Chapter 14: Pernyataan perasaan.

2.2K 308 20
                                    

Prilly duduk di tepi ranjang Mecca sambil berulang kali mengecup kepalanya. Ali dan Al yang melihat pemandangan ini cuma bisa diam dan berharap semuanya baik-baik saja.

Perempuan itu mengambil kompresan yang hampir kering di atas kening Mecca, mencelupkannya kembali ke dalam wadah berisi air lalu memerasnya dan meletakkan kembali ke atas kening putrinya. Prilly benar-benar terlihat khawatir, suhu badan Mecca sangat tinggi dan ia terus mengigau memanggil, "Umi.. umi pulang.."

Al yang menyaksikan itu menyembunyikan air matanya, menyimpannya baik-baik di dalam kelopak hingga cuma terlihat berkaca-kaca. Andai saja bisa ia menjelaskan sekarang juga, pasti semuanya akan membaik. Ia iba melihat Prilly, Tuhan.

"Mecca, bangun dulu yuk, sayang. Minum obat dulu." Prilly mengelus pipi Mecca lembut.

"Umi.." Mecca membuka matanya, menatap langit-langit kamar dengan mata yang terasa panas sekali jika berkedip, kepalanya juga pusing.

"Iya besok umma anter Mecca ketemu umi, sekarang minum obat dulu, ya?" kata Prilly. Kemudian perempuan itu membantu Mecca merubah posisinya menjadi duduk, mengambilkan obat penurun panas berupa sirup untuk anak-anak seraya menuangnya ke dalam sendok. Prilly melayangkan sendok itu ke dalam mulut Mecca dan memberinya air minum.

"Dah, sekarang lanjut bobo ya? Besok kalau Mecca udah mendingan, umma anter ketemu umi."

"Nggak mau, mau bobo sama umi." Mecca mulai menangis.

"Jangan nangis, sayang. Sini abi gendong.."

Ali mengangkat tubuh mungi Mecca, membiarkan kepala Mecca tenggelam di atas bahunya sambil menangis. Saat Ali tak sengaja menatap Prilly, Prilly langsung mengalihkan pandangannya. Semakin hari Ali lihat Prilly makin tak terjaga kesehatannya, buktinya wajah perempuan itu masih pucat.

"Pril kayaknya kamu istirahat dulu deh, muka kamu pucet." ujar Ali.

"Gapapa saya langsung pulang aja."

"Di luar masih ujan. Al, tolong anter Prilly ke kamar aku."

"Nggak perlu saya masih inget, permisi."

Ya, untuk apa Ali menyuruh Al mengantar Prilly ke kamarnya? Apa Prilly selupa itu? Prilly pernah tinggal di sini, menyatu dengan suasana rumah dan kenal betul letak letaknya, apalagi letak kamar mereka dulu.

Pukul satu pagi Mecca baru bisa tidur lagi. Lalu Ali memutuskan pergi ke kamar untuk mengambil selimut dan bantal, sebab ia ingat bahwa Prilly sedang menginap.

Ali membuka pintu kamarnya dengan hati-hati karena takut Prilly terbangun, tapi justru ketika ia masuk ke dalam kamar ia mendapatkan Prilly masih terjaga. Perempuan itu sedang duduk di tepi ranjang sambil melakukan hal aneh. Tangan kanannya menjenggut rambutnya sendiri, seperti orang yang sedang berusaha menghilangkan rasa pening karena sakit kepala. Tapi kepalan tangannya begitu erat sampai rambutnya mulai merontok.

Ali menganga, lalu mendengar Prilly merintih kemudian melihat pergerakan tangan Prilly mengusap hidungnya. Ali masih mengikuti arah tangan Prilly, dan di sana ada bercak darah.

Tangan Ali yang masih tertempel di knop pintu langsung gemetar, jantungnya berdebar, dan Ali terkejut menyaksikan semuanya.

Tanpa ba-bi-bu lagi, Ali langsung menghampiri Prilly dan berhasil membuat Prilly hampir saja kena serangan jantung mendadak. Spontan Prilly menghapus darah yang mengalir dari hidungnya menggunakan punggung tangannya.

Ali berjongkok di hadapan Prilly, memegang kedua tangannya yang mana menyisakan puluhan helai rambut rontok di sana.

"Kamu salah pake sampo apa gimana, Pril?" tanya Ali dengan polosnya.

