Bab 21

33.3K 1.8K 4
                                    

"Saya akan tinggal di sini untuk waktu yang belum ditentukan. Jujur saja, saya ingin mengenal siapa istri—"

"Kubilangin ya, aku bukan istri kamu, Brandt. Dan aku belum tertarik dengn ide menjadi seorang istri!" tegasku. "Apa perlu kuingatkan juga siapa nama istri kamu?"

"Dan sudah saya sampaikan sejak awal, bahwa saya masih menganggap bahwa kamu adalah istri saya. Kamu pikir siapa yang menghabiskan malam itu dengan saya? Mila?" sergah Brandt sambil mendengkus. "Yang benar saja! Bahkan ibunya sendiri tidak tahu dia berada di mana," tambahnya. "Apa semudah itu kamu berpikir dengan mengatakan bahwa kamu bukan istri saya, lalu saya akan mengiyakan dan pergi dari hidup kamu, Arianna? Jangan naif, sayang."

Kami terdiam dalam keheningan yang dalam. Hatiku entah mengapa sedikit sakit ketika Brandt mengatakan demikian, dan aku terlalu kesal untuk mengakui bahwa di balik senyum itu, ada sesuatu yang membuatku terus ingin menatapnya. Aku berdiri untuk membuang kopi yang tersisa.

Seharusnya aku tidak melakukannya. Andai saja waktu itu aku tahu apa yang akan terjadi. Ya Tuhan... Apa yang sudah kulakukan tak ubahnya diriku dengan wanita bayaran. Meskipun berulang kali aku meyakinkan diriku sendiri bahwa aku melakukannya demi menolong keluarga sahabatku.

"Lalu apa yang kamu mau, Brandt? Aku? Menjadi istrimu? Yang benar saja. Kamu dan aku tidak saling mengenal dengan baik, kecuali di ranjang pada saat itu." Kuhela napasku dengan kasar. "Istrimu adalah Milania Widjajanto. Mila. Bukan aku, Anna. Coba kamu lihat sekali  lagi di buku nikah milikmu, apakah di sana tertulis namaku atau Mila, kalau kamu masih tidak percaya dan ngotot bahwa aku istri kamu. Atau sekalian saja, biarkan ibu mertuamu, nyonya Julia yang menjelaskan semuanya."

"Jangan bercanda, Brandt, please," bujukku. "Sebaiknya kamu kembali saja ke Jogja, Jakarta atau ke mana pun istrimu berada. Itu keluarga kamu sekarang."

"Aku masih belum mendengar alasan kamu dengan jelas mengapa kamu mau dan rela mengambil alih tugas yang bahkan bukan untukmu? Apa yang kamu mau? Uang?"

"Kamu pikir aku semurahan itu?!" sergahku. "Dangkal sekali kalau kamu berpikir demikian."

"Asal kamu tahu, aku nggak mendapatkan apa pun dari mereka." Belum, tambahku dalam hati.

"Aku nggak mendapatkan apa pun. Kamu tanya apa yang kuinginkan, uang? Walaupun aku bukan dari kalangan seperti kalian, setidaknya aku masih mampu menghidupi diriku sendiri. Aku nggak perlu menjual diriku hanya untuk uang."

"Ya. Kalau kamu menginginkan uang, saya bisa memberikan kamu berapa pun kamu mau. Andaikan waktu itu kamu datang pada saya dan mengatakan dengan jujur bahwa kamu ingin menjadi istri saya," balasnya panjang.

Untuk sesaat, ide itu menarik sekali. Dulu tante Julia pernah menjanjikanku akan memberikan apa pun yang aku mau. Namun sekarang, rasanya aku belum perlu. Mungkin suatu saat, ketika hatiku sudah merasakan penebusan dosa, akan kutagih janji itu.

"Brandt ... Aku sudah mengatakannya bukan, aku nggak tertarik untuk jadi istri kamu. Mila, calon istri kamu yang cantik, tingkah laku yang sempurna, kepribadian serta memiliki keluarga yang baik pergi meninggalkan kamu di hari pernikahan kalian," kilahku. "Kalau kamu yang jadi ibunya, apa yang bakal kamu lakukan? Kenapa kamu nggak cari tahu alasan istri kamu pergi dan keluarganya malah memintaku menggantikannya? Pernahkah kamu bertanya pada mereka?" bujukku lagi.

"Walaupun saat ini saya seperti ini," dia menunjuk dirinya sendiri. Memandang kaki dan wajahnya yang terluka. "Setidaknya saya masih diberi kesempatan hidup. Tapi bukan berarti kamu atau mereka bisa mempermainkan saya, Arianna," geramnya tertahan.

"Aku nggak pernah ada niat sedikit pun untuk mempermainkan kamu, Brandt." Aku berusaha menahan gelegak emosi yang sejak tadi terus merangkak naik. "Lagi pula, memangnya aku tahu apakah kamu cacat atau manusia utuh saat itu? Aku saja baru bertemu dan mengenalmu di hari itu," ungkapku.

Aku kembali duduk di hadapannya setelah mengambil air putih di kulkas dan menuangkannya di gelas. Aku membutuhkan minum agak mulutku tidak kering, juga untuk meredakan debaran2 aneh yang semakin menguat ini. "Kalaupun aku berniat melakukannya, kenapa aku tidak meneruskan saja saat itu. Berpura2 menjadi istri kamu hingga Mila datang dan mengatakannya sendiri. Mungkin aku bakal menikmatinya," sinisku.

Aku butuh pengalih perhatian. Rasa2nya dari tadi 'obrolan' kami hanya berputar2 di situ2 saja. Kami nggak mencapai kesepakatan apa pun. Brandt dengan keyakinannya bahwa akulah istrinya. Dan aku dengan tegas menolak mengakuinya.

"Sudahlah, aku mau keluar. Kalau kamu masih ingin tinggal di sini, terserah kamu saja!" aku bangkit dan mulai membersihkan meja makan. Membuang sisa makanan yang sedikit tersisa, dan mencuci peralatan makan. Aku nggak memberi kesempatan pada pria itu untuk mengatakan apa pun yang ingin dia bicarakan lagi.

Banyak hal yang perlu kulakukan hari ini. Baik sekali Brandt memintakan cuti ke Pak Nur. Rencana awalku di akhir pekan saja kulakukan belanja dan membereskan rumah. Tapi bisa kulakukan sekarang saja.

Brandt? Aku nggak terlalu peduli. Hingga malam berikutnya saja dia menginap di sini. Dan kami nggak membicarakan hal lain, kecuali pekerjaan. Aku nggak tahu kapan dia pergi. Begitu aku terbangun di hari Jumat, pria itu sudah tidak ada. Hanya meninggalkan jaket kulitnya di kamar. Mungkin dia lupa.

[]

SHADOW MARRIAGE (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang