1. Sepenggal Kisah

46.7K 5.4K 1.7K
                                    

BAGIAN SATU

Jujur sama diri sendiri dulu, baru orang lain—Laras

Sedang berada dalam fase, hilangnya kamu adalah kesalahanku—Wira

-Pull String-

DENGAN tenang, perempuan kecil di hadapanku ini mengunyah omlate. Ia tidak berkomentar, sekalipun omlete yang kubuat itu di beberapa bagian agak hangus, maklum aku tidak berbakat dalam hal memasak. Ia tetap menyantap nikmat omlate tersebut, mengabaikanku yang sejak tadi menatapnya tanpa berkedip.

Rasanya, aku ingin menyelam di Palung Mariana, palung terdalam di dunia, tepat ketika Rianka—seseorang yang terus menghantuiku selama delapan tahun terakhir akhirnya datang dalam bentuk nyata satu bulan kemarin.

Aku mendengus, tanganku langsung mengacak rambutku yang pendek. Rasanya ini tidak masuk akal, mengenai Kania yang membawa Rianka kepadaku. Lewat diskusi yang lebih mirip pernyataan satu arah, dia menyerahkan hak asuh Rainka kepadaku.

Aku, Wira—Bapaknya yang sejak delapan tahun lalu tidak pernah diketahui Rianka. Sekali lagi, bapaknya.

Ya, sejak delapan tahun lalu aku sudah menjadi seorang bapak manusia, bukan bapak marsupilami.

Pertengkaran rumah tangga Kania yang awalnya hanya dipicu masalah biasa, berujung dengan pengulasan masa lalu dari Alan, suami Kania yang sembilan tahun lalu sepakat mengubur semua masa lalu Kania.

Aku tahu, jika aku terdengar brengsek sekarang dengan membiarkan Alan menjadi "lelaki" yang dianggap Rianka delapan tahun ini sebagai ayah kandungnya. Iya, aku jahat, brengsek, dan sebenarnya tidak pantas untuk hidup.

Delapan tahun, aku tidak baik-baik saja sekalipun Kania sempat beberapa kali mengabari bahwa hubungannya dan Alan berjalan lancar. Bahkan, mereka sudah memiliki dua anak yang memang anak kandung Alan.

Delapan tahun... semua tampak biasa saja, meskipun aku selalu berusaha mengingatkan diriku bahwa suatu hari mungkin saja semuanya tidak akan baik-baik saja.

Lantas, aku mulai membentuk praduga scenario yang mungkin terjadi dengan "Rianka, Kania, Alan, dan pastinya aku" sebagai tokoh utama. Berpuluh-puluh adegan rasanya sudah berhasil kukuasai jika suatu hari ada dari satu scenario yang menjadi kenyataan.

Kecuali satu, scenario yang melibatkan Laras.

Aku tak pernah sekalipun membuat scenario yang melibatkan perempuan itu. Hingga sialnya, scenario yang melibatkan Laraslah yang terjadi.

Dan sekarang, aku tidak tahu harus bertindak apa.

Hari ini adalah hari ketiga semenjak Laras mengetahui semua cerita masa laluku.

Kesalahan masa remajaku bersama Kania yang kemudian menghadirkan Rianka ke dunia.

Delapan tahun, aku, Kania dan juga Alan berhasil menyembunyikan semuanya. Bahkan sampai neneknya Kania yang hanya tahu bahwa di usia dua puluh tahun saat masih kuliah semester empat di Farmasi Universitas Diponogoro, Kania memilih untuk menikah.

Aku terlalu pengecut karena tidak bisa mengikat Kania dalam pernikahan seperti yang perempuan itu inginkan. Kondisinya sulit, waktu itu aku masih pendidikan di Akademik Kepolisian.

Kehadiaran Alan sebagai sahabat Kania, menjadi satu-satunya jawaban di tengah keputusaasaan Kania saat itu.

Mereka menikah dan sialannya, aku baru tahu kabar itu setelah lima bulan pernikahan mereka.

Kania menghilang, dia memilih ikut Alan yang sudah bekerja di salah satu perusahaan di Kalimantan.

Bertahun-tahun aku kebingungan mencari mereka, hingga di tahun kedua setelah pernikahan Kania. Aku akhirnya bertemu dengan sahabat Kania yang tahu mengenai keberadaan Kania. Aku menemui Kania dan Alan, miris... mereka tampak bahagia, bahkan terlihat lupa bahwa selama hampir tiga tahun aku dihantui perasaan bersalah.

Lantas pada pertemuan itu jugalah, aku mengenal Rianka. Gadis berusia nyaris dua tahun itu begitu cantik dengan balutan baju berwarna pink dan berjalan dengan gerakan lincah menuju ke Alan dan Kania.

"Namanya Rianka Tazakia," kata Kania waktu itu. Mereka mengenalkan Riankaanak perempuanku yang dengan bodohnya baru kuketahui kehadiarannya setelah dia bahkan bisa berjalan.

Aku kehilangan jutaan moment bersama Rianka.

Sejak hari itu juga, Alan membuat keputusan agar aku tak pernah datang lagi dalam hidup mereka. Ia hanya memberi keringanan kepadaku, agar bisa mengetahui kondisi Rianka lewat dia.

Aku hanya dapat tersenyum kecut jika mengingat semua itu. Delapan tahun aku dibiarkan dengan rasa kebingungan dan bersalah, delapan tahun juga yang kulakukan hanya bersiap atas kemungkinan yang terjadi.

Hingga pada tahun ke delapan, aku menemukan Laras.

Aku sudah mengenal Laras sejak kami bahkan masih berseragam putih abu-abu, dia perempuan ambisus yang selalu berusaha untuk melakukan semuanya sendirian. Laras dengan segala hal yang kadang masih kupertanyakan, mengapa akhirnya aku bisa menyukainya.

Ketika otakku terus memikirkan Laras, mataku tanpa berkedip menatap Rianka.

Semua yang terdengar indah untuk kubayangkan bersama Laras, mendadak harus berhenti di sini. Aku paham bahwa dalam waktu dekat, Laras pasti akan membatalkan segala, aku mengenal perempuan itu dengan baik dan pilihan mundur, menjadi opsi dengan persentase 90% akan dia lakukan.

Aku menghela napas panjang.

Pada akhirnya, di hari-hari berikut, yang kulakukan hanyalah menebus kesalahanku sembilan tahun lalu. Kesalahan masa remaja yang sekalipun kusesali sampai menangis darah, tidak akan batal terjadi.

Cepat atau lambat, aku harus menjelaskan siapa Rianka kepada keluargaku dan keluarga Laras, mereka berhak tahu.

"Om nggak kerja?"

Aku tersentak akibat pertanyaan itu, aku langsung menegok ke arah Rianka. Piring di hadapannya sudah bersih tak bersisa, tiga hari tinggal bersamaku, aku selalu melihat dia menghabiskan makanannya. Bahkan sekalipun yang kumasak, entah itu mi goreng, nasi goreng, bahkan telur dadar, selalu saja tidak sempurna dalam hal bentuk maupun rasa.

"Kerja, sebentar lagi pergi," jawabku.

Rianka menganggukan kepala, lantas menggeser piringnya yang sudah kotor.

"Ibu belum ada kabar ya, Om?"

Pertanyaannya berhasil membuatku tersentak, bingung mau menjawab apa selain tersenyum tipis. "Belum, nanti kalau ada kabar Om kasih tahu kamu."

Aku berdiri, tidak berselera untuk sarapan. Aku berjalan melewati Rianka yang terpaku menatap piring kosong di hadapannya.

Saat melewati Rianka yang terlihat menatap ke depan dengan tatapan sendu. Aku tidak mampu berlalu begitu saja.

Kemudian, aku berdiri di sampingnya, mengalunkan senyum menenangkan lantas mengusap puncak kepalanya.

Saat aku melakukan itu, Rianka mendongak dan memandangku dengan bibir siap untuk bicara.

"Sebenarnya ibu sama ayah kenapa sih Om, kenapa Rianka dititipin sama Om?" bibir perempuan kecil itu mayun. "Om sebenarnya siapa sih?"

Dan pertanyaan itu tidak mampu kujawab dengan kata-kata, hanya dengan senyum tipis menandakan bahwa suatu hari nanti Rianka akan mengerti semuanya.

Ketika dia sudah siap.

Dan ketiga aku juga siap.

Sial, kisah panjang ini baru dimulai.

Bersambung

1. Gimana perasaannya?

2. Siap terombang amping lagi sama kisah ini, baru masuk Tengah lautan nih wkwk.

3. BTW CUMA MAU NGASIH TAHU NIH YA... di antara 2 tokoh ini, mana yang lebih dulu pengin kamu baca ceritanya.

-JUNA (kasih alesan wktk)

-RIZA (Kasih alesan wktk)

4. Lanjut bab 2, yay or nay?

Salam, Wira aja sendiri wkwk.

Pull StringWhere stories live. Discover now