ramahkepadaku, Wira memberi kode agar aku segera berdiri. Sehingga mau tak mau, aku akhirnya berdiri dan langsung menyalami laki-laki itu, karena dari tampangnya, mungkin seusia dengan ayah.

"Kenalin Dan, teman saya. Dilaras," kenal Wira.

Aku masih memamerkan senyum canggung, terlibat pertemuan seperti ini sama sekali tidak mengenakan.

Laki-laki yang tadi Wira panggil "Dan" yang kutebak mungkin akronim dari komandan, menatapku dengan pandangan menilai selama beberapa saat. Jujur! aku risih, tapi komandan tersebut malah melanjutkan kegiatannya tadi, menilaiku.

"Teman atau teman?" kalimat itu ia lontarkan setelah tatapannya kembali menatap Wira dengan seringai meledek.

Aku menggeram, Wira yang mengerti ketidaksukaanku memberi gestur agar bersabar.

"Teman, Dan. Komandan gimana kabarnya sehat? Tugas dimana sekarang, Dan?"

Komandan, sebut saja begitu, terkekeh sebentar atas jawaban diplomatis Wira. "Baik-baik. Kamu gimana? Sehat sekali ya tampaknya," Dia kembali melirik aku, seolah kata sekali yang dimaksudnya tadi adalah karena kehadiranku. "Di Banyuwangi. Agak jauh sekarang."

Pull StringTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang