Chapter 16: Kecelakaan.

2.5K 304 29
                                    

Waktu seolah mengembalikan mereka ke masa lalu, dimana Ali merasa benar-benar memiliki Prilly seutuhnya. Meskipun kenyataannya, sekarang Prilly bukanlah lagi miliknya. Prilly seakan melupakan bebannya, melupakan bahwa hari esok mungkin ia tak lagi bisa berada di sisi Ali dan Mecca, yang terpenting sekarang Prilly ingin menikmati apa yang kini ia alami sebelum benar-benar pergi.

Alika, adik Ali yang akrab disapa Al itu, dia memutuskan untuk tetap tutup mulut dalam beberapa hari ini. Entah sampai kapan ia kuat menyembunyikan kebenaran. Tiap kali melihat Prilly diam-diam menahan sakit, air mata Al ingin sekali pecah. Al meminta kepada Tuhan supaya ia memberikan suatu petunjuk kepada Ali tanpa Al harus memberitahukannya.

Setelah beberapa kali Prilly mogok kemoterapi, tiba-tiba hari ini ia berminat melakukannya. Apa mungkin karena hampir tiap hari melihat tawa Mecca membuatnya bangkit untuk sembuh? Bisa jadi. Itu bisa menjadi alasan Prilly untuk bertahan hidup. Bukan cuma hal itu, Prilly rasa ia jatuh cinta pada Ali, ralat; memang cinta yang pernah ada belum benar-benar pergi.

Kebetulan, Al adalah dokternya lagi. Beberapa hari lalu Al sudah melamar di rumah sakit khusus kanker ini, dan ia diterima dan kembali bertemu dengan pasiennya sewaktu di Singapura.

Tak ada pembicaraan, rasanya tiba-tiba suasana berubah canggung. Sesekali Prilly mengajak Al mengobrol, Al saja yang terlalu iba kepada Prilly.

"Sampai kapan kakak mau nutup semuanya sendirian?" tanya Al.

"Aku nggak sendirian, ada Allah yang jaga aku."

"Maksud aku, sampai kapan kakak mau nyembunyiin rasa sakit kakak ke A' Ali?" tanya Al. Matanya berkaca, ia menunduk untuk sekadar menghapus bercak air di sudut matanya.

"Aku nggak berharap Ali tau soal penyakit aku, aku cuma mau Mecca tau kalau aku ini ibu kandungnya. Satu kebenaran yang bakal buat aku lega dan tenang kalau suatu saat aku pergi ninggalin Mecca." jawab Prilly sambil mengelus lengan Al.

"Aku janji, kak, aku bakal jelasin ke Mecca yang sebenarnya. Tapi Kak Prilly harus janji juga, kakak harus sembuh total!" tegasnya. Tapi, Al menangis.

"Hei, ngapain kamu nangis, Al? I'm fine. Aku nikmatin rasa sakit ini kok, mau parah atau nggak, kalau suatu hari nanti Allah cabut nyawa aku, ya itu memang udah takdir."

"Tapi Kak Prilly nggak seharusnya nyembunyiin semuanya." telak Al.

"Nanti juga ada saatnya Ali dan semuanya tau."

"Aku bakal tunggu saat-saat itu."

***

"Ummaaaa!"

"Haii, sayang. Nih umma bawa apa ayooo." Prilly berjongkok ketika Mecca datang menghampirinya, lalu gadis itu mengintip ada apa di dalam pouch yang Prilly bawa.

"Apa isinya?" tanya Mecca.

"Liat aja." Prilly menyodorkan pouch itu.

Mecca merogoh isi pouch lalu mengeluarkan isinya. "Tapi, ma, aku nggak mau dress ini. Aku cuma mau minta dianter ke umi." Mecca memasukkan kembali dress merah muda itu ke dalam tempatnya. Begitu remuk hati Prilly, perasaannya berantakan dan rongga dadanya nyeri.

"E-i-iya nanti umma anter ya, tapi Mecca tetep mau pake dress yang umma beliin, kan?"

"Mecca nggak suka warna pink. Pasti kalau umi yang beli, umi beli warna ungu. Soalnya warna kesukaan Mecca warna ungu." celotehnya.

Suatu Hari NantiWhere stories live. Discover now