28. Amarah

3.9K 659 77
                                    


Andra melemparkan ponselnya ke sofa. Sudah dua hari dia tidak bisa menghubungi Ana. Menurut informasi dari Zizi, Ana juga tidak berangkat ke sekolah dua hari terakhir. Saat Andra mencoba menemui Ana di kos, teman sebelah kamar Ana berkata bahwa Ana kamar Ana kosong dan dikunci.

Ana pergi. Entah ke mana.

Telah terjadi sesuatu pada Ana, simpul Andra. Sesuatu yang buruk. Mungkin Rafka bisa memberinya petunjuk. Sebuah kebiasaan yang Ana lakukan saat sedang ada masalah, misalnya. Tak ingin bimbang terlalu lama, Andra memutuskan untuk bertanya langsung pada adik sepupunya itu. Bukan via telepon. Mereka harus berbicara face-to-face.

Sore hari seperti ini Rafka tidak mungkin berada di kantor yayasan. Karena itu Andra memacu mobilnya ke bangunan Bimbel Scientia. Andra berharap Rafka ada di sana, bukan di rumah. Pasti tidak akan nyaman membicarakan tentang Ana dengan paman dan bibinya berada dalam jarak pendengaran.

Andra memarkir mobilnya asal-asalan dan berlari menuju ruang kerja Rafka. Dia bahkan tidak mengetuk pintu dan langsung membukanya.

"Lho? Mas Andra? Ada apa?" tanya Rafka. Kebingungan melihat sepupunya yang menerobos ruang kerjanya begitu saja.

Andra menatap tajam pada sepupunya yang sedang duduk di balik meja. Laptop yang menyala menunjukkan Rafka tengah berkutat dengan pekerjaan. Andra mengamati betul-betul ekspresi wajah Rafka seraya berkata, "Ana nggak bisa dihubungi."

Andra lihat Rafka terperanjat. Namun, pria itu lalu berpura-pura menutupi keterkejutannya. Gelagat yang mencurigakan.

"Lalu apa hubungannya dengan aku, Mas? Dia kan pacarmu," komentar Rafka. Dalam hati dia juga merasa cemas. Setelah dia memaksakan ciuman pada Ana tempo hari, perempuan itu menangis lama. Terus terisak sampai mereka sampai di kos Ana. Lalu Ana turun dari mobil tanpa berkata apa pun pada Rafka. 

"Sudah dua hari Ana 'menghilang'." Andra membuat tanda kutip dengan kedua jari telunjuknya. "Dia nggak berangkat kerja. Masa kamu nggak tahu?"

Rafka memucat, Andra memperhatikan itu. Adik sepupunya itu pasti mengetahui sesuatu. "Apa kamu pergi menemui Ana?" selidiknya.

Berbohong tidak akan berguna. Selain itu, seorang Rafka pantang berkata tak jujur. "Ya. Selepas upacara Tedhak Siten itu aku memang ketemu Ana," akunya

"Untuk urusan apa?"

"Aku nggak berkewajiban melapor padamu, Mas. Apa yang aku bicarakan dengan Ana adalah urusan pribadiku."

Rafka tengah berkelit. Andra tahu itu. Dengan tak sabar, Andra maju lalu menggebrak meja Rafka. "Kamu apain Ana?"

Terpancing emosi, Rafka berdiri. "Apa yang kamu suka dari Ana, Mas? Dia nggak lebih dari perempuan nakal yang mau saja memberikan tubuhnya untuk laki-laki di luar pernikahan." tukasnya marah.

Buk!

Satu tinju dari Andra mendarat di wajah Rafka. Mata Rafka membola, tak percaya dengan kenyataan Andra baru saja memukulnya.

"Jaga ucapanmu!" seru Andra.

"Apa yang kuucapkan memang benar," sergah Rafka sembari meringis menahan ngilu di sudut mulutnya.

"Jangan menghakimi orang tanpa tahu yang sebenarnya, Rafka." Andra mencoba mengingatkan.

"Kamu yang nggak tahu apa-apa, Mas. Apa kamu begitu dibutakan oleh kecantikannya atau kamu terlalu puas dengan pelayanannya sampai-sampai kamu nggak peduli dengan masa lalunya? Dengan pria-pria lain yang sudah pernah menyentuhnya."

Buk!

Andra melayangkan lagi satu tonjokan di wajah Rafka. "Brengsek!" Andra mencengkeram kerah kemeja Rafka. "Hanya itu yang bisa kamu simpulkan tentang Ana, hah?" Pukulan lagi. "Dasar bebal! Dungu!"

Love Will Find A Way Where stories live. Discover now