Chapter 4: Keputusan yang terlalu cepat.

2.5K 254 4
                                    

Prilly menjatuhkan tubuhnya tengkurap di atas ranjang, menenggelamkan wajahnya di bantal dan ia menangis di sana. Dadanya terasa sesak, mengingat dulu banyak sekali kenangan yang ia lewati bersama Pasya hampir tiap harinya. Entah, Prilly rasa ia gagal melupakan laki-laki itu.

Bantalnya sudah basah meninggalkan bekas luka air mata, tapi Prilly tak mau berlama-lama terpuruk, ia bergegas pergi ke kamar mandi untuk segera membersihkan diri.

Prilly berendam air hangat, meskipun tangannya sibuk menggosok badan dengan busa sabun, namun pikirannya sibuk kesana-kemari memikirkan masa lalu yang tiba-tiba datang hari ini. Ia gelisah dengan ucapan Pasya yang bilang kalau ia tak akan pernah pergi tanpa dirinya, Prilly tahu Pasya tidak akan main-main dengan ucapannya. Pasti laki-laki itu akan melakukan sesuatu dengan cara apapun untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.

Prilly takut, ia memang masih menyimpan rasa untuk Pasya, tapi ia tak mau lagi jatuh ke dalam dekapan laki-laki itu. Prilly tidak mau dijadikan bonekanya, ia yakin bahwa Pasya datang karena ingin uangnya saja. Dalam benak Prilly terlintas, apa ia harus mencari seseorang agar perasaannya kepada Pasya sirna dan sekaligus mencari tempat berlindung?

***

Beruntung hari ini Prilly off, mengingat kondisinya yang masih rapuh dan butuh waktu sendiri. Sejak pagi kegiatannya cuma berdiam diri di kamar, turun ke bawah pun karena Reta memaksanya untuk sarapan pagi tadi.

Prilly membuka ponselnya yang tidak ia sentuh sejak kemarin malam, dan ternyata banyak pesan masuk dari Ali yang tidak ia tahu sejak kapan laki-laki itu mengirimnya. Pesan masuk paling terakhir yang baru saja Ali kirim, laki-laki itu mengatakan bahwa ia akan datang ke rumahnya malam ini.

Ali.
Saya mau main ke rumah, boleh kan?

"Duh, nggak tau apa gue lagi males ngomong?!" Prilly berkata kesal.

Tak lama, notifikasi pesan baru masuk lagi.

Ali.
Saya udah di bawah, turun dong.

Prilly memutar bola matanya malas, tapi ia tetap mengikuti hatinya untuk menemui Ali di bawah. Ia tak memikirkan penampilannya yang cuma mengenakan piyama, masih untung ia ingin menemui Ali.

Ia lihat Ali sedang diajak mengobrol dengan mama, tapi satu hal yang membuat Prilly tak habis pikir adalah; Ali masih mengenakan kemeja kerjanya, itu berarti Ali belum pulang dan langsung ke sini untuk menemuinya. Apa ada yang penting sampai-sampai memaksa diri untuk datang?

"Tuh Prilly-nya udah turun, Ibu tinggal ya, Li."

"Eh--Bu, maaf, sebenarnya Ali mau ngomong sesuatu."

"Sama ibu juga?" tanya Reta.

Prilly yang masih berdiri sambil berlipat dada awalnya tak ambil pusing dan bersikap biasa saja, namun setelah mendengar apa yang Ali ingin bicarakan seketika membuat dirinya seolah lupa bagaimana caranya bernapas.

"Iya, Bu." kata Ali. Ibu dan anak itu memperhatikan Ali yang terlihat gugup seperti sedang mengumpulkan keberanian, dan akhirnya laki-laki berusia dua puluh tiga itu mulai membuka mulutnya. "Saya mau melamar Prilly, Bu."

"Hah?!" spontan, tangan Prilly yang terlipat di depan dada terlepas begitu saja. Napasnya seolah tersendat, jantungnya seakan behenti berdetak, dan ia merasa doa-doa yang ia rapalkan untuk mengirimkan seseorang langsung dikabulkan.

Suatu Hari NantiWhere stories live. Discover now