4. Jatuh Sakit

31K 5K 939
                                    

Bagian Empat

Yang mau ikut silakan. Ini semua seminar online—Btw yang mau ngundang aku ke acara kayak gini juga, silakan DM dulu ya ke instagram bellazmr. Dan kalian follow juga ya

Follow juga spotify aku : Bellazmr, denger deh lagu lagu favorit aku di dalam playlist berjudul Eartone 🙃
____

Kalaupun memang harus semuanya kembai dimulai dari 0, semua bisa saja... jika bersama. Tapi nyatanya, kamu tak lagi sama--Laras

Pada segala hal yang rumpang di dalam bidup, bisakah kamu menjadi satu-satunya tempatku berpulang--Wira

-Pull String-

Suara gemuruh terdengar dari atap rumah. Langit Jakarta sedang mengeluarkan kesedihannya malam ini, ah tidak! Tapi sejak pagi tadi, hujan sudah mengguyur setengah wilayah Jakarta.

Sejak pukul dua siang, berita mengenai banjir mulai tersebar di seluruh penjuru negeri. Titik yang biasanya menjadi langanan banjir langsung menjadi sorotan, sebut saja di Jakarta Barat ada enam lokasi rawan banjir seperti Kawasan Slipi, Meruya, Arjuna Selatan, hingga Citraland. Jakarta Selatan dengan tiga belas lokasi rawan banjirnya, Kemang Raya dan Iskandar Muda menjadi titik utama. Begitu juga dengan Kawasan lainnya, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, hingga Jakarta Utara.

Aku pernah membaca beberapa prediksi pakar ahil bahwa 30 tahun mendatang, sekitar tahun 2050, Jakarta akan tenggelam karena permukaan air laut yang semakin naik ditambah kondisi drainase Jakarta yang tak kunjung baik.

Yang aku sesalkan adalah tanggapan masyarakat, mereka selalu pedas mengomentari bahwa semua ini salah pemerintah. Pemerintah tidak tanggap! Pemerintah kurang mengerti kondisi! Pemerintah hanya memakan uang rakyat! Padahal di sini konsepnya sederhana kalau masyarakat mau mengerti konsep, "Perbaiki dulu diri sendiri, baru mengomentari orang lain."

Yah, mereka—masyrakat yang hobi mengkritisi pemerintah, tapi tidak sadarkah mereka bahwa lingkungan makin rusak, ya karena mereka juga. Pernah melihat tukang bakso yang buang sisa makanan di selokan? Hal sederhana seperti itu saja kalau terus-terusan dilakukan, bisa berdampak buruk juga terhadap lingkungan. Begitu.

Aku menghela napas, menutup handphone yang sejak tadi kuamati layarnya. Lantas aku menghela napas panjang dan beranjak menuju balkon kamar dengan segelas kopi hitam yang baru saja kubuat.

Ini sudah hampir pukul sebelas malam, aku tidak bisa tertidur karena kepalaku terasa sangat berat. Bodohnya, aku malah berada di balkon yang jelas-jelas hujan sambil menyesap kopi hitam.

Sudah dua hari aku terkena flu, entah mungkin karena hampir satu minggu setelah bertemu Laras yang kulakukan hanyalah menghabiskan waktu untuk kerja, bahkan tampaknya baru hari ini aku tidak mengambil shift malam. Semua kulakukan untuk pengalihan pikiran yang akhir-akhir ini memenuhi isi kepalaku.

Bagaimana jika Laras benar-benar pergi?

Mataku lurus menatap bulir air hujan yang satu persatu turun membasahi taman, jalan, atau bahkan orang-orang yang mungkin belum pulang ke rumah.

Tak lama kemudian, saat pikiranku masih merebak pada hal-hal yang ke depannya mungkin akan terjadi. Ketukan pada pintu membuyarkan lamunan itu, aku menoleh, alisku berkenyit. Di rumah ini hanya ada dua orang, aku dan Rianka—asisten rumah tangga selalu pulang setiap akhir pekan, maka jelas aku sedikit bingung.

Tanpa pikir panjang, aku masuk ke dalam kamar untuk membuka pintu.

Benar, Rianka sedang berdiri di depan daun pintu kamarku sambil memeluk boneka Doraemon yang sengaja ia bawa saat pindah ke sini. Emon, begitu dia memanggil boneka kesayangannya itu.

Pull StringWhere stories live. Discover now