Bab 28

27.6K 1.5K 10
                                    

Aku terbangun dengan tubuh yang terasa lebih segar. Kulirik jendela dan ternyata di luar masih gelap. Tubuhku masih hangat, kepalaku juga sudah nggak terlalu sakit seperti tadi.

Aku hendak menurunkan kaki saat sebuah gerakan mengusikku. Ranjangku melesak separuh ternyata, dan pria itu sudah berganti pakaian di balik selimutku.

Jadi, dia pulang ke rumahnya, mengambil pakaian ganti, lalu kembali ke sini? Nggak mungkin. Dia pasti menyimpan satu atau dua pakaian cadangan di mobilnya.

Kupaksakan tubuhku yang terasa berat untuk berdiri. Bersyukur dengan tangan siapa pun yang menangkap tubuh limbungku yang akan menghantam lantai keras. Walaupun sudah kulapisi dengan karpet tebal, tetap saja jika jatuh akan terasa sakit, 'kan?

"Kamu mau ke mana? Kenapa tidak membangunkan saya saja?" tanya alunam suara dalam itu.

Brandt sudah sigap berdiri di belakang menahan beban tubuhku. "Aku haus, Brandt. Kamu nggak perlu bangun."

"Dan sedang apa kamu di sini? Kukira kamu sudah pulang." Mataku menyipit mengingat jika sebelumnya aku berkata untuk menutup pintu jika dia akan pulang. "Jangan memaksakan, Brandt. Nanti kaki kamu sakit lagi."

"Kamu mau apa, biar saya ambilkan. Jangan khawatir soal itu. Kaki saya baik2 saja."

Tanpa menunggu jawabanku, Brandt berjalan dengan setengah tersaruk menuju dapur kecilku. Bunyi kulkas yang terbuka dan denting botol beradu di tengah malam. Kugunakan kesempatan itu mengecek ponselku yang sama sekali belum tersentuh sejak kemarin.

Beberapa pesan dari ibuku yang mengatakan bahwa 'ayahku' datang berkunjung ke Lombok dan dia memberikan salam untukku. Ibu juga berkata dalam pesannya, bahwa dia berharap aku akan memaafkan mereka berdua karena waktu itu hubungan mereka banyak sekali tentangan. Tetap saja aku tak peduli. Aku butuh waktu untuk mencerna kenyataan bahwa aku masih memiliki ayah.

Brandt kembali dengan sebotol air dalam kemasan yang sudah dingin dan gelas kosong untukku. Dia juga memberikan obat lagi setelah telapak tangannya memeriksa dahiku. "Demammu sudah tidak terlalu parah. Tapi sebaiknya kamu minum obat lagi untuk berjaga2."

"Thanks," gumamku.

Brandt menungguku menelan obat dan menatapku intens. "Masih merasa pusing? Sebaiknya kamu tidur lagi. Hari masih gelap."

"Kamu nggak pulang?" tanyaku padanya ketika dia meletakkan gelas dan botol di meja kecil dekat jendela kamar. Samar aku mengenali motif t-shirt yang dia pakai. Itu kan kaus Ben yang sengaja dia tinggalkan di sini, berjaga2 kalau pria itu mendadak butuh ruang sendiri. "Sepertinya itu kausku ..."

Brandt mendongak padaku lalu melihat kembali pakaian di tubuhnya. "Oh, ini. Saya menemukan baju yang pas. Apa kamu sering memperbolehkan teman priamu menginap di sini?"

Aku mengangguk ragu. Tidak juga.

"Lain kali jangan. Saya nggak suka ada orang lain yang mengusik kehidupan kita di rumah ini."

Mendadak kepalaku kembali berputar mendengar Brandt berkata demikian. "Maksudnya...?"

"Saya nggak suka kamu sembarangan memasukkan tamu pria ke dalam apartemen kamu, Arianna."

Kupandangi ekspresi yang tergambar di wajah tampan Brandt, tapi sama sekali nggak menemukan apa pun di sana. "Kamu bicara seolah2 hubungan kita benar2 serius. Memangnya kamu suamiku yang pencemburu dan posesif? Sama sekali nggak cocok."

Brandt berdehem kikuk. "Sudahlah, ayo kembali berbaring."

"Mungkin sebaiknya kamu tidur di kamar satunya, Brandt. Nanti tertular kalau kamu tidur di sini." Kuangkat kakiku dan menelusupkannya kembali ke dalam selimut.

Namun Brandt tak mengindahkan peringatanku, malah ikut masuk ke dalam selimut. Aku berbaring miring memunggunginya dan mematikan lampu nakas di sampingku. Begini lebih baik.

Tangan Brandt yang hangat dan besar melingkupi tubuhku. Tersampir ringan di pinggangku yang kata Ben dan Lika ramping, langsing, serta nggak enak dipeluk. Tapi aku nggak merasa demikian. Aku malah senang.

Tiba2 Brandt membalik tubuhku untuk menghadap ke arahnya. Lalu mengecup dahiku yang sedikit menghangat kembali. Tangan besar dan kasarnya mengusap rambutku. Aku merasakan sesuatu yang berdegup kencang berdentum di telingaku.

"Kamu mendengarnya, bukan?" lirih Brandt. "Itu terjadi setiap kali kamu ada di dekatku, Arianna."

Aku semakin menyurukkan kepalaku ke dalam pelukannya. Mungkin ini salah, aku tahu. Nggak seharusnya aku merasakan ini. Bukan hal yang mudah mengabaikan getaran2 yang menggelitik mulai dari ujung kaki. Elektrisitas merambat melalui tulang2ku, menjalar hingga menuju otak. Dan membuyarkan apa pun yang sedang kupikirkan.

Batinku berteriak di antara nalar dan logikaku yang berperang memperebutkan moralitas tingkah liarku. Sisi pelacurku memerintahkanku untuk menikmati sentuhan2 Brandt yang mulai menjelajah sekujur kulitku. Semua tanpa terkecuali.

Wilayah yang bahkan tak pernah kutahu ada, kini terbuka lebar. Mulutku terkunci oleh segel bibirnya yang beraroma mint. Dadaku bergemuruh menyambut sukacita saat kulitku bersentuhan dengan  sihir darinya. Aku nggak pernah mwrasakan perasaan yang membuncah ini.

Panas melanda seluruh tubuhku hingga ke belulangku yang rapuh. Brandt benar2 melepaskan rantai yang membelenggu nafsu liarnya. Bagai menikmati perayaan akbar, kami sama sekali tak peduli jika esok dunia akan hancur. Biarkan jiwa kami menikmati sececap kepuasan yang terakhir. Sesekali aku meraup semua oksigen yang tersedot habis oleh paru2ku yang berjuang mendapatkan suplai udara.

Tubuhku meluruh di antara kesadaran yang semakin menipis. Mungkin itu semua hanya ilusi tengah malam akibat pengaruh obat. Sepertinya Brandt salah memberiku obat. Aku bahagia, hanya itu yang ada di benakku. Terus berulang, dan berulang kali hingga aku tak mampu membendung bibirku untuk mengatakannya.

"I love you."

Brandt mengecupku yang setengah tertidur dalam pelukannya, tanpa mempedulikan sisa2 hasrat kami yang tercecer di ranjang. Bukti2 sisa percintaan kami yang mungkin akan kuingat atau tidak jika aku sudah menemukan kembali akal sehatku.

"Hm..."

[]

SHADOW MARRIAGE (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang