3. Tertinggal

28.8K 4.8K 955
                                    

Bagian Tiga

Bagaimana jika cerita tentang kita nyatanya tidak pernah tertulis di langit manapun?—Laras

Aku hanya tinggal separuh, tetapi mungkin jika ada kamu semua akan kembali utuh—Wira

-Pull String-

Dua hari kemudian, semuanya terjadi cepat. Aku terduduk diam dengan kepala menunduk. Di hadapanku, Bang Yudis dan Bang Bima duduk bersebalahan menatapku lamat-lamat. Sebagai bungsu dari dua orang kakak laki-laki yang sama-sama telah menikah. Mereka sudah mengerti banyak mengenai kehidupan.

Aku tidak bisa berbuat apa-apa saat kedua kakakku itu menanyaiku banyak hal.

Bima berdiri, menarik kerah kemejaku setelah satu jam yang lalu ia melakukan hal yang sama. "Brengsek!"

Aku tidak melawan, karena memang apa yang kulakukan pantas mendapatkan balasan seperti ini.

Melihat Bima hampir melayangkan satu pukulan telak yang tertuju pada wajahku, Yudis segera berdiri untuk menahan Bima. "Bim," peringatnya. Yudis segera menarik paksa Bima untuk menjauh dariku, dia tidak ingin urusan ini makin pelik dengan pertengkaran kami.

"Anak ini harus dikasih pelajaran Bang!" seru Bima memanas. "Darimana dia belajar buat hamilin anak orang, sialan! Lo merusak nama baik keluarga!"

Diam, yang kulakukan hanya itu. Aku tahu aku salah, perasaan itu menghantuiku. Semua yang terjadi sekarang sudah jadi mimpi tiap malamku selama bertahun-tahun.

Bima kembali duduk setelah dipaksa Yudis untuk tenang, meskipun begitu Bima masih melayangkan tatapan nyalangnya kepada Wira, berharap adik bungsunya itu mati lewat tatapannya itu.

Setelah beberapa menit, Yudis menghela napas panjang dan bicara. "Kamu mikir nggak sih Wir sama perbuatan kamu itu?"

Aku tidak menjawab, bibirku kelu untuk mengatakan sesuatu. Dan itu memancing Bima untuk meneriakiku dan hampir saja kembali bangkit untuk menerjangku, kalau saja Yudis tidak menahan itu. "Lo nggak ada mulut hah, Bang Yudis nanya. Jawab bego!"

"Mikir, Bang," jawabku segera.

"Kalau mikir kenapa kamu lakuin?"

"Lo jawab khilaf, gue nggak segan bunuh lo!" timpal Bima. "Gue hidup bertahun-tahun sama binatang buas, bunuh satu binatang kayak lo, nggak akan jadi masalah besar."

"Bim," Yudis menoleh pada Bima yang terus-terusan emosi. "Masalah ini nggak akan selesai kalau kamu terus-terusan emosi. Biarin Wira jawab, biarin dia jelasin sama kita. Abang ngerti kamu marah, abang juga, tapi apa dengan emosi semua masalah bisa selesai?" Pertanyaan itu tidak berhasil dijawab oleh Bima.

Membuatku diam-diam berhasil mendongakkan kepala untuk melihat kedua kakakku itu.

"Wira salah, Wir..."

Bima bersiap menimpal, untung Yudis duluan memotong. "Pengakuan salah kamu nggak akan mengubah kondisi kan?"

Aku menunduk, kalau saja dari awal Yudis bersikeras untuk menyuruhku lugas dalam menghadapi semua ini, bisa saja air mataku keluar. Namun kurasa cukup. "Wira tahu."

"Terus kamu mau apa sekarang?"

"Wira bakal tanggung jawab semuanya."

"Caranya?" Yudis menatapku serius. "Ibu dari Rianka sudah menikah dan kamu sendiri akan menikah. Jadi gimana cara kamu buat tanggung jawab?

Aku tertegun.

Yudis berkata lagi, "Yang harus kamu pikir sekarang adalah mama. Gimana kalau mama tahu? Dengan kondisi mama yang seperti ini, kamu siap buat mama tambah sakit?"

Pull StringTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang