Bab 40

43.6K 1.9K 107
                                    

Brandt memaksaku—setengah menyeret, mungkin kata yang lebih tepat— untuk ikut dengannya. Aku tak tahu ke mana arah tujuan kami. Seharusnya tadi aku melawan saja padanya, entah dengan menghajarnya atau sesuatu yang membuatnya berpikir dua kali saat membawaku. Tanganku gatal ingin sekali meremukkan wajahnya. Kurasa membuatnya terbaring di rumah sakit sejenak bisa menjernihkan pikirannya yang gila. Atau setidaknya, menyisakan satu bekas luka tak akan mengurangi nilai tambah di wajahnya.

"Tolong," ujarku sepelan mungkin, walaupun tetap saja aku tak bisa menahan diri untuk menggertakkan gigi, "bisa nggak turunkan aku di kafe sebelah sana?"

Aku merapatkan kedua lenganku, menunjukkan keenggananku untuk menjulurkan jari. Lebih baik menunjuk dengan dagu saja daripada aku repot2 menggunakan jari. Namun, pria yang sedang memegang kemudi itu diam saja, hingga aku melewati apa yang menjadi tujuanku.

Ya ampun ... Joleen pasti sudah berada di sana. Aku mengatakan pada gadis itu untuk menunggu satu jam lagi. Dan ini sudah lebih dari waktu yang kujanjikan. Mungkin dia akan mencariku sebentar lagi.

"Brandt, kamu mau bawa aku ke mana?!" Aku berteriak kesal karena dia sama sekali tidak berniat menjawabku. Jalanan yang kami lalui berubah menjadi tempat yang sama sekali tidak aku kenali. Dan kami sudah jauh melewati tempat yang menjadi tujuanku. "Kubilang, turunkan aku di kafe tadi. Dan sekarang aku melewatkannya!"

Jemarinya memutih menahan emosi, mencengkeram setir dengan kuat hingga otot2 halus si lengannya tampak mengakar. Suaranya tertahan dalam bibir yang sedikit bergerak tanpa ada emosi yang menenangkan. "Kumohon ... diamlah, Arianna."

"Kamu lebih suka menjerit-jerit dan menjadi perhatian orang, berteriak atau apa, hah?!" balasku berteriak. "Kamu mau menculikku?!"

"Silakan saja kalau kamu mau berpikir begitu. Aku bisa mengatakan hal yang bisa membuatmu lebih malu lagi." Brandt menghela napas lelah, semua emosi tercampur aduk di raut wajahnya yang sama sekali tak bisa kubaca. Dia melirik ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Dan tolong jaga sikapmu, sebentar lagi kita akan sampai."

Aku menggumam kesal dan pria itu untungnya tak menggubrisku. "Kenapa aku harus menurutimu sih! Shit!"

"Ayo, turun." Brandt sudah berdiri di depan pintu tempatku menumpang, membukanya untukku. "Semakin cepat kita selesaikan, semakin baik."

Aku keluar dengan terpaksa, tapi tak lantas mengikutinya yang sudah berjalan lurus ke arah pintu besar dengan dua daun. Malah bersidekap, merajuk mirip yang dilakukan si kembar jika keinginan mereka tak segera kuhiraukan.

"No!" Aku menggeleng.

Brandt berhenti dan berbalik ke arahku. Menurunkan kacamata hitamnya sedikit untuk melirikku dengan tajam. Tatapan mata yang sama seperti milik Shane jika gadis cilik itu kesal. "Kamu lebih suka saya gotong dan kamu bakal malu atau kamu bisa jalan sendiri."

"Akan kuingat ini, berengsek!" Kuikuti langkahnya yang masuk semakin ke dalam rumah besar. Bukan, ini lebih mirip mansion daripada sekadar rumah. Brandt menurunkanku di depan sebuah rumah besar bergaya kolonial dengan aksen modern di sisi kanan kirinya.

"Masuk." Tubuhku membeku, diam di antara ruangan yang lebih mirip ruang tamu, karena terlihat beberapa kursi sofa dengan desain kuno dan ukiran rumit. Mataku meneliti satu persatu interior yang terlihat horor ini. "Masuk, Arianna."

"Ini ... kenapa kamu membawaku ke rumah siapa? Urusan kita sudah selesai, kan?" Napasku tercekat melihat seseorang yang agak mirip Mama. Berdiri sambil memegang cangkir di salah satu tangannya. Dengan elegan dan tertata, wanita itu berbicara lembut, sesekali nampak tersenyum kepada lawan bicaranya. Langkahku mundur sejenak menyadari bahwa ini seperti ... Ah, aku bahkan tak berani mengatakannya, meskipun hanya dalam hati.

