27. Selucu Itu

39.8K 6.1K 1.3K
                                    

BAGIAN DUA PULUH TUJUH

Kamu hanya bagian terindah dari imajinasi yang kukarang sendiri dan sebuah delusi yang tidak pernah berani untuk aku amini—Dilaras

Kamu mengatakan banyak hal setelah dia pergi, padahal nyatanya kamu hanya ingin dia kembali—Bellazmr

-Pull String-

Pesawat Juna take off sekarang. Namun aku tidak berada di bandara untuk mengantarnya atau memberi salam perpisahan kali terakhir kepadanya, melainkan di dalam kelas Manajemen Air dan Hara Tanaman untuk semester enam, menjalankan tugasku sebagai dosen.

Aku menatap lurus ke depan, memperhatikan wajah para mahasiswaku yang sedang mengerjakan soal kuis.

Dalam keheningan kelas, aku menikmati pikiranku yang sibuk memikirkan banyak hal. Mengenai Juna dan Wira. Di satu sisi, kadang aku masih merasa sangat sedih atas hubunganku dan Juna yang berakhir, bagaimanapun juga aku sudah menaruh hati kepada Juna, rasanya sulit membayangkan bahwa suatu hari dia menemukan perempuan selain aku yang menemaninya menghabisi hari. Namun ketika bayangan Juna berakhir dengan sisi perempuan yang pergi membawanya, lantas wajah Wiralah yang lanjut muncul di bayanganku. Wira hadir sambil mengulurkan telapak tangan, seolah mengajakku untuk ikut pergi ke arah yang berbeda.

Wira.

Semenjak lima hari yang lalu, setelah ajakan konyol yang dia lakukan.

Wira hanya sesekali mengirimiku pesan. Isinya sama konyol.

Jangan bunuh diri, lo tahu... mati jadi hantu itu nggak banget.

Jangan lupa makan, entar mati. Tapi  nggak apa sih, biar gue makan ayam. 

Ras, negara-negara apa yang selalu keujanan?

Aku bingung menjawab apa, ya kujawab aja Ukraina. Kan ada kata rain-nya. Lalu, Wira membalas.

Salah lah, jawabannya Swedia.

Aku balas lagi, kok swedia?

Pesan Wira muncul selanjutnya. Iya Swedia, Swedia payung sebelum hujan.

Demi Tuhan. Wira dan tingkat kegoblogannya. Ya meskipun aku masih patah hati, setidaknya semua agak mereda dengan kesibukanku mengajar dan kehadiran Wira. Meskipun dia nggak guna-guna amat, sih.

Oh ya, tentang ajakan pernikahan waktu lalu, sama sekali belum kami bahas lagi hingga sekarang.

Aku juga bingung, sebenarnya dia serius atau tidak.  Namun kali ini aku tak mau gegabah, aku membiarkannya untuk berinisiatif lebih dulu. Ketika aku sibuk dengan pemikiran itu, handphone-ku yang berada di atas meja bergetar menandakan sebuah chat masuk. Nama Wira terpampang di layar, aku segera membacanya.

Ras, besok nggak ada ngajar kan? Jadi pulang ke Jakarta kan ya? Sore gue jemput ya di Bogor. Dah itu aja, ngajar lagi deh lo, chat ini nggak usah dibalas. Jangan makan gaji buta ya lo, kasihan duit pemerintah.

Memang, Wira selalu hadir dadakan. Seperti pesannya tadi.

Wira itu penuh kejutan, entah kejutan apalagi yang akan dia berikan. Kuharap semuanya adalah kejutan menyenangkan. Ya, semoga.

-Pull String-

Jakarta tak lebih dari wujud ibukota yang selalu dihina oleh penghuninya.

Jakarta, si polusi udara.

Jakarta, si tukang banjir.

Jakarta, si dewanya macet.

Pull StringOnde as histórias ganham vida. Descobre agora