Bab 13

38.4K 2.3K 6
                                    

Seminggu terakhir aku nggak ketemu sama direktur baru itu. Sengaja saja kuhindari; itu pun kalau dia tahu tentangku. Atau dia memang lagi nggak ada di kantor; yang sangat kusyukuri kalau memang benar demikian.

Masalahnya, setelah kejadian terakhir di suite-nya akhir pekan lalu, aku berhasil kabur. Kudorong tubuh besarnya ke atas ranjang. Tanpa menoleh ke belakang, aku bergegas pergi meninggalkannya. Kurapikan jubah mandiku sebentar dalam perjalanan menuju kamar Joleen. Beruntungnya dia nggak mengejarku sampai ke kamar tempatku menginap.

Malam itu juga aku minta pulang ke Jakarta. Joleen sempat bertanya kenapa aku terburu-buru pulang pulang. Di saat itu, Fero muncul tanpa baju,hanya memakai boxer dan bertelanjang dada. Kentara sekali dia terburu2 memakai apa pun yang bisa diambil. Namun hanya mampu kujawab, bahwa aku perlu sesuatu yang membuatku tenang. Dan dia menerima begitu saja alasanku.

Fero juga segera memesankan tiket untuk penerbanganku. Dia agak menyesal meninggalkan aku sementara dia bersenang-senang dengan pacarnya. Aku sih nggak masalah, toh aku yang diajak, diberi fasilitas juga. Siapa yang bisa menolak dengan itu?

Tapi sekarang aku hanya ingin menyendiri, memikirkan semua ini. Liburan hanya untuk pengalihan bagi Joleen sebelum dia bakal dijodohkan dengan pria pilihan keluarga besarnya. Seoerti sepupunya, Mila. Dan lagi2 aku masuk ke ranah yang seharusnya tidk aku injakkan kakiku di sana.

Aku sedang tak ingin bertemu dengan siapapun. Kalau perlu aku harus segera pergi ke tempat baru. Menjauh dari semua. Tapi bisakah?

Satu hal yang tak terpikirkan olehku saat menyetujui kesepakatan konyol itu adalah hati. Seharusnya aku mempersiapkan semuanya, bukan? Namun di tengah kekacauan seperti itu, aku juga ikut tidak bisa memikirkan pengaruh dan dampaknya di kemudian hari.

Betapa bodohnya dirimu, Anne.

Pagi ini aku sudah bergelung nyaman di ranjangku. Setelah mengobrol singkat dengan mama yang berkata akan mampir ke apartemenku sebelum kembali Lombok, hatiku sedikit merasa tenang. Dan sisa hari itu kukesampingkan semua pikiranku dengan berkebun di balkon.

***

"Mama perlu kujemput?" tanyaku saat mama berkata hampir sampai di Jakarta. Aku sedang bersiap hendak pergi ke kantor. Kujepit ponsel di antara telinga dan bahuku. Selama otu pula aku mondar mandir mencari sneakers favoritku, yang ternyata baru kuingat kalau benda itu masih berada di mobil.

Selasa pagi sebenarnya aku hampir bersiap untuk pindah ke Bali. Kantor baruku memungkinkan aku untuk lebih sering bertemu mama. Menyenangkan, bukan?

"Nggak usah. Mama bisa naik taksi atau apa gitu ke sana. Kalau kamu mau berangkat kerja, nggak papa. Mama masih ada kunci apartemen kamu kok." Sengaja kuberi satu kunci biar Mama bisa keluar masuk ke sini kalau aku sedang nggak berada di rumah. Sejak awal mama memang sengaja memintanya, bahkan pindahan ke sini, beliau juga yang repot beres-beres. Katanya, dulu dia juga pengin punya tempat tinggal sendiri.

"Ya sudah. Sampai ketemu nanti malam," balasku. Mama masih nanti sore sampai di tempatku.

Hari ini aku berencana untuk merapikan pekerjaan dan hal2 remeh lainnya sebelum aku peegi dari kantor ini. Yang paling kurindukan sudah pasti Lika dan Ben. Tanpa dia, nggak ada yamg seasyik jika diajak pergi2 ataupun jalan2. Sedangkan Ben ... dengannya aku bisa bertemu pria2 tampan, berwajah Eropa dan lainnya, cowok2 bule teman Ben banyak sekali. Entah dari mana dia mendapatkan kenalan seperti itu.

Aku sedang berjalan ke kantor Pak Rudi, kepala bagian Human Resources, untuk meminta surat pindah tugas. Sebenarnya sudah kucetak, hanya saja meminta stempel dan tanda tamgannya itu sudah wajib hukumnya bagi yang mau ada keperluan yang berhubungan dengan kantor.

Vena, asisten direktur yang sudah kenal lama denganku menyapa saat aku baru keluar dari ruangan HRD. "Anne, udah denger gosip terbaru nggak?" Emang deh si Vena ini kalau udah soal berita, paling jago dia.

"Kenapa, Mbak?" tanyaku penasaran. Sengaja kubuat semanis mungkin biar dia merasa sedikit senang. Bikin orang happy kan pahala. "Apa? Apa? Kasih tau dong..."

"Itu lho, Anne ..."

Jantungku berdebar mendengar kata direktur. "Jangan gantung gitu dong, Mbak.. Cepetan, mumpung aku belum mati penasaran nih."

"Istri pak Brandt cantik banget deh!" Apa...?!Mila?! Kemari?!

Aku terlalu terkejut hingga tak menyadari bahwa Vena masih saja berbicara tanpa memperhatikan diriku yang sedang linglung. Bukankah kemarin Brandt tidaknmengatakan apapun soal 'istrinya'? Ada apa ini?

"Nggak nyangka, ya? Tumbenan mampir ke sini. Pasti kangen sama suaminya. Pengantin baru emang sesuatu, ya."

[]

SHADOW MARRIAGE (End)Where stories live. Discover now