Langkah keduaku terhenti saat suara Brandt menginterupsinya. Jarak yang seolah jauh semakin mendekat seiring tubuhnya yang besar dan hangat berjajar di depanku. Lenganku dicekalnya erat seolah tak mengijinkanku menghilang. "Hei, mau ke mana kamu?"

Suara jejak kaki terdengar lain dari arah belakang Brandt, aku tak bisa melihatnya karena terhalang tubuhnya. Tatapannya masih mengarah padaku, tapi dia berbicara bukan denganku. Dahiku berkerut tak mengerti dengan situasi semacam ini. "Mother. Ini Arianna."

"Brandt," cicit suara itu. "Siapa itu?"

Brandt berbalik dan menghadap ke satu tempat yang tak ingin kutahu dan berkata dengan gamblang tanpa ada keraguan. "Dia istriku sekarang."

Tanpa aku ikut melihat pun, wanita dengan blus dan suit berwarna pastel itu pasti merasa salah dengar, dahinya berkerut tajam. Jika aku berada di posisinya, mungkin aku malah bakal pingsan. "Brandt ... Mother tidak mengerti."

"Oh, aku yakin Mother pasti mengerti." Brandt menjawab dengan nada yang sama sarkasnya denganku jika sedang tidak ingin ada bantahan.

"Tapi ... Bukankah ... "

"Halo," sapaku gugup. Namun kutahan ludahku di tenggorokan, berharap ada sedikit keberanian masih tersisa di hatiku. "Selamat sore, Tante. Saya Arianna."

"Sore juga," balasnya sama gugup, meskipun sama sekali tak dia tunjukkan.

"Brandt, kamu kembali!" teriak girang seorang wanita. Seseorang yang dulu kuharap tak akan pernah kutemui lagi. Gadis itu, yang kepadanyalah aku sedikit berhutang maaf. Tatapannya menusuk ke arahku. "Sedang apa wanita ini di sini?" tanyanya dengan arogan.

"Sebaiknya kamu masuk, Mila. Aku sudah cukup bersabar untukmu selama ini!" Kalimat perintah sama sekali tak bisa dibantah andai pria itu berada di kantor.

"Aku berhak tahu, sayang. Kamu lupa siapa aku, hm?" Mila tersenyum. Kulirik sekilas untuk melihat matanya yang cukup terkejut yang dengan baik berhasil dia sembunyikan.

"Aku akan berbicara denganmu saat aku ingin. Kamu lupa dengan siapa kamu berbicara?" balas Brandt tenang.

Sepertinya aku berada di tempat dan waktu yang salah. Sudah jelas, aku terhimpit dalam keadaan seperti ini, yang seharusnya Brandt selesaikan lebih dulu. Ah, sial sekali aku hari ini. Dosa apa aku! "Euhm... Kalau nggak ada yang penting, aku pergi saja, bisa kan?"

"Sudah pasti kamu harus pergi, jalang." Mila susah lebih dulu menyahut tanpa memberi jeda pada apa yang kukatakan selanjutnya.

Aku mencoba bersikap sopan kepada wanita pemilik rumah ini. Brandt masih diam melihat drama kecil yang dia buat sendiri. Enak sekali diperebutkan dua orang wanita hari ini. Tapi aku nggak ingin ikutan dalam acara rebut merebut itu. "Tante, saya pamit. Sepertinya saya mengganggu."

"Ya, kamu benar2 pengganggu, Arianna." Lagi2 gadis itu menyahut. Kemudian dia juga mengatakan sesuatu yang seharusnya hanya untuk dirinya sendiri dan juga aku yang tahu. "Peringatanku belum cukup rupanya."

"Aku—" Mataku terbelalak mendengarnya. "Ak—"

Belum sempat aku menyelesaikan kata2ku, Brandt murka. Wajahnya pias dengan tangan mengepal di sisi tubuhnya. Matanya memicing tajam ke arah istrinya. "Kamu bilang apa barusan? Katakan sekali lagi, Mila!"

"Aku tidak mengatakan apa2, sayang," elaknya. "Hanya sedikit mengingatkan Arianna."

"Mother, bawa Arianna ke ruanganku sekarang. Please."

"Eh, tidak perlu, Tante," tolakku halus. Aku ada janji dengan Joleen. Tentu aku masih bisa mendapatkan taksi dari sini, bukan? "Saya pergi saja. Lain kali saya ke sini lagi." Yang dalam mimpi, tambahku dalam hati.

"Arianna..." Brandt memperingatkan.

Aku bersidekap, menantangnya. "Apa? Kamu mau apa?"

"Masuk!" Dia menunjuk ke arah lain. Tubuhnya tetap menjulang di antara aku, ibunya, dan Mila. "Dan kamu, Mila. Kita akan menyelesaikan kekacauan ini sekarang juga."

[]

Sekian dulu, entah masih nyambung atau enggak. Hapread 😉

SHADOW MARRIAGE (End)Where stories live. Discover now