Bab 4

47.3K 2.7K 26
                                    

Aku nggak pernah menilai orang hanya karena penampilan atau apa yang menjadi kekurangan orang itu. Misalnya demikian pun, aku berusaha untuk tidak menunjukkannya. Langkah kaki yang berat menuju ke arahku. tubuhnya mendadak beku dan dengan ragu melangkah mundur, membuatku terjebak di depan dinding. "Mau apa kamu?"

Matanya masih terus menatapku dengan intens dan aku bisa melihat dengan jelas iris matanya yang berwarna abu-abu gelap. Kedua lengan kekarnya yang terbalut jas dengan sempurna bertumpu pada dinding di belakangku.

Apa pria ini bermaksud mengurungku? Atau dia sudah tahu kebohongan yang kami lakukan?

Embusan napasnya yang panas menerjang indera penciumanku dengan membabi buta. Aroma maskulin yang familier membuatku melayang. Bibirnya mendekat ke telingaku, mengirimkan getaran yang tak ingin kurasakan, memaksa tubuhku untuk menyerah.

Aku bisa merasakan senyumnya di antara remang-remang bayang tubuh kami. "Ayo kita buat ini berhasil."

"Lalu apa yang bakal kudapatkan?"

***

Tak kusangka aroma tubuhnya sungguh-sungguh membuatku mabuk kepayang. Antara menuruti hawa nafsu atau membaca kenyataan bahwa ini hanya pura-pura, aku tak tahu lagi apa yang kuinginkan. Ambigu sekali hidup yang singkat ini.

Pria itu mendekat padaku. Napasnya yang hangat menyapa kulit pipiku. "Panggil namaku."

Memangnya aku tahu, dasar bodoh?! Sial, tante Julia sama sekali nggak memberitahuku soal ini. Aku baru saja menyadarinya. Mulutku masih terdiam, menutup bibirku rapat-raat.

"What should I call you then? Honey? Or do you prefer other nicknames?" balasku padanya.

Pria itu menyunggingkan senyumnya yang menawan di balik bekas luka itu. Dia melepas kungkungannya. "Aku tahu kamu pasti jijik dengan wajah ini. Jangan khawatir, aku nggak bakal memaksa kamu untuk melakukan hal yang bikin kamu nggak nyaman."

Wow, gentleman sekali. Harusnya aku senang dengan perlakuannya itu. Tapi yang aneh bagiku adalah di suatu tempat, aku merasa sedikit tercubit. Well, aku sendiri tidak tahu mengapa demikian.

"Kamu tidur saja di ranjang itu. Aku harus menyelesaikan-"

Kubiarkan instingku mengambil alih, dan kuraih wajahnya yang tiba-tiba memucat. Mungkin dia terlalu terkejut dengan tindakanku, bahkan untuk diriku sendiri.

Impulsif. Sama sekali nggak seperti diriku.

Rasanya bibirnya mirip dengan latte yang kemarin kubeli di bandara, tapi yang ini jauh—jauh lebih nikmat. Hangat dan rasanya nggak bakal bisa kutemukan lagi jika aku mampir ke kafe mana pun.

Aroma tubuh dan napasnya ... Benar-benar membuatku ingin masuk ke dalam dekapannya. Sial. "Kamu—"

"Shh..." Tak ada lagi kesempatan untuk menjeda apa pun yang mau kukatakan. "Finish it."

Tanpa persetujuanku pun, dia akan membawaku ke mana pun selain yang kurasakan saat ini.

***

Suara gemerisik air pancuran yang membuatku terbangun. Rasanya aku nggak bakal bisa menemukan yang seperti ini lagi. Sudah berapa lama pria itu terbangun?

Kulirik jam kecil di atas nakas sambil menarik selimut yang menutupi tubuh telanjangku. Masih dini hari? Walaupun aku nggak yakin, karena mataku sudah tak mampu lagi utnuk kupejamkan.

Pintu kamar mandi terbuka dan di sana berdiri pria yang menjadi suamiku selama beberapa jam yang lalu. Tetesan air masih terlihat di dadanya yang bidang. Pikiranku hanya tertuju pada tubuhnya yang gagah dan sudah mengenal sekujur tubuhku sebaik diriku sendiri.

"Oh, kamu sudah bangun?" Sorot matanya tampak aneh, antara menyesal, tidak menyesal, senang dan ... puas dengan dirinya sendiri?

Aku menyandarkan punggungku ke kepala ranjang dan menarik selimut lebih tinggi lagi. Lampu nakas di sampingku sengaja kumatikan. Mataku belum terlalu biasa dengan cahaya. "It's okay. Pada akhirnya juga akan seperti itu."

"Tapi... kupikir..." Dia mendekat ke arahku, memperhatikan diriku yang masih terdiam sebelum berkata, "Kenapa kamu nggak bilang padaku?"

Aku mengembuskan napas pelan. "Sudahlah."

"Tapi--"

Jariku mengaangkat terlebih dulu tanpa kusadari, memotong kalimat apa pun yang akan keluar dari bibirnya. "Kalau kamu sudah selesai, aku mau gantian."

Aku beranjak dari tempat tidur, melilitkan selimut dan membawanya ke kamar mandi. Kutatap pantulan diriku di cermin dan bertanya, "Apa yang sudah kulakukan?"

Pikiranku melayang tak tentu arah saat menyalakan kran air hangat dn mengisi bak mandi.

Aku perlu segera mengakhiri ini dan kembali ke Jakarta secepatnya.

[]

SHADOW MARRIAGE (End)Where stories live. Discover now