Chapter 13: Cemburu?

2.3K 297 26
                                    

Berkali-kali Prilly memohon supaya Reta dan Ali menjelaskan, tetap saja mereka tutup mulut. Tak ada yang ingin mewujudkan permintaannya, Prilly benar-benar kecewa namun ia tak berhak menyalahkan ibu atau mantan suaminya. Prilly pasrah saja, tinggal menunggu waktu yang menjawab semuanya.

Pahit, benar-benar pahit. Setelah kejadian itu Prilly jadi menjaga jarak dari Ali juga Reta. Padahal Prilly berat sekali memperlakukan Reta seperti ini, tapi Prilly butuh perannya dikembalikan. Meskipun ini kesalahannya karena pergi bertahun-tahun.

Prilly bukannya ingin di akui, setidaknya Mecca tahu kalau ia adalah ibu kandungnya. Mau Prilly tak di anggap, tidak disapa selayaknya anak memanggil ibunya, Prilly cuma mau Mecca tahu. Itu saja.

Kini Prilly sedang menikmati kesendiriannya mengelilingi mall, melihat ke kanan dan ke kiri setiap ada objek yang membuatnya tertarik. Tapi bukan berarti Prilly mampir ke setiap toko. Di genggamannya sudah tercantel beberapa kantung plastik dan juga pouch berisi belanjaannya, salah satu diantaranya dress untuk Mecca. Prilly berharap putrinya itu suka.

Akhirnya setelah lelah berkeliling, Prilly memutuskan untuk pulang. Ia mencari pintu selatan yang letaknya tak jauh dari parkiran karena ia bawa mobil.

Alangkah terkejutnya Prilly ketika menemukan seseorang tengah bersantai ria di sebuah kafetaria sedang menyeruput kopi dan di sela jari telunjuk dan jari tengahnya terpaut sebuah rokok yang masih tersisa setengah. Yang lebih membuat Prilly terkejut, ia duduk bersama perempuan yang sekarang tangannya siap menyuapinya sebuah kue.

Prilly menghampirinya. Laki-laki itu baru menyadari kedatangan Prilly, ia langsung memasang ekspresi terkejut bukan main.

Sepeti maling yang kepergok sedang mencuri, Ali benar-benar bingung barus melakukan apa. Entah apa yang ia cemas kan, padahal Prilly bukanlah lagi pendampingnya.

"Gila! Sumpah, saya nggak nyangka kelakuan kamu bisa seburuk ini. Kamu berubah banget ya?!" Prilly marah, ia benar-benar marah juga kecewa. Entah apa yang membuatnya emosi, padahal ia tak berhak lagi.

"Loh, ngapain di sini, Pril?" tanya Ali, spontan langsung mematikan rokok yang masih tersisa itu. Prilly melirik setiap gerak-gerik Ali, dan laki-laki itu jadi merasa gugup.

"Aisa lagi koma dan kamu bisa-bisanya kencan sama perempuan lain, dan.. sejak kapan kamu merokok? Setahu saya kamu nggak bertemen sama gituan?"

"Iya saya tau Aisa lagi koma, terus ada apa, Pril?"

"Ada apa? Masih tanya kamu ada apa? Beruntung ya saya udah nggak lagi sama kamu. Dasar brengsek!" Prilly pergi meninggalkan Ali.

Kemudian Ali mengatakan sesuatu kepada perempuan yang tengah bersamanya itu lalu berlari mengejar Prilly. Ia terus memanggil-manggil namanya tapi Prilly enggan menoleh, hingga Ali berhasil menarik tangan Prilly barulah perempuan itu behenti.

"Kamu kenapa, sih? Apa salah saya duduk sama orang lain?"

"Ya jelas salah, Li. Aisa, istri kamu lagi koma tapi kamu justru berbuat gila!"

Ali diam sejenak, ia berpikir sepertinya ada satu hal yang belum Prilly tahu. Lalu Ali menepuk jidatnya sebelum ia menjelaskan apa yang sebenarnya kepada Prilly.

"Oh iya, Pril. Saya dan mama lupa bilang ke kamu, kalau saya sama Aisa sama sekali nggak terikat status apapun. Dari dulu dia temen saya, cuma dia mau jadi relawan yang menggantikan posisi kamu buat Mecca. Ceritanya panjang, nanti saya jelasin di rumah."

Prilly benar-benar tidak mengerti dengan semua yang terjadi, ini seperti tak masuk akal tapi Ali menjelaskannya tanpa wajah seorang pembohong. Namun tetap saja, Prilly tak suka melihat objek tadi. Hatinya terasa nyeri, padahal Prilly mencoba menepis hal itu jauh-jauh.

Suatu Hari NantiWhere stories live. Discover now