Bab 29

26.6K 1.4K 7
                                    

Brandt pulang setelah beranjak siang, dan menyempatkan diri menyiapkan makan siang untukku dan dirinya sendiri. Aku sama sekali nggak menyangka kalau ternyata pria itu lumayan jago memasak. Apa dia tahu kalau aku jarang memasak, bahkan isi kulkasku juga hampir kosong melompong?

Aku kembali ke kantor seperti biasa keesokan harinya, sedangkan Brandt tidak kembali ke apartemenku malam itu. Hingga beberapa hari kemudian kantor sudah mendapatkan penggantiku. Pria, tentu saja. Wajahnya menarik dengan campuran sedikit oriental meskipun berkulit gelap. Kurasa kami bisa berteman dengan baik nantinya andai bertemu lagi.

Walaupun aku nggak bertemu dengan Brandt, selama itu pula dia rajin sekali menelepon atau mengirimiku pesan. Sesekali bertanya apakah aku masih sakit atau sudah lebih baik. Bohong kalau aku bilang sudah sembuh, yah ... setidaknya jawaban 'lebih baik' masih bisa diterima. Pusing kepalaku memang tak separah yang lalu, suhu tubuhku juga sudah menurun, terima kasih atas obat yang diberikan Brandt.

Kudengar dia sedang ada urusan bisnis di Praha. Para wanita yang tertarik dengannya membicarakan ini, hampir semuanya. Untung saja tak ada yang tahu kejadian yang sebenarnya. Karena itu menyangkut diriku juga. Kupikir, ini hanya kebetulan atau memang sengaja dia ke sana untuk menjemput istrinya. Karena dari yang kudengar dari Joleen, Mila juga berada di sana.

Tapi masalahku nggak berhenti sampai di situ saja. Tiga hari terakhir, perutku benar2 nggak bisa kuajak kompromi. Merepotkan sekali rasanya nggak bisa kuisi dengan nasi. Setiap kali tercium aromanya, isi perutku serasa mau naik. Akhirnya hanya bisa kuakali dengan roti, buah, atau terkadang sereal.

Kupikir aku terlalu lama di ruang berpendingin ruangan, atau terlalu lama terpapar matahari di saat tubuhku masih belum benar2 fit. Suhu tubuhku juga terkadang naik, turun, nggak stabil. Obat yang kuminum seperti yang diberikan oleh Brandt waktu itu juga nggak terlalu membantu.

Tunggu sebentar...!

Sepertinya aku ingat sesuatu. Kucek ponselku untuk melihat kalender. Di sana kutandai tanggal2 tertentu yang menjadi jadwal bulananku. Sekarang sudah mendekati pertengahan bulan. Seharusnya sebelum akhir bulan lalu, aku mendapatkan menstruasiku.

Terkadang aku mendapatkan menstruasi tidak selalu tepat waktu, bisa maju atau mundur dari jadwal. Tapi nggak pernah melebihi dari satu minggu. Masa sih ... ? Rasanya itu nggak mungkin. Brandt menggunakan pengaman, bukan? Atau tidak, aku sama sekali nggak ingat.

Bukankah terlalu jauh jika aku menghitung dari tanggal sewaktu pernikahan itu? Apakah memang sudah selama itu? Jika iya, berarti ini sudah berapa bulan? Kenapa aku sampai tidak tahu? Astaga ... jangan sekarang dong. Ya ampun, kenapa di situasi seperti ini sih?

Aku terlalu terpana dengan kenyataan bahwa ada kemungkinan aku ... argh! Aku nggak suka mengatakannya. Kusentuh perutku tanpa sadar, memang masih rata, tapi tidak selembut biasanya, sedikit mengeras di bagian tengah dan bawah.

Aduh ... Bagaimana ini?!

***

Aku baru saja selesai makan siang saat ponselku berdering. Kulirik layarnya yang tertera nama Joleen. Tumben sekali anak ini menghubungiku. Kugeser tombol hijau ke kanan.