Dengan keadaan yang seperti ini, setelah mendengar pertanyaan Ali justru Prilly malah tertawa kecil. Menghadapinya dengan tawa padahal rasanya ia ingin mati sekarang juga.

"Nggak, gapapa hehehe." jawab Prilly.

"Kalo udah mimisan berkali-kali, lebih baik periksa ke dokter. Takutnya ada apa-apa." Ali mengambil tisu yang biasa ia letakkan di atas meja sebelah ranjang, menyodorkan ke atah hidung Prilly untuk menyeka sisa bercak darah di sana.

"Udah, Li, gapapa." Prilly mengambil alih tisu itu "Saya cuma kecapekan aja, jadi begini. Apalagi abis ujan-ujanan, ngg--saya punya alergi dingin." ucapnya bohong.

"Kayak di salju aja kedinginan sampe mimisan." kata Ali lalu segera mengambil selimut dari dalam lemari seperti tujuan awalnya datang kemari.

Pandangan Prilly berkeliling melihat isi kamar ini. Kamar yang menyimpan banyak cerita, dulu tempat ini pernah menjadi tempat paling nyaman untuk Prilly. Ada rasa sesak tiap kali mengingat hari-hari lalu, sebab Prilly tak berhak lagi.

"Kenapa? Kangen ya sama kamar ini?" tanya Ali ketika memergoki Prilly serius menatap isi kamarnya.

"Kalo boleh jujur sih iya. Karena kamar ini dulu pernah jadi tempat yang nyaman buat saya." jawab Prilly sambil tersenyum.

Ali diam. "Tapi kamu yang milih pergi dari sini, kan? Gimana di luar sana? Pasti kamu udah nemuin tempat yang bikin kamu jauh lebih nyaman, kamu bebas, dan nggak terbebani lagi." tuturnya.

"Oh iya, Li, Mecca udah sekolah atau belum?" Prilly mengalihkan pembicaraannya.

"Setelah libur Lebaran ini, dia udah mulai masuk SD."

"Saya harap selamanya kamu bisa jaga Mecca, jangan pernah kamu tinggalin dia kayak saya ninggalin dia. Jangan brengsek kayak saya." ucap Prilly.

"Nggak ada yang namanya orang tua brengsek, cuma kurang bertanggung jawab. Dan kamu masih bisa memperbaiki semuanya." ujar Ali.

"Memperbaiki apa? Kamu sama mama pun nggak mau kan jelasin ke Mecca?"

"Nggak sekarang."

Prilly tertawa sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain, kemudian kembali menatap Ali.

"Pril, sebenernya ada satu hal yang harus kamu tau." ah, akhirnya Ali mulai memberanikan diri.

"Hm, apa?"

"Saya--saya masih.. saya masih cinta kamu. Kepergian kamu dulu bener-bener buat semuanya berantakan. Perasaan saya, hidup saya, bahkan hidupnya Mecca karna saya harus bohong kalau Aisa itu ibunya."

Deg.

Sama, Li, saya juga!

Tapi kalimat itu cuma tertahan di tenggorokan Prilly.

"Waktu itu saya udah nggak punya pilihan lain nolak kamu, kamu pun bersikeras supaya kita pisah. Padahal---"

"Harusnya kamu bisa belajar mencintai Aisa,  supaya kamu bisa lupain saya." potong Prilly.

"Saya nggak bisa. Hidup itu cuma sekali, Pril, dan saya cuma mau menikah sekali seumur hidup!" tegasnya.

Prilly menatap mata Ali, mereka saling bercakap lewat retina. Sudah lama Ali tak bisa menatap Prilly begini, Ali rindu bola mata coklat indah milik Prilly. Setelah ia jujur bahwa ia masih mencinta, Ali jadi lega sekali.

"Berarti setelah ini kamu bakal tetep sendiri?" tanya Prilly.

"Nggak akan, kalau kamu mau memperbaiki semuanya." jawab Ali. 

"Saya..."

"Jangan bilang kamu masih pengen bebas dan belum siap sama semuanya."

"Nggak kok. Saya cuma mau bilang saya nggak akan bisa, lebih baik kamu cari pengganti. Aisa, dia kasihan nungguin kamu udah lama, bahkan dia lebih pantes jadi ibunya Mecca."

Ali terkekeh kecil, "Saya cuma mau kamu kembali atau saya nggak bakal cari umi buat Mecca." mendengar itu Prilly langsung skakmat.

***

Suatu Hari NantiWhere stories live. Discover now