Chapter 22: Kecupan rindu.

3K 332 14
                                    

Typo bertebaran wkwkwk
Btw, Happy Reading!

Ali duduk sendiri di kursi taman setelah Prilly harus kembali ke ruang rawatnya, sedangkan Mecca sudah pulang bersama Reta barusan. Tiba-tiba Al datang, duduk di samping Ali seraya tersenyum melihat raut wajah Ali yang nampak bahagia.

"Bahagia banget nih kelihatannya." ucap Al.

"Mbak dokter kepo!" tukas Ali.

Al tertawa kecil sambil menyubit lengan Ali pelan.

"Ih apaan sih sakit."

"Lebay deh!" cibirnya.

Ali cuma tersenyum, lalu mengalihkan pandangannya menatap rumput dan sekarang senyumnya semakin lebar.

"Aku udah ngajak Prilly rujuk." ucap Ali, padahal Al tak bertanya. Mungkin efek overdosis dari bahagia.

"Terus Kak Prilly mau?" tanya Al penasaran.

"Dia bilang dia juga mau kita kembali, tapi katanya tunggu dia sembuh karena dia takut ngecewain aku lagi." jawab Ali.

Al membulatkan matanya. "Sembuh?"

"Iya."

"A'a yakin mau nunggu sampai Kak Prilly sembuh? Kenapa nggak hari ini juga?"

"Ya.. aku nggak bisa nolak kemauan Prilly. Dia itu perempuan keras kepala yang paling nggak bisa aku nggak turutin hehehe."

"Cailaaa." goda Al sambil menoel dagu Ali.

"Kurang ajar deh.."

"Bahasanya sok romantis gitu, geli dengernya."

"Bodo."

Lalu Al tertawa. Kemudian Al mulai menceritakan awal mula ia bertemu Prilly, menceritakan hal-hal yang Prilly ceritakan padanya dan sekarang ia sampaikan pada Ali, dan juga bagaimana perjuangan Prilly selama ini.

Ali tertarik pada cerita Al, semuanya mengandung jawaban atas keegoisan Prilly selama ini. Termasuk mengapa selama ini Prilly bersikeras menjadi wanita karier; karena ia ingin mengumpulkan uang untuk biaya pengobatannya tanpa harus meminta kepada Ali.

"Oh iya, kamu kok bisa nggak ngenalin Prilly gitu sih pas kamu ketemu dia? Padahal kan kamu pernah liat fotonya waktu aku nikah." tanya Ali.

"Cuma dari foto, itupun sekali. Pas balik ke Indonesia buat kuliah, di rumah A'a kan udah nggak ada foto pernikahan kalian. Ditambah Kak Prilly yang aku temuin di Singapore itu wajahnya beda dari foto pernikahan waktu itu, lebih kurus terus pucet. Kalo soal nama, aku nggak sempet mikir ke sana, aku pikir kan nama orang banyak yang sama."

"Iya, sihh."

"Waktu Al nggak tau, pas A' Ali cerita kalau ibu kandungan Mecca pergi tanpa mau tanggung jawab, Al sempet nilai Kak Prilly buruk. Di sisi lain pas Al ketemu Kak Prilly di Singapore, Al nilai Kak Prilly itu sebagai perempuan yang justru luar biasa hebatnya." cerita Al.

"Dia emang hebat, pas pertama kali aku ketemu Prilly aja aku udah tertarik. Dia itu pekerja keras, emang sih yang bikin aku nggak suka itu dia terlalu over banget kerjanya." Ali menerawang ke masa lalu saat kali pertama ia bertemu Prilly di rumahnya, wanita itu baru pulang bekerja dan esoknya saat di perusahaan Ali melihat sendiri bagaimana Prilly bekerja dengan baik dan begitu ramah.

"Suatu hari nanti masa-masa itu bakal balik lagi ke A' Ali dan Kak Prilly, apalagi sekarang ada Mecca sebagai pelengkap keluarga kalian." ucap Al.

"Aku nunggu banget saat itu." ujar Ali.

***

Ali sempat pergi sebentar, saat kembali ke rumah sakit tangannya tak kosong seperti berangkat tadi. Ia membiarkan buket bunga mawar merah itu berada dalam gendongan tangan kirinya, lalu tangan kirinya menenteng pouch belanjaan.

