Bab 3

50K 2.8K 24
                                    

Pada akhirnya aku belum ada rencana kembali ke Jakarta hingga minggu berikutnya. Menghabiskan liburan di Jogja memang menyenangkan tapi sayangnya harus kuisi dengan acara itu.

Jujur saja aku masih tidak bisa menerima kenyataan bahwa aku pernah menjalani sebuah pernikahan. Kalau saja aku bisa melupakannya... Ya Tuhan, semoga saja aku tidak mendapatkan karma atas apa yang sudah kulakukan.

Iya, sama saja dengan si Mila, aku kabur begitu saja. Namun bedanya, aku sudah berstatus sebagai istri. Tentu saja bukan dalam hal sebenarnya. Itu kan hanya sementara seperti yang dijanjikan tante Julia.

"Nanti kamu bisa pergi selepas acara saja, Anne. Tunggu sampai kamu kembali ke kamar kalian--" ujar Joleen. Namun, kata-katanya terhenti di tengah saat aku melempar tatapan sengit padanya.

Gadis itu hanya tersenyum jahil padaku. "Oops! Kan cuma istri pura-pura." Dia mengerling padaku dan melanjutkan, "Kamu bisa mencoba menikmatinya. Udah waktunya juga kan?"

"Brengsek kamu, Jo!" geramku. "Setelah ini kamu pasti mati di tanganku. Tapi tidak untuk hari ini."

Joleen mengangkat kedua tangannya menyerah. "Oke, oke. Nanti kuturuti semua permintaanmu. Asalkan khusus hari ini kamu mau menurut sama aku dan Tante Julia. I begged you, please..."

Nggak kebayang sama sekali bahwa tamu yang hadir di gedung The Javina sebegini banyak. Ternyata hotel ini milik keluarga besar Joleen. Nggak kusangka juga gadis itu masih termasuk keluarga inti.

Kukira hanya keluarga saja. Atau setidaknya, rekan bisnis keluarga Widjayanto nggak sebanyak ini. Jauh di luar ekspektasiku. Hilir mudik orang yang datang dan menunggu kami. Aku dan calon suamiku, maksudnya.

Duduk di ujung kanan depan, beberapa artis dan pejabat yang bahkan aku tidak tahu namnya sedang bercanda tentang sesuatu. Lalu di sebelahnya ada keluarga inti yang lain, termasuk salah satu paman Joleen yang katanya masih single.

"Om-om senang dong kalau begitu," candaku pada Joleen saat dia mengatakan akan menemui semua keluarganya. Kuperhatikan lagi dari jauh.  "Tapi setidaknya dia ganteng."

Joleen terkikik. "Sangat. Kamu pasti bakalan suka deh. Tapi sayang banget, dia kayak nggak tertarik sama cewek. Apalagi yang semacam kamu, Anne."

"Whatever," tukasku, aku menoleh padanya, "Kamu yakin dengan rencana ini?"

***

Ini juga benar-benar di luar perkiraanku. Kubayangkan bakal bersanding dengan pria tua dan gendut, dengan kepala yang memiliki sisa rambut sebanyak jari tangan dan kakiku. Namun, nyatanya aku berhadapan pria yang ... sepertinya aku pernah melihatnya. Walaupun aku tidak yakin pernah bertemu dengannya di suatu tempat.

Wajahnya tak bisa kulihat dengan jelas, karena mataku sendiri tertutup oleh veil yang menjuntai hingga ke atas dadaku. Yang ada hanyalah kami duduk di depan penghulu, dengan Tante Julia di samping kiriku. Juga ada paman Mila dan Joleen yang tadi sempat kubicarakan.

Aku dan pria itu--yang tak kuketahui namanya, atau memang aku yang tidak memperhatikan sama sekali--saling bertukar cincin dan menandatangi surat pernikahan tak lebih dari lima menit. Tahu-tahu saja kami sudah sah dan banyak sekali riuh tepukan tangan para undangan.

Beruntungnya, aku nggak harus berciuman dengannya. Mungkin mereka tahu bahwa ini hanyalah pernikahan atas dasar bisnis. Ah, anda saja aku benar-benar melakukannya, dengan pria yang sangat kucintai. Pasti aku akan sangat bahagia.

Di sisi belakangku ada keluarga Mila yang lain. Mereka berdiri serentak saat aku dan suamiku bergandengan tangan dan hendak keluar menuju grand hall.

Tante Julia menuntunku perlahan. "Hati-hati, ya. Sebentar lagi selesai kok, Arianne," bisiknya padaku. Dia tahu bahwa kami tak mungkin berbicara dengan lantang di sini.

***

Sama sekali tak banyak yang bisa kulakukan. Saat berdiri diam, menahan bobot tubuhku sendiri ditambah gaun yang membuat kakiku pegal, aku harus menahan sabar dan lapar.

"Jadi, kamu Mila?" tanyanya datar. bisa kurasakan matanya menilai diriku. Namun, aku tetap melihat ke depan, ke para tamu yang memberiku ucapan selamat.

Kutatap wajahnya dari bawah dagu hingga ke rambutnya yang gelap, aku baru sadar jika pria itu memiliki carut luka. Memanjang dari pelipis kiri hingga pipi, yang hampir membelah bibirnya yang tebal. Aku sedikit terkejut dan mengernyit melihat hal itu. Namun, seolah pria itu bisa membaca pikiranku dan berkata, "Tak seperti dugaanmu, heh?"

"Memangnya aku menduga apa?" bisikku tertahan. Aku tersentak mendengarnya bertanya demikian. "Apa yang kamu tahu tentang apa yang aku pikirkan saat ini?"

Selagi pertanyaanku tergantung di udara, yamg kuterima darinya hanya kediaman yang tak henti.

[]

SHADOW MARRIAGE (End)Where stories live. Discover now