Bab 30

27.7K 1.6K 19
                                    

"Aku—" Mata penuh sayu itu terus menatapku, mengharap iba yang tak mungkin bisa kuberikan. Kubalas dengan alis kiriku yang naik dan membiarkan Mila mengatakan apa yang ingin dia katakan.

Setelah terdiam beberapa saat, Mila mengembuskan napas perlahan. Akhirnya ... wanita ini mau membuka mulutnya juga. Dia berkata dengan pelan. "Tolong lepaskan Brandt untuk aku."

Ap-ap-apaaa...? Hah?!

Sepertinya aku salah dengar. Kusingkapkan rambutku ke belakang telinga, lalu diam2 kubersihkan telinga. Mungkin ini bukan cara paling elegan yang kutahu untuk mengorek lubang pendengaran di tempat umum.

Rasanya ada bagian yang ganjil dari sini. Apa aku pernah mengikat pria itu? Apa aku memiliki hubungan serius dengan pria itu? Apa wanita ini sadar apa yang sedang dia bicarakan? Apa yang harus kulepas?

"Aku sangat berterima kasih karena kamu membantu aku waktu itu. Tapi tolong biarkan Brandt kembali padaku," sambungnya. "Kumohon... Tentu kamu paham kan—"

"Tunggu sebentar," potongku. Kuangkat telapak tanganku ke arah wajahnya. "Apa maksud kamu? Kamu ini bodoh atau memang idiot, nona kaya raya? Brandt nggak pernah sama aku. Apa kamu buta?"

Seorang pelayan mengantarkan minuman yang kupesan, meskipun aku sama sekali nggak berniat untuk menyentuhnya. Diam2 bisa kulihat lirikan matanya ingin tahu. Bahkan aku hanya asal pilih menu tadi. Kupikir dengan begitu aku dan Mila nggak bakal menghabiskan lebih banyak waktu.

"Lalu apa sebutan kamu jika dia lebih sering berada di apartemen kamu daripada di rumahnya sendiri?" tanyanya dengan nada yang mulai agak tinggi. "Atau jangan2 kamu mulai menyukainya?"

Omong kosong macam apa ini? sergahku dalam hati.

Ada yang salah dengan wanita ini, pikirku. Kenapa dia jadi seperti ini? Bukankah tanpa kulepas pun, Brandt tetap akan kembali padanya. "Kamu ini benar2 bodoh, ya. Kamu istrinya, seharusnya lebih tahu. Ke mana saja kamu selama ini, sayang?"

"Aku hamil." Apa?! Ha ... mil?

Kenapa Brandt nggak bilang padaku sama sekali soal dia sudah bertemu dengan istrinya. Apa ini alasan dia mulai jarang ke apartemenku? Tapi bukan berarti aku mengharapkannya untuk bersama denganku. Hanya saja kupikir pria itu akan mengatakannya langsung padaku.

"Lalu? Nggak ada hubungannya denganku, kan?" balasku skeptis.

Toh apa pun yang mereka lakukan, itu sudah masuk dalam rumah tangga mereka. Aku hanya sebagai orang luar yang sama sekali nggak berhak ikut campur. Kulirik jam di tanganku, sudah menjelang jam dua siang, rupanya terlalu lama aku berada di luar. Aku berdiri dan meraih pouch di kursi sampingku. "Aku harus kembali ke kantor. Tidak sepertimu, uang tak datang dengan sendirinya padaku."

"Please...." Mila ikut berdiri. Tangannya terjulur meraih lengan kiriku. Aku hendak berbalik tapi tertahan olehnya.

Apa sih maunya perempuan ini, sebalku.

Kuhempaskan cengkeramannya. Tapi wanita itu sama sekali nggak berniat untuk melepas genggamannya. Kugertakkan gigiku, menahan kata2 yang mungkin akan kusesali keluar dari mulutku. "Katakan sendiri saja padanya. Sampai jumpa. Dan tolong lepaskan tanganmu. Kamu bisa bikin scene yang memalukan."

"Dasar licik!" Tiba2 Mila meraung tak jelas. Aku melirik orang2 yang sedang bersantap siang di sekitarku. Tatapan matanya nanar. Memicing marah ke arahku dengan sengit. "Kamu sengaja mengatakan demikian agar aku mencium kakimu? Memohon?"

Aku menatapnya waspada, berdecak untuk menenangkan diri. "Kamu ini kenapa sih?! Sudah, urus saja urusanmu sendiri."