Laki-laki itu masuk ke dalam ruangan Prilly untuk menemaninya sampai pagi nanti. Ketika masuk ke dalam, Ali mendapati Prilly sedang melahap buah apel dengan posisi menyandarkan tubuhnya. Kedatangan Ali membuat Prilly menghentikan kunyahannya, perempuan itu melempar senyum manis ke arah Ali dan matanya langsung tertuju pada buket bunga mawar yang Ali bawa.

"Makan yang banyak, biar cepet berisi lagi badannya." ucap Ali sambil meletakan pouch itu ke atas meja sebelah ranjang kemudian ia mengecup pucuk kepala Prilly. "Buat kamu." kata Ali sambil meletakkan buket itu di atas paha Prilly.

"Makasih ya."

"Nggak usah bilang makasih, saya nggak suka." Ali menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.

"Oh iya, Pril." tiba-tiba Ali teringat sesuatu. Laki-laki itu membuka pouch yang tadi ia bawa, memgambil sesuatu yang ada di dalamnya. Lalu Ali mulai mengaplikasikannya ke kepala Prilly.

"Kamu.. kamu malu ya karena saya botak?" Prilly melontarkan pertanyaan itu secara spontan, sebab apa yang Ali lakukan sekarang membuatnya berpikiran buruk.

Sebelum menjawab pertanyaan Prilly, Ali merapikan jilbab yang sudah terpasang rapi itu karena sedikit miring.

"Mau gimana pun, kamu itu udah cantik. Dan hari ini kenapa tiba-tiba saya pakein kamu jilbab itu bukan karena saya malu, tapi saya cuma jalanin tugas saya yang belum sempet terpenuhi pas saya masih jadi pendamping kamu.."ucapan Ali begitu menohok hati Prilly. Sorot mata Ali menusuk retina Prilly begitu dalam dengan penuh kasih, tersimpan cinta dan kagum yang akhirnya meluap jadi tirta.

"...orang bilang rambut itu mahkota. Tapi bagi saya mahkotanya perempuan itu bukan rambut, tapi hijab." lanjut Ali.

Setelah mendengar kalimat yang Ali lontarkan, Prilly menyuruh Ali duduk di tepi ranjang rumah sakit. Lalu Prilly meminta Ali agar memeluknya dan perempuan itu menangis di dalam dekapan hangat milik Ali.

Mata Ali dipenuhi oleh air mata, ia menenggelamkan sebagian wajahnya di atas pundak Prilly sambil sesekali mencium pipi perempuan itu. Sungguh, Ali mencintainya dengan begitu.

"Jangan pernah tinggalin saya dan Mecca lagi." kata Ali. Prilly mengangguk samar.

"Kamu juga jangan benci saya ya, Li.." ucap Prilly sembari melepas pelukan hangat itu.

Ali menghapus tiap jejak air mata yang membasahi wajah Prilly. "Saya nggak pernah benci kamu, justru saya bakal tersiksa kalau membenci kamu."

"Oh iya, Li, lebih baik saya nggak usah operasi transplantasi sel induk ya, uang gaji saya selama kerja udah abis."

"Kamu nggak usah mikirin biaya, yang harus kamu pikirin itu kesehatan kamu. Dan mindset kamu juga harus positif terus, bilang ke diri kamu kalau kamu harus sembuh." ujar Ali.

Prilly mengangguk paham.

Ali menatap mata Prilly lagi, lalu laki-laki itu mulai mendekatkan wajahnya ke wajah Prilly. Lama-kelamaan jarak diantara mereka tak tersisa, membiarkan suasana semakin larut. Ali dan Prilly sama-sama menutup matanya, lalu.. bibir mereka bersentuhan. Kemudian kecupan yang Ali daratkan di bibir indah Prilly kian berubah jadi lumatan, menciptakan adrenalin tersendiri dan membuat napas mereka memburu. Kalau saja Prilly tidak menyudahinya, mungkin mereka akan kehabisan napas.

Jantung Prilly berdebar-debar seperti pertama kali Ali mencium bibirnya, aneh, Prilly masih dibuat gugup olehnya.

"Masih tegang aja!" cibir Ali.

"Ini di rumah sakit, tau!" ujar Prilly dengan pipi yang tampak merah merona. Ali menertawainya lagi, menggodanya terus sampai Prilly salah tingkah.

Suatu Hari NantiWhere stories live. Discover now