34. Tak Bisa

3.8K 606 89
                                    

Lama Ana memandang ragu pada bangunan bergaya minimalis di depannya. Akhirnya dia ada di sini, Atma Center, biro layanan psikologi yang didirikan oleh Eriska Pradmaningrum, seorang psikolog yang dihubungi oleh Andra. Setelah Ujian Nasional usai, Ana kehabisan alasan untuk dikatakan pada Andra demi menolak mengikuti terapi. 

Gamang melingkupi hatinya. Benarkah di dalam sana ada solusi atas permasalahannya? Bagaimana jika semua ini sia-sia dan dirinya takkan pernah sembuh? 

Sentuhan lembut di lengannya membuat Ana menoleh. Di sampingnya Andra tengah menatapnya sembari tersenyum, gigi-gigi putihnya mengintip, mempertegas dekik di dagunya. Jenis senyum yang pasti akan melemaskan lutut semua kaum hawa, tetapi entah mengapa masih tak mampu menimbulkan getar apa pun di hati Ana.   

Keraguan lain menyusup di hati Ana. Apakah Andra adalah pilihan yang tepat? 

"Ayo masuk," ajak Andra seraya mengulurkan tangan. Dengan langkah berat, Ana mengekor di belakang pria itu. 

Bagian dalam Atma Center didominasi warna biru langit. Ruang resepsionisnya tampak nyaman dengan sofa putih yang empuk. Ana membiarkan Andra berbicara dengan resepsionis guna mengkonfirmasi janji temu mereka dengan sang psikolog, sementara dia sendiri menyibukkan diri dengan melihat-lihat sekitar. 

Dinding ruang resepsionis dihiasi banyak figura yang berisi artikel koran tentang kegiatan-kegiatan Atma Center maupun kegiatan individual Bu Eriska sebagai pembicara dalam berbagai seminar. Uraian tentang jenis-jenis psikoterapi yang diklaim mampu mengatasi berbagai masalah juga menghiasi salah satu sisi dinding di ruangan itu. CTC, hypno-therapy, EMDR, CBT ... Oh, astaga!  Kepala Ana mendadak pening. 

Oleh petugas resepsionis, Ana dan Andra diantarkan menuju ruang kerja Bu Eriska. Psikolog senior itu berbadan mungil dan berkacamata. Ana taksir usianya mungkin lima puluhan. "Monggo, silahkan duduk," sambut Bu Eriska ramah begitu Ana dan Andra memasuki ruangannya. "Mas Andra, ya?"

"Benar, Bu. Saya yang membuat appointment  kemarin," jawab Andra seraya menjabat tangan wanita paruh baya itu. "Dan ini tunangan saya, Ana." 

Ana mengernyit saat mendengar Andra memperkenalkannya sebagai tunangan. Namun, sekarang bukan waktu yang tepat untuk memprotes. Jadi Ana mengikuti Andra menyalami sang psikolog lalu duduk. 

"Pripun? Apa yang bisa saya bantu?" tanya Bu Eriska lagi. "Yang mau konseling, Mbak Ana atau Mas Andra?"

"Ana, Bu. Dia… mengalami gangguan kecemasan," jawab Andra. 

Bu Eriska mengangguk. Wanita itu lalu mengambil selembar kertas dari tumpukan yang ada di atas meja dan mengulurkannya pada Ana. "Bisa diisi dulu, Mbak."

Ana mencermati kertas itu yang ternyata merupakan sebuah kuesioner. Dia membuka tas dan mengeluarkan pulpen. 

"Sembari menunggu Mbak Ana mengisi kuesioner, ada beberapa hal yang harus saya jelaskan sebelum Mbak Ana memulai konseling."

Bu Eriska lantas memaparkan tentang tujuan konseling beserta asas-asasnya. Saat tiba pada penjelasan tentang asas sukarela, di mana klien seharusnya datang pada konselor tanpa paksaan dari siapa pun, Ana sedikit tersentak. Ia tidak datang kemari murni atas kemauannya sendiri. Andra yang memaksanya. Andra yang bersikeras bahwa ini demi kebaikan Ana. Kebaikan mereka berdua, jika sudah berumah tangga nanti. 

Ana mengisi kuesioner dengan cepat, lalu menyerahkannya kembali pada Bu Eriska. 

"Mbak Ana ingin berdua saja dengan saya, atau tidak masalah jika Mas Andra ikut ada di sini?" tanya Bu Eriska. 

Andra tidak menoleh ke arah Ana saat menjawab, "Saya ingin tetap di sini untuk mendukung Ana." Baru setelahnya, wajah Andra tertoleh ke kursi Ana. "Nggak apa-apa kan, Sayang?"

Love Will Find A Way Where stories live. Discover now