2. Prau

80.1K 9.7K 1.2K
                                    

Bagian Dua

Manfaatkan waktu sebaik mungkin, karena waktu tidak bisa diputar, dijilat, apalagi dicelupin—Dilaras Sekarayu

-Pull String-

"Kalau kamu masih mau manjat-manjat gunung, nggak usah balik lagi ke rumah." Lalu karena aku tidak kunjung berjanji, kalimat ancaman itu bertambah. "Atau sekalian ambil pena, terus coret nama kamu dari kartu keluarga."

Ancaman bunda sepuluh hari yang lalu, sempat membuat aku ngeri dan berniat membatalkan kegiatanku hari ini.

Ya seandainya saja bunda tidak ngotot mempertemukan aku dengan si anak Gajah Mada, aku yakin bisa mempertimbangkan ancaman bunda untuk batal mendaki.

Sayangnya, karena bunda makin hari makin jadi. Ditambah jadwal mengajarku minggu ini yang sudah sengaja aku kosongkan. Aku memilih untuk tidak mundur dan melanjutkan kegiatanku. Urusan bunda bisa belakangan.

"Prau, im coming!"

Ini bukan kali pertama aku mendaki Gunung Prau. Dulu saat aku masih kuliah strata satu, aku sudah pernah mendaki Gunung Prau, mengingat aku masuk organisasi Mapala kampus dan aktif mengikuti kegiatannya.

Kalau dipikir-pikir, sejak dulu, aku sudah keren ya!

Sudah nggak usah malu-malu, akuin aja. Aku emang keren.

"Ini kalau kita nggak di kampus, bisa panggil Bu Laras dengan kakak aja kan?" Aku menoleh, mataku menatap Erlangga dengan pandangan menyipit. Dia menyengir tidak jelas. "Ya? Ya? Boleh?"

"Mau dapat D ya kamu untuk Tanaman Buah?" Ancamku.

Erlangga—atau yang lebih suka dipanggil Elang tertengun, gerakannya untuk membuka carier terjeda. Dia tadi bilang ingin mengambil minyak kayu putih sebagai antisipasi sakit perut akibat hawa dingin pegunungan yang mulai terasa.

Melihat Elang yang tampak canggung, berhasil meledakkan tawaku.

"Ya elah Lang, lo kayak nggak kenal gue aja. Lo ngomong aku-kamu ke gue aja bikin gue enek," cerocosku. Ada-ada saja kucrut satu ini.

Radijana Erlangga, sang buku paket mendengus. Dia ini mahasiswa semester 8 yang mengulang mata kuliah Tanaman Buah yang aku ajar. Selain mahasiswaku di kampus, dia adalah temanku mendaki Prau kali ini. Nah kurang keren apalagi sih gue? Daki bareng mahasiswa. Tapi yah, aku kadang nggak menganggap Elang ini sebagai mahasiswa sih, karena gue sudah mengenal dia dari tubuhnya masih merah—orok.

Ya orok.

Kalian tidak salah.

Bukan orok yang terdengar kalau orang lagi tidur.

Bahkan dulu aku sering menggendong Elang kalau ada acara keluarga. Wajar sih, mamanya adalah adik kandung bunda, aku dan dia sepupuan.

Kami memiliki banyak kesamaan, seperti hobi mendaki gunung, mengambil Pendidikan di bidang Agronomi, suka makan pedas dan minum es, bobrok urusan cinta, dan yah... sering dimarahin orang tua.

Serius, Elang itu seperti aku dalam wujud laki-laki.

"Semester depan kamu sudah bisa seminar proposal kan?" Tanyaku setelah kami berjalan beriringan.

Elang memutar kedua bola matanya, "Males deh. Masa sudah di Prau masih aja bahas kuliah. Santai aja tetap tamat kok gue kuliah." Dia menyengir. "Apalagi kalau dosen pembimbing gue yang cakep ini nggak banyak ngasih revisi di skripsi gue. Duh, cepet banget pastinya."

Aku menjitak kepalanya dengan sebelah tanganku yang belum kupakaikan sarung tangan, udara di Prau sekarang bisa menyentuh angka 10°C , suhu biasa untukku yang dulu hampir tiga tahun tinggal di Australia dan terbiasa dengan suhu 9°C.

Pull StringWhere stories live. Discover now