Plak! "Brengsek!"

Tanpa bisa kuperkirakan sebuah telapak tangan mendarat di pipiku. Kulitku terasa panas, mataku mulai berair. Biasanya aku nggak bakal secengeng ini, tapi entah kenapa hari ini mood-ku buyar dan mudah tersulut oleh hal kecil.

Netraku melebar dengan kejadian yang tiba2 ini. Kulirik pengunjung lainnya yang diam2 mengawasi kami. Sial, ini tempat umum. Apa Mila tidak bisa memilih tempat lainnya untuk membuat scene?

Tanpa bisa kucegah, kudorong wanita itu dan berbalik ke arah pintu keluar tanpa mengatakan sepatah kata pun. Namun dari belakang kurasakan senggolan tubuhnya menabrakku hingga tubuhku membentur punggung kursi.

"Ugh!" Ada sesuatu yang keluar dari arah bawahku. Kupegang erat dan kutahan perutku. Sepanjang jalan menuju kantor, kurapalkan doa apa saja yang bisa kuingat. Setengah berlari aku menuju kubikelku yang berada di lantai tengah gedung ini.

Lift sedang sepi, syukurlah sehingga aku bisa dengan leluasa menahan sakit dan nyeri. Begitu keluar dari sana, darah seolah turun dari wajahku. Lika yang bertemu denganku di selasar memandangiku tertegun. Matanya penuh tanya, tapi kuabaikan.

"Anne, kamu sakit?"

Aku sama sekali tak menghiraukan sapaannya. Yang kuperlukan adalah kunci mobil dan tasku. Kulambaikan tanganku padanya, lalu aku menuju mejaku di ujung ruangan.

***

"Bagaimana, Dok?" tanyaku dengan cemas pada pria yang berada di depanku. Rambutnya yang hampir semuanya putih kelabu, matanya memandangku penuh jenaka.

Tangannya yang lembut dan sedikit berkerut menepuk2 lututku yang lunglai. Senyumnya merekah. "Mereka baik2 saja. Kamu tenang saja."

Hah?! Mereka siapa?

"Asal jangan diulangi lagi seperti yang tadi." Dokter Ken terus berbicara, sebagian saja yang kutangkap masuk ke telingaku. "Nanti saya akan kasih resep baru. Jangan terlalu capek, kasihan mereka."

Aku tertegun sekalinlagi mendengar dokter Ken mengatakan 'mereka' dua kali. "Apa maksud ... nya? Mereka ...?"

"Kamu nggak mendengarkan saya, Nona? Jangan kaget begitu. Ukuran mereka memang terlalu kecil untuk usianya. Tapi ke depannya mohon untuk jaga kesehatan dan pola makan. Jangan terlalu sering untuk berhubungan—" Seketika wajahku memerah mendengar kata itu.

"—ini." Dokter Ken menyobek secarik kertas dan menyerahkannya padaku. "Nanti ditebus. Bulan depan bisa ke sini lagi," lanjutnya sambil tersenyum.

Tatapan matanya kembali fokus ke arah layar di depannya. "Mau dicetak juga?"

"Mereka, Dok?" tanyaku lagi tak percaya. "Maksud Dokter, kembar?"

"Iya, sekali lagi selamat, ya," ucapnya. "Ini." Dokter menunjukkan padaku lahar komputer yang berisi rekaman video anak2ku. Rasanya nggak percaya sekali bahwa aku mampu mendapatkan anugerah seperti ini, mengingat bahwa aku jarang sekali bersujud padaNya. "Kamu bisa lihat sendiri kan? Mereka sehat, hanya sedikit terkejut."

Tanpa sadar air mataku meluncur menuruni pipi. Aku terisak, antara menyesal dan bahagia. Ternyata ini hasil keputusanku untuk menjauh dari semua ini. "Okay. Makasih, Dok."

"Hati2, Nona. Ingatkan suamimu untuk lebih lembut lagi."

Aku keluar dari rumah sakit dengan perasaan campur aduk. Di dalam mobil, aku terisak semakin keras. Kukeluarkan ponselku dan menghubungi seseorang. Inilah yang harus kulakukan. Bukan untuk diriku sendiri. Tapi untuk mereka.

Kutekan nomor yang sudah cukupn kuhapal. "Halo?"

"Bisakah aku menagih janjiku?"

[]

SHADOW MARRIAGE (End)Where stories live. Discover now