Bab 12

38.8K 2.4K 9
                                    

"Saya tahu kamu bisa mendengar saya."

Aku menolehkan kepalaku dan mengernyit heran. Terlalu kaget dengan pernyataan yang terlontar dari mulut penuh seringaian dalam balutan wajah datarnya. Kenapa pria ini tiba-tiba saja melontarkan kalimat itu?

Joleen sudah pergi bersama dengan kekasihnya yang berwajah oriental. Fero ingin berduaan saja dengannya. Tentu saja, ini kan liburan untuk mereka. Bersenang-senang di luar negeri seperti ini merupakan kegemaran mereka.

Namun, kehadiran pria dengan luka parut memanjang di sampingku membuatku sadar bahwa aku sedang ditinggalkan pasangan konyol itu. Aku berpura-pura mengacuhkannya. "Maaf? Maksud kamu apa, ya?"

"Permainan telah usai. Sebaiknya tak ada yang disembunyikan lagi," geramnya. "Saya sudah tahu semuanya."

Aku tahu seharusnya aku ketakutan dengan sosoknya yang terasa mendominasi ruangan ini. Meskipun demikian, aku masih mencoba mengabaikan debar di jantungku. Meredamnya dengan bernapas sepelan mungkin, dan melirik ke sampingku diam-diam.

"Maksudnya apa ini?" Aku mendengar sendiri suaraku hampir tercekik saat membalas pertanyaan dengan pertanyaanku. Aku menggumam yang kuharap hanya aku saja yang mendengarnya.

"Bukankah kamu yang berada di pernikahan kita waktu itu?" selidik pria itu.

Kita? Kamu aja kali, batinku.

Tubuhnya bersandar di meja bar panjang, menopang sebelah kakinya. Aroma aftershave yang berasal darinya jauh lebih kuat dari yang kuingat.

Aku jelas nggak mungkin untuk mengiyakan tudingan-tudingan dari pria yang mengaku sudah menikah denganku tanpa ada konfirmasi langsung dari tante Mila dan Joleen.  Omong soal Joleen, bagaimana ini? Apa dia tahu kalau suami sepupunya sedang mengkonfrontasiku sekarang?

"Mungkin kamu salah mengenali saya. Saya masih belum menikah. Kamu bisa lihat sendiri saya nggak memakai cincin." Kuangkat kedua telapak tanganku yang bersih tanpa ada perhiasan sekecil apa pun. Hanya ada kuteks yang baru kemarin kuoleskan di atas kuku jariku. "Nih, kalau nggak percaya."

"Ibu mertua saya yang sudah berbaik hati mengatakan semuanya. Apa temanmu itu tidak mengatakan apa pun?"

"Kamu bicara apa sih sebenarnya?"

"Terserah kalau kamu mau terus mengelak. Bisa saja saya melaporkan kamu."

"Oh ya?" ejekku. "Wah saya jadi takut nih."

Samapai berapa lama harus seperti ini. Jika kuteruskan, aku bisa gila menghadapi pria ini. Kupikir sebaiknya aku kembali ke kamar saja sebelum aku melakukan hal yang bakal kusesali. Lagipula aku sudah culup kedinginan setelah tadi sore. Badanku agak menggigil terkena angin. Mungkin aku bisa melanjutkan dengan—

Tubuhku terhuyung saat dia dengan kasar mencengkeram lenganku. Dia setengah menyeretku. Meskipun dengan agak tertatih, dia mampu membuat tubuhku bergerak mengikutinya. Pria macam apa yang dinikahi Mila? "Lepaskan!"

"Kenapa kamu ketakutan?" Wajahnya menoleh ke arahku yang tengah meronta, berusaha melepaskan tangan yang membelit lenganku. Sungguh memalukan jika orang-orang menatapku dalam keadaan yang seperti ini. "Bukankah saat itu kamu berani menggoda saya? Atau kalau kamu lupa juga, waktu itu saya nggak menggunakan pengaman."

"Se-sebaiknya kita bicarakan ini baik-baik oke? Ini nggak seperti yang kamu kira sebenarnya." Aku terdiam hingga pria itu membawaku ke suite-nya yang cukup mewah. Bagaimana ini, apa Joleen tidak akan mencariku?

Pintu menjeblak terbuka. Pria itu melempar tubuhku yang beruntungnya ke atas ranjang. Bukannya ke atas karpet tebal di bawah. Memangnya aku apa dilemparkan begitu saja seperti ini?

"Oh, ya? Memangnya saya mengira apa?" tanyanya skeptis.

Tangannya bersilang di depan dada. Aura mendominasi kembali kurasakan, membuat napasku sesak hanya karena kehadirannya. Aku berusaha menenanhkan diri dengan berkata bahwa pria ini tak akan melukaiku ataupun melakukan hal yang aneh.

"Kamu pasti salah paham. Istri kamu bukan saya. Saya masih single, belum pernah menikah. Seperti yang sudah saya bilang dari tadi," jelasku padanya.

Pria itu kini melepaskan jas hitam dan dasi yang sewarna dengan kemejanya. Melemparkan mereka ke punggung sofa yang berada di samping jendela besar. Kemudian dia juga berjalan kembali dengan tertatih ke arah meja berisi minuman berwarna emas. Menuangkan sedikit cairan ke dalam gelas berisi potongan es batu.

Dia memandangku dengan penuh penilaian smbil menyesap minumannya. Tubuhnya bersandar di meja kecil itu. "Sepertinya kita harus melakukannya dengan cara lain."

Aku berdiri dan membeku mendengarnya berkata sesuatu yang membuatku memikirkan skenario terburuk. "Maksudmu?"

"Lepas baju kamu!" perintahnya tanpa melepas pandangan kami.

Aku kehabisan kata-kata. Pikiranku mendadak kosong. Namun sekuat tenaga aku mengumpulkan tenaga dan menjawab, "Ap-ap-apa? Kamu bilang apa barusan?"

"Saya bilang, lepaskan bajumu."

[]

SHADOW MARRIAGE (End)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن