Bab 23

31.1K 1.8K 12
                                    

Rasanya nggak ada yang lebih mengejutkan daripada menemukan kenyataan bahwa ayahmu adalah orang yang kamu kenal. Dan dia sama sekali nggak masuk dalam daftar potensial calon ayahmu saat dia sendiri ternyata adalah ayahmu.

Aku berdiri di depan meja. Ibuku hanya terdiam menyaksikan tingkahku yang sangat emosional. Mungkin aku terlalu berlebihan menanggapi ini. Tapi ini benar2 di luar ekspektasiku. Ibuku yang ikut berdiri dan berusaha menenangkanku, itu sama sekali nggak berpengaruh.

Aku kepingin sekali menghajar dua orang ini. Mengapa baru sekarang dari sekian banyak waktu. "Mama! Apa-apaan ini?! Tolong katakan kalau semuanya hanya guyonan kalian."

Mama mengubur wajahnya ke dalam  kedua telapak tangannya, mengusapnya perlahan dan memandangku nanar. "Maafkan Mama, Nak ..."

"Arianna, maafkan Pa-" Aku mengacungkan tanganku ke arahnya, meminta pria tua itu menghentikan omong kosongnya. "Om."

"Kalian bohong kan?!" teriakku. Aku tak peduli meskipun ini adalah tempat umum. Air mataku hampir meluruh menerima kenyataan yang mendadak seperti ini.

Bisa2nya mereka melontarkan lelucon nggak lucu. Mereka pikir ini acara reality show. Aku nggak bakal termakan jebakan mereka. Mulutku meracau tak karuan,  hingga berkali-kali aku menggumam God must be grazy; aku kena punk'd.

"Aku butuh berpikir jernih." Aku keluar dari restoran itu. Beberapa kru yang terlihat saling berbisik. Aku tidak peduli. Aku tidak peduli, teriakku dalam hati. Terserah jika mereka ingin membicarakan diriku yang telah berbicara sendiri atau aku yang setengah berlari.

Jalanan seolah mengabur di sela air mataku. Orang2 yang berselisih jalan, tanpa peduli menabrak sesama pengguna jalan tanpa sengaja. Kuketatkan hoodieku lebih erat. Seharusnya malam ini cuaca menghangat. Tapi mengapa aku merasa lebih dingin daripada yang pernah kurasakan?

Brandt.

Satu nama itu tercetus begitu saja di depanku. Meski tak ingin kuingat, tapi wajah pria itu seolah terpatri dengan kuat di pikiranku. Ingin sekali aku berteriak, meraung, meluapkan semua amarah dan membuang semua hal yang menggangguku.

Kubelokkan arah langkahku ke sebuah bar terdekat. Aku tidak tahu apakah ini bakal aman atau tidak. Aku masih tak peduli. Biarkan saja seandainya ada orang yang akan merampok saat aku mabuk dan tak sadarkan diri. Atau sekalian saja, bunuh aku saat itu juga.

Keinginan untuk melupakan semua yang terjadi malam ini begitu besar. Kupesan minuman yang jadi favorit di sini. Biarkan saja untuk sekali ini tubuhku merasakan bebasnya tanpa ada beban.

***

Aku tidak  tahu sudah berapa banyak gelas yang kutenggak. Rasanya lambungku sudah tak kuat menahan banyaknya alkohol yang masuk ke sana. Setidaknya aku masih sadar untuk berjalan kembali ke hotel.

Ponselku terus bergetar dari tadi, sengaja tak kuhiraukan. Palingan dari mama. Memangnya ada lagi selain dia yang akan menghubungiku, tidak ada.

Joleen? Dia sedang sibuk dengan Fero atau sedang bersenang2 menghabiskan dana perwaliannya di Ibiza. Cewek itu nggak akan peduli dengan pekerjaannya. Selama uang masih mengalir di rekeningnya.

Ben? Lika? Vina? Teman kantorku yang di Jakarta, bisa dibilang mereka sudah melupakanku sepertinya. Tak ada satupun dari mereka yang menanyakan kabarku sejak aku pindah ke Bali. Sialan memang mereka.

Pandanganku mengabur saat samar2 aku melihat seseorang mendekat padaku. Dia menepuk pundakku dan berbicara sesuatu dengan orang yang berada di seberang meja bartender.

Yang kudengar hanya gumaman dan saat itu juga tubuhku terasa ringan. Aku senang sekali, sudah lama aku tidak merasa seperti ini. Melayang bebas, aku tertawa dan bernyanyi riang. Mirip seperti anak kecil yang mendapatkan hadiah mainan baru.

SHADOW MARRIAGE (End)Where stories live. Discover now