18. Geranium tak Bersalah

39.7K 7.1K 1.8K
                                    

Bagian Delapan Belas

Kamu seperti sebatang lilin, membakar dirimu sendiri hanya untuk memberi cahaya pada orang lain—Juna

Bahagialah secukupnya, bersedihlah seadanya. Sebab semua rasa di dunia ini diciptakan untuk berputar, tidak ada yang benar benar menetap selamanya—Wira

Sebelum memperlakukan seseorang dengan jahat, mengabaikannya, atau bahkan membuatnya seolah tidak dibutuhkan. Ingat, apa saja kebaikan yang pernah dia buat untuk kamu...  timbang mana yang lebih banyak ia bagi kepadamu kebahagiaan atau kesedihan—Laras

-Pull String-

"Masuk, Mbak."

Aku menganggukan kepala saat suster yang kutaksir usianya hampir menyentuh empat puluh tahun itu membimbingku memasuki rumah satu tingkat bergaya Belanda tersebut. Sambil melangkah, mataku menjelajahi isi dalam rumah tersebut.

Meskipun enggan, aku mendengar setiap informasi yang diberikan Wira mengenai Juna, termasuk rumah yang saat ini ia tinggali. Wira bilang, rumah ini salah satu rumah peninggalan ibu angkat Juna yang sebenarnya masuk ke dalam hak waris Juna.

Rumah ini menyimpan banyak kenangan bagi Juna dan ibu angkatnya, karena itu ketika berada di Jakarta, Juna lebih memilih tinggal di hotel ketimbang berada di rumah ini. Waktu itu, di masa-masa ibunya Juna sakit, mereka berdua tinggal di sini dan semenjak ibu Juna meninggal, Juna tidak pernah lagi menginjakkan kaki di rumah ini. Seolah rumah ini menyimpan luka mendalam bagi lelaki itu.

Tak begitu lama, aku akhirnya dapat melihat Juna.

Lelaki itu duduk memunggungiku di taman samping rumah. Juna tampak tak bergeming dari tempatnya, seperti sedang memikirkan sesuatu.

Dua menit, aku terus diam memandangnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dua menit, aku terus diam memandangnya. Sampai pada menit selanjutnya, Juna berdiri dan melemparkan kursi yang tadi ia duduki.

Aku tercenang. Dari tempatku berdiri, aku juga dapat mendengar makiannya yang membuatku membisu.

"Kondisi Mas Juna nggak stabil, Mbak," beber Perawat. "Dia sudah seperti itu semenjak pulang dari rumah sakit. Kadang diam seperti patung lalu kadang ngamuk, mentalnya benar-benar lagi nggak stabil, Mbak."

Aku masih diam memandang Juna, mataku sempat terpejam ketika mendengar suara teriakannya yang makin jadi. Juna mengumpat tentang kondisinya, menyalahi Tuhan yang sudah memberikan hidupnya takdir seperti ini.

"Maaf ya mbak, saya cuma bisa izinin mbak ngelihat mas Juna dari sini aja. Saya nggak mau ambil resiko kalau mbak ngajak mas Juna ngomong, kondisinya lagi nggak bagus. Beberapa hari yang lalu, teman-temannya juga datang pasti Mas Juna marah."

Mataku melirik perawat tersebut, Itu bukan tujuanku datang kemari jika hanya berdiri diam dan menikmati kondisi Juna yang seperti ini.

"Saya mau bicara dengan Juna, Sus," ungkapku.

Pull StringTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang