Bab 10

44.1K 2.3K 5
                                    

Lika berjalan di depan. Sedangkan aku dan Ben mengikutinya dari belakang. Kami sering jalan bertiga. Ben sama sekali nggak keberatan dengan keberadaan cewek-cewek di sekitarnya. "Ben, kamu yang nyetir ya?"

"Eh, enak aja! Aku capek. Kamu dong, Anna," tolaknya mentah-mentah. "Dari kemarin aku nyupirin si bos."

Namun, aku berkilah. "Kan mobilmu itu, Ben."

"Udah, dong. Biar aku aja," lerai Lika. "Eh, tapi kita makan dulu dong. Lapar nih!"

Kami sampai di Mini Bar&Resto setelah menempuh perjalanan hampir satu jam. Belum termasuk macet karena ini sudah memasuki akhir pekan. Bnyak pekerja kantoran seperti kami yang berlomba-lomba untuk pulang atau tidak sabar menikmati waktu istirahat dan bersenang-senang.

Nggak jauh dari situ ada bar tempat yang akan kami tuju. Suasana di sini menyenangkan dan nyaman, walaupun ada embel-embel diskotik.

Aku, Ben, dan Lika memasuki restoran dan mulai memesan makanan. Sebenatnya aki nggak terlalu sering ke sini. Selain mahal, jauh dari rumah kami. Bukan tempat favoritku, tetapi cukuplah bagiku untuk melepas penat.

***

"Lika, aku ke toilet dulu." Kupanggil gadis yang sedang duduk di bar stool itu. Dia sedang memesan tequila untuk yang kedua kalinya. "Udah nggak tahan."

Lika mengangguk. Namun kepalaku berputar, mencari wajah familiar. Ben. Pria itu pasti sudah bertemu dengan seseorng menarik. Dia meletakkan jas hitamnya di kursi yang diduduki Lika. "Oke."

Kuedarkan sekali lagi pada tubuh Ben yang meliuk mengikuti alunan musik menghentak."Titip Ben. Liar dia abis ini."

"Sip."

Toilet yang kutuju cukup jauh. Setelah keluar dari samping meja bartender, aku harus berbelok ke kiri untuk menuju ruang paling ujung. Banyak yang berlalu lalang di selasar yang sempit andaikata mereka bersamaan.

Syukurlah malam ini belum terlalu ramai. Aku tak bisa melihat dinkeremangan dengan baik ketika akan berbelok. Hingga aku teryumbuk pada seseorang.

Buk!

"Sorry, nggak sengaja," ucapku. Tubuhku terjerembab dengan sangat tidak anggun. Di hadapanku seorang pria dalam jas kelam sewarna kemejanya masih berdiri, walaupun tidak ikut terjatuh, dia masih bersandar di dinding.

Aku melirik ke arahnya, merasa familier. Ah, tentu saja. Dia kan pria yang menjadi HC kami yang baru. Tapi demi alasan basa basi, mendengar suaranya yang nge-bass, "Apa kita pernah ketemu?"

"Nggak. Mungkin orang lain yang mirip saya," jawabnya sambil tersenyum. Matanya sama kelamnya. Sekilas ada yang mengkilat terkena lampu yang tak terlalu terang. Namun aku bisa melihat deretan gigi yang cemerlang di balik senyum itu.

Pria itu membantuku berdiri. Kukibas rokku dengan telapak tangan. Agak basah di bagian bawah."Hati-hati lain kali."

Aku mengangguk, lalu meneruskan urusan yang sudah berada di ujung tanduk. Di dalam toilet cewek, beberapa wanita dengan dandanan full makeup membuatku agak iri. Anak-anak jaman sekarang emang wow banget.

Andai saja usiaku sumuran dengan mereka...

Aku menghampiri Lika yang sudah menghabiskan gelas keduanya. Menepuk bahunya perlahan. "Lika, ngapain tuh HC kita ada di sini. Aku ketemu dia tadi."

"Ya weekend gitu lho."

"Masa iya, kok kayak nggak ada tampang buat seneng2 sih? Bawaannya serius banget."

***

"Ya ampun, Ben... Yang benar aja. Kamu mabuk!" keluhku pada Ben yang sudah tak sadarkan diri. Tubuh besar pria itu lunglai, tak kuat menahan beban dirinya sendiri.

"Lika, bantuin dong. Berat banget nih anak." Si Lika kembali mematut dirinya melalui cermin mobil.

Aku bersyukur petugas valet di bar ini cekatan dalam mengambilkan mobil kami. Dia bergegas membantu kami menggotong Ben yang tak sadarkan diri.

"Mbak, kamu yang nyetir, ya?" pinta Lika padaku.Kuanggukkan kepalaku sekali. Lalu masuk ke kursi kemudi dan menjalankan mobilnya.

Kulirik jam di pergelangan tanganku. Lewat tengah malam. Kami langsung menuju basement apartemen Ben, dan untungnya ada sekuriti gmyang sedang berpatroli.

Aku memanggilnya. Nggak mungkin kami menyeret pria ini. Atau kami bakal dikira habis membunuh dan meletakkan mayatnya di unitnya sendiri.

"Pak, bantuin, ya. Teler ini," pintaku. Aku berusaha mengeluarkan Ben dari kursi belakang, dibantu Lika. Rambut dan bajunya kusut tak karuan.

Tarman, sekuriti gedung mengenal Ben, sehingga dia langsung mengenali kami. "Baik, Mbak. Temennya Mas Ben ya?"

"Iya. Maaf, merepotkan malem-malem," sahut Lika.

Pak Tarmabln tersenyum maklum. Mingiin dia sudah terbiasa menghadapi penghuni apartemen yang pulang dalam keadaan mabuk. "Nggak papa, Mbak. Seneng bisa bantu."

"Lika, ambilin kuncinya." Lika bergegas merogoh saku dan tasnya yang kusampirkan di bahuku.

"Nggak ada, Mbak."

Kami sampai di depan pintu apartemen Ben. Bukan kunci yang biasa. "Password pake fingerprint nih."

"Nyusahin banget!" gerutu Lika tak jelas.

Kuambil jarinya yang sebelah kanan. Lalu meletakkannya di scanner depan. Pak Tarman mendesah lega setelah kami berhasil memasukkan Ben. "Akhirnya!"

"Biarin aja deh. Besok dia juga bakal sadar sendiri." Fiuh.

Akhirnya kami berhasil membaringkan pria mabuk itu di ranjangnya sendiri. Tak lupa aku dan Lika mengucapkan salam untuk penjaga gedung apartemen Ben. "Pak, makasih, ya. Kami pulang dulu."

[]

SHADOW MARRIAGE (End)Where stories live. Discover now