"Ada apa?" tanyaku langsung.

Joleen mendengkus. "Aku baik, terima kasih sudah bertanya."

"Katakan, apa yang kamu inginkan, Leen." Kepalaku tiba2 nyaris pecah. Apa ini efek aku terlalu banyak makan atau udara yang lumayan panas menyengat hari ini.

"A—"

Aku memotong apa pun yang Joleen katakan. "Dan tolong lebih cepat? To the point saja."

"Hei, santai saja, Anne. Kamu kenapa sih? Lagi sensitif banget," sahutnya. Tak ada suara selain napas Joleen yang perlahan berembus. Samar2 ada deburan ombak nun jauh di sana.

"Jadi—" peringatku.

"Oke, oke. Aku hanya mau bilang jalau Mila sudah kembali. Dan dia ingin bertemu denganmu." Oh, aku lupa soal ini. Padahal baru beberapa hari yang lalu aku mengatakannya pada Brandt. Lumayan gerak cepat juga pria itu.

Tapi, apa benar Mila ingin bertemu denganku? Ada apa ini? Harusnya sih dia berterima kasih padaku karena membuat keluarganya tak sampai malu. Itu juga kalau dia sadar diri.

Aku memutar bola matakubke atas, berpikir apa yang sebaiknya kukatakan pada Joleen. "Tolong katakan pada sepupu sialanmu itu, dia nggak perlu repot2 ke sini. Untuk apa juga dia menemuiku."

"Entahlah. Tante Julia sendiri sudah melarangnya menemuimu."

"Kukira urusan kita sudah selesai sampai di situ, Joleen. Aku nggak ada hubungan apa pun lagi dengan keluarga sepupumu itu." Aku mengingatkan sahabatku tentang perjanjian tak tertulis di antara kami. Kalaupun hari ini menjadi titik balik dari kejadian itu, aku harus melakukan sesuatu.

"Aku juga berpikir demikian. Tapi sepertinya Mila tidak sependapat. Dan dia akan ke tempatmu—"

"Tidak perlu," potongku. Dari arah pintu kulihat seorang wanita bertubuh kungil dengan rambut gelap panjng dan memakai gaun sepanjang lutut datang menghampiriku. Dia tersenyum lembut, tapi aku tahu apa artinya. "Karena wanita itu ada di sini. Sekarang."

Tanpa menunggu balasan Joleen, saluran telepon kami aku putuskan. Aku tidak ingin sahabatku mendengarkan apa yang akan kami bicarakan. Cukup itu saja saja. Dengan begitu dia akan melaporkan pada tante Julia.

Wanita itu mengulurkan tangannya. Sebenarnya aku ingin membalas jabatan tangannya, tapi mood-ku sedang tak ibgin beramah tamah. "Halo, kamu pasti Arianna. Aku Mila. Bisakah kita ngobrol sebentar?"

Kuedarkan pandanganku seantero ruangan. Beberapa orang melihat kami penasaran. Yang lain pura2 tidak tahu, tapi aku tahu mereka seperti sedang menanti sebuah pertunjukan.

Aku berdiri dan mengambil ponsel serta dompetku. "Kita ke cafe depan saja kalau begitu.".

Kami berjalan beriringan dan mencari tempat untuk ngobrol santai tanpa perlu menarik perhatian. Ini adalah kedai kopi yang lumayan enak, dan nggak terlalu ramai siang ini. Kukis dan shortcake-nya juga kusuka.

"Ada apa kamu mencari saya?" tanyaku tanpa basa basi. "Saya kira mama kamu sudah menjelaskan semuanya tentang apa yang terjadi."

Wanita yang sedang duduk di kursi seberang menatapku intens dengan iris terangnya. Wajahnya sama sekali nggak menunjukkan ekspresi apa pun.

"Seingat saya, kamu dan saya nggak ada urusan atau hubungan apa pun," tandasku.

"Aku—"

[]

SHADOW MARRIAGE (End)Where stories live. Discover now