43. Awal Perjalanan Panjang

3.1K 573 62
                                    

Rumah tipe 45 bercat putih itu terlihat lebih ramai dari biasanya. Beberapa anggota keluarga besar almarhum ayah Ana terlihat hilir mudik, mengatur tempat dan menata piring-piring berisi camilan. Tepat pukul sebelas, sebuah mobil berwarna hitam datang dan parkir di depan rumah.

Rafka keluar dari mobil Daihatsu Ayla hitam, tampak gagah dengan kemeja batik lengan panjang bernuansa cokelat. Pria itu mengitari mobil, membukakan pintu penumpang depan dan membantu ibunya turun dari mobil. Sundari juga terlihat anggun dengan rok semata kaki dan tunik batik yang bermotif sama dengan kemeja batik Rafka.

Dari pintu penumpang belakang, muncul sepasang suami istri muda yang menggendong seorang bayi laki-laki berusia kurang lebih satu tahun. Mereka juga mengenakan pakaian batik bermotif sama seperti yang dipakai Rafka dan klik klik.

"Kae ya calon bojomu, An?" (Itu ya calon suamimu, An?) tanya Lastri, istri Pakde Irsyad, paman Ana yang tinggal di rumah sebelah, sambil menunjuk Rafka dari jendela kamar di lantai dua.

"Iya, Budhe," jawab Ana.

"Bocahe bagus. Budhe ndonga moga-moga sakinah, mawaddah, rahmah. Langgeng ngasih maut memisahkan." (Dia tampan. Bude berdoa semoga sakinah, mawaddah, rahmah. Langgeng sampai maut memisahkan)

"Amin. Makasih, Budhe." 

Berbeda dengan Sofia yang asli Rembang, Lastri memang orang Banyumas asli, sehingga bahasa Jawa yang digunakannya pun dialek Banyumas. "Ya wis, Budhe metu disit. Arep melu nyambut tamu." (Ya sudah, Bude keluar dulu. Mau ikut menyambut tamu)

Ana mengangguk. Lastri keluar dari kamar Ana dan menutup pintu. Ana sudah diperintah agar menunggu di kamar sampai saatnya dipanggil nanti.

Ana duduk di tepi ranjang. Dari tempatnya duduk, dia bisa melihat pantulan dirinya di cermin meja rias. Ibu dan Budenya berhasil memaksanya untuk berdandan. Ana mau tetapi dia menolak saat kedua wanita itu meminta rambutnya dikonde. Sebagai gantinya, Ana mencatok rambutnya, mengikatnya menjadi ekor kuda, membagi dua kucir kudanya, menyelipkan jedai hitam di tengah-tengah kucirnya lalu menutupi dengan separuh kucir kuda. Alhasil, ponytail Ana hari itu tampak lebih bervolume. Sebuah trik tatanan rambut sederhana yang Ana pelajari dari reels Instagram.

Jantung Ana berdegub kencang di dalam dada. Ini kali pertama dia bertemu keluarga Rafka. Bagaimana jika ibu Rafka berubah sikap setelah melihatnya nanti? 

Ana bangkit, mematut diri di depan cermin. Untuk acara hari ini, dia memakai dres lengan panjang yang bagian roknya sampai ke bawah betis. Tidak ketat, tidak ada bagian tubuhnya yang tercetak. 

Ana duduk lagi. Benaknya memutar kenangan bertahun yang lalu: saat pertama bertemu Rafka, saat mereka saling jatuh cinta, putus dan bertemu lagi, lalu berpisah lagi. Sungguh, Ana tidak pernah berpikir kisahnya dan Rafka akan sampai di tahap ini. Bertunangan.

Lalu, menikah.

Ya Allah, ridhoilah pilihanku.

Pintu kamar Ana diketuk. Lastri membukanya dari luar. "Ayo, An. Saatnya kamu turun."

Ana memakai selopnya dan meniti tangga ke bawah bersisian dengan Lastri. Hal pertama yang tertangkap penglihatannya adalah Rafka yang sontak berdiri dari kursi, seolah ingin menyambut Ana.

"Calon mantene wis ora sabar," celetuk Irsyad, paman Ana. Kontan saja, komentar itu memancing gelak tawa semua orang. 

Rafka salah tingkah, memijat pangkal hidung mancung bengkoknya dan kembali duduk dengan wajah tersipu.

"Bu Sundari sekeluarga, ini putri almarhum adik saya, Audreana Rarasati," ujar Irsyad, begitu Ana duduk di kursi yang sudah disiapkan untuknya. 

Ana melihat Sundari menggangguk dan tersenyum.

Love Will Find A Way Where stories live. Discover now