Chapter 17: Pilu.

2.3K 301 30
                                    

Prilly mengerjapkan matanya tak nyaman ketika cahaya lampu menusuk tajam retinanya. Lalu hal yang pertama ia lakukan adalah mengusap kepalanya yang terasa nyeri dan pusing. Sekitar satu menit, Prilly baru menyadari kalau saat ini ia sedang berada di ruang rawat rumah sakit. Pikirannya berkelana, mengingat-ingat apa yang telah terjadi kepadanya.

Ah, Prilly ingat. Ia dan Ali berdebat di mobil ketika akan menuju suatu tempat yang tidak Ali sebutkan, sampai Ali lengah ketika ada motor yang akan berbelok di pertigaan ke arah berlawanan hingga Ali membanting stir ke kiri. Setelah itu, Prilly tak ingat apa-apa.

Sekarang, dimana Ali? Apa dia baik-baik saja? Semoga laki-laki itu tak lebih parah darinya.

Benar saja, tak lama Ali masuk sambil memegangi dadanya yang masih terasa sesak. Saat kecelakaan tadi, dada Ali terbentur stir mobil dengan cukup kencang sehingga dokter bilangnya jantungnya tertekan dan melemah. Mungkin Ali bisa mati di tempat kalau ia punya riwayat penyakit jantung.

Ali mendekati Prilly, menusuk retina Prilly dengan sorot mata yang tajam. Di dalam sana bukan cuma amarah yang Prilly dapati, tapi juga tersirat kecewa. Lalu jari telunjuk Ali menekan dadanya sendiri sambil berkata. "Saya kecewa, saya nggak nyangka kamu bisa sebodoh ini!" tukas Ali, matanya terlihat merah menahan gejolak air mata.

"Maksud kamu apa, sih Li?" Prilly merubah posisinya menjadi duduk. "Dari pas di mobil, pembicaraan kamu nggak jelas. Saya nggak ngerti." lanjutnya.

"Kamu pikir dengan kamu pergi bisa hilangin penyakit kamu? Justru orang-orang yang kamu tinggalin yang bakal sakit, Pril. Harusnya kamu nggak gini, cara kamu salah." ucap Ali.

"Ka-kamu tau..."

"Iya saya tau, saya tau kalau kamu punya penyakit leukemia dan kamu coba menghindar dari semuanya." potong Ali, suaranya mulai meninggi.

Mata Prilly mulai memanas, jantungnya berdebar, rongga dadanya terasa ngilu karena menahan air mata yang begitu mendesak ingin keluar.

"Siapa yang udah kasih tau kamu? Al? Al yang kasih tau kamu?" tanya Prilly, air matanya luruh begitu saja.

"Al? Jadi Al tau? Al tau kalau kamu sakit? Kalian bersekongkol untuk nyembunyiin ini? Beneran, gila!" Ali meremas rambutnya sampai berantakan.

Prilly mengernyitkan alisnya, masih dengan air mata yang berderai. "Gak.. nggak gitu. Saya---"

"Udah, cukup kamu mainin kita semua. Saya, mama, bahkan Mecca, kita semua kecewa sama kamu." ujar Ali.

"Kamu nggak ngerti, Li hiks hiks. Saya terpaksa lakuin ini semua, saya terpaksa ninggalin kalian karena saya nggak mau ngebebanin kalian hiks hiks. Saya terpaksa pisah dari kamu, karena saya rasa saya bukan orang yang bisa dampingin kamu selamanya hiks hiks. Terutama Mecca, saya takut dia merasa kehilangan nantinya. Saya sekarat, hidup saya nggak lama lagi.." lirih Prilly.

"Sekalipun penyakit kamu parah dan dokter bilang hidup kamu nggak lama lagi atau apa, seharusnya kamu bisa pakai waktu kamu sebaik mungkin. Bukan justru menghindar!" tegas Ali.

Prilly menangis, tidak tahun ingin berkata apapun lagi. Ali yang melihat hal itu, merasa iba dan berniat ingin mendekapnya dengan sangat erat. Tapi, Ali terlanjur kecewa.

"Kamu nggak tau gimana hancurnya saya pas kamu minta supaya kita masing-masing. Waktu itu saya terpaksa setuju kita pisah karena saya kira itu kemauan kamu dan bisa bikin kamu bahagia dan juga ngebebasin kamu dari beban. Tapi ternyata, kamu bohong. Dan sekarang saya ngerti, saya salah pilih orang, harusnya saya nggak jatuh cinta sama kamu." semua ucapan yang Ali lontarkan adalah bentuk kecewanya yang sangat besar.

Suatu Hari NantiWhere stories live. Discover now