Bab 14

37.9K 2.1K 7
                                    

Akhir pekan terakhir di Jakarta sebelum aku berpindah ke Bali. Kebetulan mama baru kembali dari Itali dan berada di sini, sehingga kami bisa berangkat bersama. Rencananya aku bakal pesan tiket dan pesawat dengan mama. Tinggal di Lombok sebentar dan meneruskan ke Denpasar dari sana.

Mama setuju2 saja dengan ideku, toh aku juga sudah lama tidak pulang ke sana, katanya begitu. Dia juga membantuku dengan mencarikan apartemen melalui temannya. Well, itu juga aku nggak keberatan.

Apa kalian berpikir aku maaih anak manja yang sedikit2 lari ke mama? Hm ... Bisa jadi.

Selama itu pula aku nggak bertemu dengan Brandt ataupun Joleen dan Fero. Biar saja. Rasanya hidupku nggak harus terpaku pada mereka. Bukan bosan, hanya saja aku perlu sedikit jaga jarak dengan mereka. Sejak kejadian itu, lebih baik aku tidak berhubungan dengan mereka, kecuali sekadar berteman biasa tanpa melibatkan embel2 apapun.

Kemarin ada pesan dari tante Julia, dia menanyakan kabarku, yang kujawab bahwa aku baik2 saja. Dia juga meminta maaf, sekali lagi karena sudah melibatkan diriku ke dalam masalah mereka. Dia tidak bermaksud memintaku melakukannya, ya aku tahu itu juga. Aku sendiri yang memilih melibatkan diriku ke dalamnya.

"Aku tak apa, selama rahasia kita masih aman," balasku. Dan juga baik Mila ataupun suaminya tidak akan pernah menghubungiku ataupun menanyakam tentang drama yang kami lakukan, tambahku dalam hati.

"Kamu kenapa, Anne? Mama liat kamu nggak semangat. Lagi ada masalah?" tanya mama sore itu. Begitu pulang dari kantor, aku segera membereskan barang2 yang ada di apartemen. Aku tidak menjual atau menyewakannya. Terlalu banyal barang pribadi untuk kuijinkan disentuh orang lain.

Aku sedang packing beberapa baju, buku, dan juga selimut favoritku. Mama berulang kali mengamcam akan membuangnya jika aku tidak segeta mengganti barang usang itu dengan yang baru. Tidak semudah itu, mama sayang.

Ini kubeli dengan segenap uang hasil kerjaku selama dua bulan. Bukan barang mahal, hanya sedikit nilai sentimental yang terngiang darinya. Akunmemasukkannya ke dalam koper besar saat mama dengan santai duduk di ranjangku, menyilangkan kaki jenjangnya (yang tidak kuwarisi), dan menekuri jari serta kuku lentiknya. "Saat kamu lengah, mama akan menyingkirkan benda menjijikkan itu. anne."

Aku mendesah dan berlagak marah padanya. Tanganku bertolak di pinggangku yang akhir2 ini sedikit mengecil. "Mama, kubilangin ya ... Satu, aku lagi nggak ada masalah. Kalau memang akubterlihat semenyedihkan itu, ayo bantu aku berkemas dan kita bisa segera menyelesaikan ini," cerocosku padanya. Namun aku belum berniat menghentikannya ketika ibuku yang masih terlihat cantik di usianya yang menginjak setengah abad itu hendak menyela, "dan kedua, mama nggak bakal bisa membuang benda kesangan aku ini. Karena ..."

"mama rasa mantan pacarmu itu terlalu bodoh untuk membelikanmu sebuah cincin atau tas channel keluaran terbaru," tandasnya.

Aku menggeram kesal. "Ini kubeli sendiri. Dan sebagai informasi saja, aku menggunakan gaji pertamaku, kalau mama ingat, waktu itu aku juga belum punya pacar. Atau mama pura2 lupa, setiap kali aku mengenalkan padamu, mama memcecar dengan pertanyaan berapa kekayaan yang mereka miliki. Mama benar2 materialistis."

Mama memalingkan wajahnya ayunya dan membuat rambut berwarna ash grey barunya berkibar lembut. Tanpa bisa kulihat pun, sudah pasti dia memutar bola matanya jengah. "Bukan materialistis, hanya realistis, Arianna. Memangnya kamu mau punya suami yang nggak bisa bikin kamu bahagia, atau seenggaknya memenuhi semua kebutuhan kamu, nak. Mama ingin kamu mampu membuat diri kamu nyaman, baik secara finansial ataupun hal lainnya."

Andai saja mama tahu betapa 'kaya' suamiku, sinisku dalam hati. "Aku tahu mama agak kecewa dengan kehidupan mama, tapi kupikir nggak begitu juga. Aku masih bisa membenahi hidupku dengan baik. Hingga sekarang, yah ... Seperti yang mama bisa lihat sendiri kan?"

Kututup koper besarku dengan sekali sentak dan menurunkannya dari ranjang. Mama bangkit dengan anggun dan keluar dari kamarku sambil mendengkus. "I know, sweetheart. Memangnya siapa lagi yang mengajarimu hingga seperti dalam posisi ini kalau bukan mama, hm?"

Aku melihat kamar tempatku meletakkan semua kesedihan dan kebahagiaanku selama lima tahun untuk terakhir kalinya. Sentimental tapi masih bisa kuanggap diriku rasional, walaupun hanya untuk sementara saja, kuyakinkan diriku. Kututup jendela tempatku melihat pemandangan kota, dan pintu yang membatasinya.

I'll be missing you.

[]

SHADOW MARRIAGE (End)Where stories live. Discover now